Budaya dan Alkitab (1)

Editorial: 

Dear e-Reformed Netters,

Alkitab dan budaya adalah seperti dua sisi keping mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Ketika melakukan studi Alkitab, sering kali kita masih sulit untuk membedakan mana yang termasuk prinsip dan mana yang sekadar latar belakang budaya ketika Alkitab ditulis. Salah satu kesalahan terbesar dari Kaum Liberal di dalam menafsirkan Alkitab adalah merelatifkan prinsip-prinsip firman Tuhan untuk dikontekstualisasikan ke dalam konteks budaya sehingga beberapa prinsip menjadi berubah makna, bahkan dianggap tidak relevan lagi di dalam konteks zaman sekarang.

Kali ini, saya memilih artikel "Budaya dan Alkitab" (dengan beberapa perubahan dan penyesuaian) yang dituliskan oleh R. C. Sproul dalam bukunya "Mengenali Alkitab". Melalui artikel yang dibagi dalam edisi ini dan edisi berikutnya, saya berharap kita dapat mengerti prinsip-prinsip eksegesis menafsirkan Alkitab dalam relevansinya dengan konteks budaya pada masa Alkitab ditulis dengan konteks budaya pada masa sekarang. Selamat menyimak dan merenungkan artikel ini.

Soli Deo Gloria!

Pemimpin Redaksi e-Reformed,
Teddy Wirawan
< teddy(at)in-christ.net >
< http://reformed.sabda.org >

Edisi: 
edisi 142/Juli 2013
Isi: 

Herman Melville, di dalam novelnya yang berjudul "Redburn", mengisahkan seorang pemuda yang naik kapal untuk pertama kalinya. Ketika ia berangkat menuju Inggris, ayahnya memberikan sebuah peta kota Liverpool yang sangat tua. Sesuai pelayaran yang sukar itu, Redburn memasuki kota Liverpool dengan keyakinan bahwa peta ayahnya dapat menunjukkan jalan di kota itu. Namun, peta itu tidak berguna baginya. Terlalu banyak perubahan terjadi sejak peta itu dibuat. Tanda-tanda tua telah hilang, jalan-jalan telah berubah nama dan tempat-tempat tinggal penduduk telah tidak ada lagi.

Ada orang-orang yang melihat dalam kisah Redburn itu, protes pribadi Melville terhadap Alkitab kuno yang tidak memadai untuk menunjukkan jalan baginya melewati kehidupan ini. Protes yang sama juga dilakukan oleh banyak orang di masa kini.

Kondisi Budaya dan Alkitab

Suatu pokok persoalan yang membara dalam dunia Kristen ialah mengenai persoalan pengertian dan tingkatan sampai mana Alkitab dipengaruhi oleh budaya. Apakah Alkitab ditulis hanya untuk orang-orang Kristen abad pertama? Ataukah Alkitab ditulis untuk orang-orang dari segala zaman? Kita boleh cepat menjawab menyetujui pertanyaan yang disebut terakhir, tetapi dapatkah kita mengatakannya tanpa syarat? Adakah bagian-bagian Alkitab yang terikat oleh latar budayanya, dan karena itu dalam penerapannya terbatas pada latar budayanya sendiri?

Kecuali, kalau kita teguh berpendapat bahwa Alkitab jatuh dari surga, ditulis oleh pena surgawi dalam bahasa surgawi, atau bahwa Alkitab didiktekan secara langsung dan segera oleh Allah tanpa referensi kepada kebiasaan lokal, gaya atau perspektif tertentu, maka kita akan terpaksa menghadapi kesenjangan budaya. Alkitab memantulkan budaya zamannya. Pertanyaannya kalau begitu, bagaimana Alkitab dapat memiliki otoritas atas kita pada zaman kita?

Suatu perdebatan gerejawi pada tahun 60-an menggambarkan problem budaya. Pada tahun 1967, United Presbyterian Church di Amerika memakai suatu pengakuan baru dengan pernyataan berikut ini mengenai Alkitab.

"Alkitab, yang diberikan di bawah bimbingan Roh Kudus, betapa pun adalah kata-kata manusia, yang dipengaruhi oleh bahasa, bentuk-bentuk pemikiran, gaya-gaya sastra, tempat-tempat, dan waktu-waktu pada waktu ia ditulis. Kitab-kitab dalam Alkitab memantulkan pandangan-pandangan hidup, sejarah dan kosmos yang beredar waktu itu. Karena itu, gereja berkewajiban mendekati Alkitab dengan pengertian sastra dan sejarah. Pada waktu Allah mengucapkan sabda-Nya dalam situasi budaya yang berbeda-beda, gereja yakin bahwa Ia akan tetap berbicara melalui Alkitab dalam dunia yang selalu sedang berubah dan juga dalam setiap bentuk budaya manusia."

