Tentang KamiArtikel TerbaruUpdate Terakhir |
Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SOTeRI Pemahaman Alkitab Pribadi dan Penafsiran Pribadi
Editorial:
Dear e-Reformed netters, Untuk melengkapi diskusi kita tentang "Memakai Terjemahan Alkitab yang Tepat", maka posting artikel untuk bulan Juli adalah artikel pendek yang saya ambil dari buku tulisan R.C. Sproul tentang "Pemahaman Alkitab Pribadi dan Penafsiran Pribadi". Selamat membaca dan berdiskusi. In Christ,
Penulis:
R.C. Sproul
Edisi:
018/VII/2001
Isi:
Dua warisan yang kita peroleh dari gerakan Reformasi adalah prinsip penafsiran pribadi dan terjemahan Alkitab ke dalam bahasa setempat. Kedua prinsip tersebut bergandengan tangan dan baru diselesaikan setelah terjadi dua perdebatan sengit dan penganiayaan. Banyak orang menjadi martir dengan menjalani hukuman dibakar hidup-hidup (terutama di negeri Inggris) karena berani menerjemahkan Alkitab ke dalam mereka sendiri. Salah satu pencapaian Luther yang terbesar adalah terjemahan Alkitab ke dalam bahasa Jerman sehingga setiap orang yang melek huruf dapat membacanya sendiri. Luther sendirilah yang meruncingkan persoalan penafsiran Alkitab secara pribadi pada abad ke-16. Di balik respons Bapak Reformasi itu terhadap penguasa-penguasa gereja dan negara di Majelis Worms, sebenarnya terdapat prinsip penafsiran pribadi. Pada waktu Luther diminta untuk menarik kembali tulisan-tulisannya, ia menjawab, "Kecuali kalau saya diyakinkan oleh Kitab Suci atau oleh alasan yang nyata, saya tidak dapat menarik diri. Karena hati nurani saya ditawan oleh Firman Allah, maka tidak benar dan tidak aman melawan hati nurani itu. Di sini saya berdiri. Saya tidak dapat berbuat lain. Allah menolong saya." Perhatikan, Luther berkata, "kecuali kalau saya diyakinkan..." Pada perdebatan-perdebatan yang lebih awal di Leipzig dan Augsburg, Luther telah berani menafsir Alkitab berlawanan dengan interpretasi-interpretasi atau penafsiran-penafsiran Paus dan majelis-mejelis gereja. Begitu beraninya ia, sehingga dituduh congkak oleh pejabat-pejabat gereja. Luther tidak menganggap enteng tuduhan-tuduhan itu, melainkan menderita sekali karena mereka. Ia berpendapat ia dapat saja salah, namun ia juga bersikeras mengatakan bahwa Paus dan majelis-majelis juga bisa salah. Bagi dia hanya satu saja sumber kebenaran yang bebas dari salah. Ia berkata, "Alkitab tidak pernah salah." Jadi, kecuali jika pemimpin-pemimpin gereja dapat menyakinkan dia mengenai kesalahannya, ia merasa diikat oleh kewajiban untuk mengikuti apa yang hati nuraninya diyakinkan oleh ajaran Alkitab. Melalui perdebatan ini lahirlah konsep penafsiran pribadi, yang langsung dibaptis oleh api. Setelah deklarasi Luther yang berani dan menyusul karyanya menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Jerman di Wartburg, Gereja Roma Katolik tidak tergelimpang mati. Gereja itu memobilisasikan kekuatannya untuk serangan balasan seolah-olah dengan tombak berujung tiga. Serangan balasan ini dikenal sebagai "Counter Reformation." Salah satu ujung tombak yang ditikamkan adalah seperangkat formulasi melawan Protestanisme oleh Konsili Trent. Trent berbicara melawan banyak pokok bahasan yang dikemukakan oleh Luther dan tokoh-tokoh Reformasi lainnya. Di antara pokok-pokok bahasan itu ada yang mengenai penafsiran. Trent berkata;