Kata-kata "Pengakuan 1967" ini menimbulkan banyak perdebatan selama kurun waktu enam puluhan. Perdebatannya dipusatkan pada apa yang tidak dikatakan, lebih daripada apa yang dikatakan oleh Pengakuan itu. Sayangnya, Pengakuan itu tidak menjelaskan dengan mendetail apa yang dimaksudkan oleh setiap pernyataan. Hasilnya ialah setiap kebebasan menarik implikasi-implikasi dan kesimpulan. Jikalau kita mempertimbangkan pernyataan tersebut hanya melalui apa yang dinyatakan secara eksplisit oleh kata-katanya, maka baik B. B. Warfield yang ortodoks maupun Rudolf Bultmann yang eksistensialis, dapat menyetujuinya. Berapa besar otoritas yang dilihat dalam Alkitab amat bergantung pada bagaimana orang memahami kata "dipengaruhi" dalam pengakuan itu. Pada waktu perdebatannya berlangsung, banyak orang konservatif menyatakan kesedihannya yang sangat kalau memikirkan pendapat bahwa Alkitab "dipengaruhi" dengan cara apa pun oleh kebudayaan kuno. Banyak orang liberal berpendapat bahwa Alkitab tidak saja dipengaruhi oleh kebudayaan, tapi terikat oleh kebudayaan.

Sebagai tambahan pada persoalan pengertian dan tingkatan sampai di mana pengaruh budaya pada Alkitab, adalah persoalan pengertian dan tingkatan sampai di mana Alkitab memantulkan pandangan-pandangan hidup, sejarah, dan kosmos zaman kuno. Apakah kata memantulkan berarti bahwa Alkitab mengajarkan pandangan-pandangan hidup, sejarah, dan kosmos yang benar, kuno atau tidak benar? Apakah perspektif budaya ini merupakan bagian inti berita Alkitab? Ataukah memantulkan berarti bahwa kita boleh membaca apa yang tersirat di antara kalimat-kalimat Alkitab hal-hal seperti bahasa fenomenal dan melihat latar belakang tempat berita yang melampaui budaya itu diberikan? Bagaimana cara kita menjawab pertanyaan-pertanyaan ini banyak mengungkapkan pandangan kita yang menyeluruh tentang Alkitab. Sekali lagi, hakiki Alkitab memengaruhi penafsiran kita. Pokok persoalannya di sini begini: Sampai di mana relevansi dan wewenang Alkitab dibatasi oleh struktur-struktur dan perspektif-perspektif manusia yang berubah-ubah, dalam teks Alkitab?

Seperti yang telah kita lihat, untuk menghasilkan eksegesis teks Alkitab yang akurat dan untuk memahami apa yang dikatakan oleh Alkitab dan apa yang dimaksudkannya, orang yang mempelajari Alkitab harus terlibat dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai bahasa (Ibrani, Aram, Yunani), gaya tulisan, sintaks, konteks sejarah dan geografi, penulis, tujuan, dan bentuk sastra. Analisis seperti ini diperlukan untuk menafsir buah sastra mana saja, bahkan sastra masa kini sekalipun.

Ringkasnya, semakin saya memahami budaya Palestina abad pertama, semakin mudah saya mendapat pemahaman yang akurat mengenai apa yang dikatakan. Namun, Alkitab ditulis lama berselang, dalam suatu latar budaya yang lain sekali dari budaya kita sendiri, dan tidak selalu mudah menjembatani kesenjangan waktu antara abad pertama dan abad ke-20.

Pengaruh Budaya dan Pembaca

Problemnya menjadi lebih berat kalau saya menyadari bahwa tidak saja Alkitab dipengaruhi oleh latar budayanya, tetapi bahwa kita juga dipengaruhi oleh latar budaya kita sendiri. Sering kali menjadi lebih sulit bagi saya untuk membaca dan memahami apa yang dikatakan oleh Alkitab karena saya memasukkan ke dalamnya banyak sekali anggapan yang di luar Alkitab. Inilah mungkin problema pengaruh budaya yang terbesar yang kita hadapi. Setiap dari kita telah menjadi produk zaman. Jika seandainya saya tahu ada ide-ide saya yang tidak cocok dengan Alkitab, saya akan mencoba mengubahnya. Namun, memisah-misahkan pandangan-pandangan saya sendiri tidak selalu mudah. Kita semua cenderung untuk membuat kesalahan yang sama itu berulang kali. Kelemahan kita disebut kelemahan karena kita tidak menyadarinya.

Saya yakin bahwa pengaruh tatanan pikiran sekuler abad ke-20 merupakan halangan yang lebih hebat kepada penafsiran Alkitab yang akurat daripada problem pengaruh budaya kuno. Inilah salah satu alasan dasar mengapa tokoh-tokoh Reformed mendekati eksegesis melalui teladan tabula rasa. Penafsir diharuskan berusaha sekeras-kerasnya untuk membaca teks secara objektif melalui metode gramatis historis. Meskipun pengaruh-pengaruh subjektif selalu menunjukkan bahaya pembengkokan yang jelas di zaman ini, orang yang mempelajari Alkitab diharapkan untuk memakai setiap penjagaan yang memungkinkan dalam usaha mengejar yang ideal, yaitu mendengarkan berita Alkitab tanpa mencampurnya dengan prasangkanya sendiri.

Pada tahun-tahun akhir ini, metode-metode baru penafsiran Alkitab telah berlomba-lomba untuk diterima. Salah satu metode yang paling penting di antaranya ialah metode eksistensial. Metode eksistensial telah berpaling dengan drastis dari metode klasik melalui hermeneutika yang baru. Misalnya, Bultmann tidak hanya berpendapat bahwa metode tabula rasa tidak mungkin dicapai, melainkan juga menandaskan bahwa itu tidak dikehendaki. Menurut Bultmann, Alkitab perlu dimodernisasikan supaya dapat menjadi relevan bagi kita. Sebabnya ialah karena menurut dia, Alkitab ditulis dalam zaman prasains dan merupakan hasil pengaruh situasi kehidupan masyarakat Kristen mula-mula yang bertumbuh. Bultmann mengimbau diperlukannya "pemahaman sebelumnya", bahkan sebelum kita membaca teks Alkitab itu. Jikalau manusia modern ingin mendapatkan jawaban-jawaban yang absah terhadap pertanyaan-pertanyaannya, dari Alkitab, pertama kali yang harus ia lakukan ialah datang kepada Alkitab itu dengan pertanyaan-pertanyaan tepat. Namun, pengertian seperti itu tidak boleh didapat dari Alkitab, melainkan harus diformulasikan dahulu sebelum membuka Alkitab. Di sinilah, tatanan pikiran abad ke-20 terang-terangan memengaruhi dan mengikat teks-teks abad pertama, berita abad pertama ditelan dan diserap oleh mentalitas abad ke-20.

Bahkan, seandainya para penafsir Alkitab dapat menyetujui metode eksegesis dan bahkan dapat menyetujui hasil eksegesis itu sendiri, bahwa Alkitab diinspirasikan oleh Allah dan tidak semata-mata merupakan produk penulis-penulis zaman prasains, kita masih dihadapkan kepada persoalan penerapan, relevansi, dan kewajiban yang dibebankan oleh teks itu. Apakah yang diperintahkan Alkitab supaya dilakukan oleh orang-orang Kristen abad pertama berlaku untuk diterapkan kepada kita? Dalam pengertian yang bagaimana Alkitab berhubungan dengan hati nurani kita sekarang ini?

Prinsip dan Adat

Dalam banyak kalangan di masa kini, persoalannya ialah prinsip dan adat. Kecuali, kalau kita menyimpulkan bahwa semua isi Alkitab itu prinsip sehingga mengikat semua orang di segala zaman, atau kalau kita berpendapat bahwa seluruh Alkitab adalah adat lokal tanpa relevansi di luar konteks historisnya yang langsung, maka kita dipaksa untuk menetapkan sejumlah kategori dan garis pedoman untuk mengetahui perbedaan antara kedua pendapat itu.

Untuk menggambarkan problemnya, marilah kita lihat apa yang terjadi waktu kita memercayai bahwa setiap halaman dalam Alkitab adalah prinsip dan tidak ada yang semata-mata hanya pantulan adat lokal. Jika demikian halnya, maka sejumlah perubahan radikal harus dilaksanakan dalam penginjilan jikalau kita ingin mematuhi Alkitab. Tuhan Yesus berkata, "Janganlah membawa pundi-pundi atau bekal atau kasut, dan janganlah memberi salam kepada siapa pun selama dalam perjalanan" (Lukas 10:4). Jika kita membuat teks ini suatu prinsip transkultural, maka sudah sewaktunya Billy Graham mulai berkhotbah tanpa sepatu! Jelas, maksud teks ini tidak menetapkan persyaratan abadi mengenai penginjilan tanpa sepatu. Namun hal-hal lain yang tidak begitu nyata, misalnya orang-orang Kristen masih belum bersepakat mengenai ritus mencuci kaki, apakah ini merupakan mandat abadi bagi gereja di segala abad, atau hanya adat lokal yang menggambarkan prinsip kerendahan hati seorang pelayan? Apakah prinsipnya tetap dan adatnya hilang dalam budaya memakai sepatu? Ataukah adatnya tetap bersama dengan prinsipnya, tidak peduli adat memakai sepatu atau tidak?

Sumber: 

Diambil dan disunting dari:

Judul buku: Mengenal Alkitab
Judul bab : Budaya dan Alkitab
Penulis : R.C. Sproul
Penerbit : Departemen Literatur SAAT, Malang
Halaman : 112 -- 119

Komentar