Pernyataan itu antara lain berkata bahwa Gereja Katolik Romalah yang berkewajiban menguraikan dan menyatakan makna Alkitab serta mengajarkannya. Pernyataan Trent ini jelas dirancang untuk melawan prinsip penafsiran pribadi pihak Reformasi. Namun jika kita memeriksa pernyataan di atas lebih teliti, kita dapat melihat salah pengertian yang serius tentang prinsip Reformasi. Apakah tokoh-tokoh Reformasi mengembangkan ide penafsiran liar? Apakah penafsiran pribadi berarti bahwa setiap orang berhak menafsirkan Alkitab sesuka hatinya, menuruti apa yang cocok dengan dirinya sendiri? Bolehkah orang menafsirkan Alkitab dengan cara tidak keruan, tidak konsisten, tanpa kendali? Apakah setiap pribadi harus menghargai penafsiran-penafsiran orang lain, misalnya yang berspesialisasi dalam mengajar Alkitab? Jawaban-jawaban pertanyaan-pertanyaan tersebut jelas. Tokoh-tokoh Reformasi juga berprihatin terhadap cara-cara dan sarana-sarana untuk mengekang semangat-semangat liar. Ini jugalah salah satu alasan mengapa mereka bekerja giat untuk menjelaskan prinsip-prinsip sehat penafsiran Alkitab sebagai pengekangan dan keseimbangan menghadapi penafsiran yang fantastis. Tetapi cara mereka berusaha mengekang semangat-semangat liar bukanlah dengan menyatakan bahwa pengajaran-pengajaran pemimpin-pemimpin gereja tidak bisa salah. Mungkin istilah yang paling penting yang muncul dalam deklarasi Trent tersebut ialah kata membengkokkan. Trent mengatakan bahwa tidak seorang pun memiliki hak pribadi untuk membengkokkan Alkitab. Para Reformasi dengan sebulat hati menyetujuinya. Penafsiran pribadi tidak pernah dimaksudkan agar setiap pribadi berhak membengkokkan Alkitab. Bersama dengan hak penafsiran pribadi adalah tanggung jawab yang penuh kesadaran untuk penafsiran akurat. Penafsiran pribadi memberikan izin menafsir tapi tidak memberikan izin membengkokkan Alkitab. Jika kita melihat kembali pada zaman Reformasi beserta dengan respons kejam pihak Inkuisisi (suatu badan milik Gereja Katolik Roma di abad ke-13 untuk menyelidiki dan menghukum bidat-bidat) dan penganiayaan-penganiayaan terhadap orang-orang yang mengalihbahasakan Alkitab, kita menjadi ngeri. Kita heran bagaimana para pemimpin Gereja Katolik Roma dapat begitu jahat menyiksa orang-orang karena membaca Alkitab. Namun apa yang sering tidak dilihat dalam perenungan historis seperti itu adalah itikad baik orang-orang yang terlibat dalam tindakan tersebut. Roma yakin bahwa jikalau Alkitab diletakkan di tangan kaum awam yang tidak berpendidikan teologi dan membiarkan mereka menafsir Alkitab, maka pembengkokan-pembengkokan atau penyimpangan-penyimpangan besar akan terjadi. Hal ini akan menyesatkan domba-domba, mungkin juga akan membawa mereka ke neraka kekal. Jadi untuk melindungi domba-domba supaya jangan memasuki jalan yang membawa kepada pemusnahan diri pada akhirnya, Gereja menempuh cara hukuman badan, bahkan sampai kepada hukuman mati. Luther menyadari bahaya-bahaya gerakan Alkitab di tangan awam, tapi yakin tentang kejelasan Alkitab. Jadi meskipun bahaya penyimpangan besar, ia berpendapat bahwa faedah memperlihatkan berita dasar Injil yang jelas kepada orang banyak akan pada akhirnya lebih banyak membawa orang kepada keselamatan daripada kepada kebinasaan. Luther bersedia mengambil resiko mendobrak pintu air yang akan mengakibatkan banjir kesalahan. Penafsiran pribadi membuka Alkitab untuk kaum awam, tapi tidak membuang prinsip pendidikan rohaniwan. Kembali kepada zaman-zaman Alkitab, para Reformasi mengakui bahwa dalam praktik dan pengajaran Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru ada kedudukan penting untuk para rabi (guru), ahli Taurat dan pelayanan di bidang pengajaran. Bahwa para guru harus ahli dalam bahasa-bahasa asli Alkitab, adat istiadat zaman Alkitab, sejarah suci dan analisis sastra, masih menjadi ciri penting gereja Kristen. Doktrin Luther yang terkenal, "imamat rajani" sering disalahfahami. Doktrin ini tidak berarti tidak ada perbedaan antara rohaniwan dan awam. Doktrin ini hanya menegaskan bahwa setiap orang Kristen harus berperan dan berfungsi untuk melangsungkan pelayanan gereja secara keseluruhan. Kita semua dipanggil untuk menjadi "Kristus bagi sesama kita" dalam pengertian tertentu. Namun ini tidak berarti bahwa gereja tidak memiliki gembala-gembala atau guru-guru. Banyak orang telah dikecewakan oleh gereja yang terorganisasi di zaman kebudayaan masa kini. Sebagian di antara mereka bereaksi melampaui batas ke arah anarki gereja. Muncul dari revolusi budaya tahun 60-an dengan kedatangan "Jesus movement" (gerakan Yesus) dan gereja "bawah tanah" muncul pada slogan-slogan pemuda, "Saya tidak perlu mencari pendeta. Saya tidak mempercayai gereja yang terorganisasi ataupun pemerintahan tubuh Kristus yang berstruktur." Di tangan orang-orang seperti itu prinsip penafsiran pribadi dapat menjadi izin untuk subjektivisme radikal. OBJECTIVITAS DAN SUBJECTIVITAS Bahaya penafsiran pribadi yang besar adalah bahasa subjectivisme dalam penafsiran Alkitab masa kini. Bahayanya lebih meluas daripada yang dapat kita lihat secara langsung. Saya telah melihat bahaya yang sulit dilihat oleh sembarang orang pada waktu saya ikut serta dalam diskusi dan perdebatan teologis. Baru-baru ini saya ikut diskusi panel bersama dengan para ahli Alkitab. Kami sedang mendiskusikan pro dan kontra mengenai Perjanjian Baru tertentu yang makna dan penerapannya mengundang perdebatan. Dalam pernyataan pembukaannya, seorang ahli Perjanjian Baru berkata, "Saya berpendapat bahwa kita harus terbuka dan jujur mengenai bagaimana metode pendekatan kita terhadap Perjanjian Baru. Pada analisis terakhir kita akan membacanya seperti apa yang kita ingin baca. Itu tidak menjadi soal." Hampir saya khawatir salah dengar. Saya begitu kaget sehingga tidak membantahnya. Keterkejutan saya bercampur dengan perasaan kesia-siaan dalam mengusahakan kemungkinan bertukar pendapat yang cukup berarti. Jarang sekali mendengar ahli yang menyatakan prasangkanya begitu terang-terangan di depan umum. Kita semua mungkin bergumul melawan kecenderungan yang berdosa melawan keinginan membaca Alkitab sesuai dengan keinginan kita, namun saya harap kita tidak selalu memakai cara itu. Saya percaya ada sarana-sarana yang tersedia bagi kita untuk mengekang kecenderungan itu. Pada tingkat umum, kemudahan untuk menerima semangat subjectivisme penafsiran Alkitab ini juga sama lazimnya. Sering terjadi, setelah saya selesai membahas makna suatu pasal, orang mendebat pernyataan saya dengan mengatakan, "Ah, itu kan pendapatmu." Komentar itu menunjukkan apa? Pertama, jelas sekali bagi semua orang yang hadir di situ bahwa tafsiran yang saya kemukakan adalah pendapat saya sendiri. Saya hanya seseorang yang baru saja mengemukakan pendapat. Tetapi bukan demikian pendapat orang lain. Kedua, mungkin komentar itu menunjukkan perdebatan tanpa suara dengan memakai asosiasi yang salah. Dengan cara menunjuk bahwa pendapat yang saya kemukakan itu hanya pendapat saya sendiri, mungkin orang tersebut merasa bahwa itu saja yang diperlukan untuk mendebat, karena setiap orang beranggapan sama menganai saya meskipun tidak dikatakan, yaitu begini: apa saja pendapat yang ke luar dari mulut R.C. Sproul pasti salah karena ia tidak pernah dan tidak akan pernah betul. Betapapun bermusuhannya mereka terhadap pendapat-pendapat saya, saya tidak yakin bahwa itulah yang mereka maksudkan ketika mereka berkata, "Ah, itu kan pendapatmu." Saya kira alternatif yang paling mungkin dapat digambarkan dengan kata-kata ini, "Itu penafsiranmu yang baik untukmu saja. Saya tidak menyetujuinya, tetapi tafsiran saya sama absahnya. Meskipun tafsiran-tafsiran kita bertentangan, keduanya mungkin betul. Apa yang saya sukai itu betul bagi saya dan apa yang saya sukai itu betul bagimu." Inilah subjektivisme. Subjektivisme tidak sama dengan subjektivitas. Mengatakan bahwa kebenaran memiliki elemen subjektif, lain daripada mengatakan bahwa kebenaran itu sepenuhnya subjektif. Supaya kebenaran atau kepalsuan dapat bermakna untuk hidup saya, haruslah diterapkan kepada hidup saya dengan cara tertentu. Pernyataan, "Hujan turun di tempat itu" pada kenyataannya boleh benar secara objektif, tetapi tidak relevan dengan hidup saya. Saya baru dapat melihat relevansinya, misalnya, kalau ditunjukkan bahwa hujan itu begitu derasnya sehingga banjir dan merusakkan sawah ladang saya di dekat situ yang baru saja saya tanami. Baru waktu itu pernyataan itu mempunyai relevansi subjektif dengan hidup saya. Pada waktu kebenaran suatu proposisi memukul dan mencekam saya, barulah persoalannya menjadi subjektif. Penerapan teks Alkitab kepada kehidupan saya mungkin bernada sangat subjektif. Tapi ini bukan yang kita maksudkan dengan subjektivisme. Subjektivisme terjadi jikalau kita membengkokkan makna objektif istilah-istilah supaya cocok dengan minat-minat kita sendiri. Mengatakan, "Hujan turun di tempat itu" mungkin tidak berelevansi dengan hidup saya di sini, tetapi perkataan itu tetap bermakna. Perkataan itu bermakna bagi kehidupan manusia di sana, bagi tanaman-tanamannya dan binatang-binatangnya. Subjektivisme terjadi apabila kebenaran suatu pernyataan tidak hanya diperluas atau diterapkan pada subjeknya, tetapi apabila kebenaran itu secara mutlak ditetapkan oleh subjeknya. Jika kita ingin menghindarkan diri dari pembengkokan atau penyimpangan Alkitab dari awal kita sudah harus menghindari subjektivisme. Dalam usaha memahami Alkitab secara objektif, kita tidak dapat menciutkan Alkitab menjadi sesuatu yang dingin, abstrak dan mati. Yang harus kita lakukan adalah berusaha memahami apa yang dikatakan olehnya di dalam konteksnya sebelum kita melaksanakan tugas yang sama pentingnya, yaitu menerapkan pada diri kita sendiri. Suatu pernyataan tertentu boleh saja mempunyai kemungkinan adanya sejumlah penerapan-penerapan pribadi, tetapi pernyataan itu hanya dapat memiliki satu arti saja yang benar. Penafsiran-penafsiran yang berlain-lainan yang saling kontradiksi dan tidak dapat disatukan, tidak mungkin benar, kecuali kalau Allah berbicara dengan lidah bengkok. Kita akan membahas persoalan kontradiksi dan makna tunggal pernyataan-pernyataan secara lebih lengkap belakangan. Namun sekarang ini kita membahas penetapan sasaran-sasaran penafsiran Alkitab yang sehat. Sasaran pertama ialah kepada makna Alkitab yang objectif dan menghindari perangkap-perangkap pembengkokan yang disebabkan oleh membiarkan penafsiran-penafsiran dikuasai oleh subjektivisme. Ahli-ahli Alkitab membuat perbedaan penting antara apa yang mereka sebut sebagai eksegesis dan eisogesis. Eksegesis berarti menerangkan apa yang dikatakan oleh Alkitab. Kata itu berasal dari kata Yunani yang berarti, "memimpin ke luar." Kunci kepada eksegesis ada pada awalan "eks" yang berarti "dari" atau "ke luar dari". Melakukan eksegesis kepada Alkitab berarti mengeluarkan makna yang terdapat pada kata-katanya, tanpa ditambahi dan tanpa dikurangi. Sebaliknya kata eisogesis berasal dari akar kata yang sama, tetapi dengan awalan yang berlainan. Awalan eis, juga berasal dari bahasa Yunani yang berarti "ke dalam". Jadi, eisogesis menyangkut memasukkan ide sendiri ke dalam teks yang sebenarnya sama sekali tidak terdapat dalam kata-kata teks tersebut. Eksegesis adalah usaha yang objektif. Eisogesis menyangkut praktik subjektivisme. Kita semua harus bergumul dengan problem subjektivisme. Alkitab sering mengatakan hal-hal yang tidak ingin kita dengar. Dalam hal ini kita dapat menutup telinga dan mata kita. Jauh lebih mudah dan jauh lebih tidak menyakitkan untuk tidak mengkritik Alkitab daripada dikritik oleh Alkitab. Tidak heran Yesus sering menutup pembicaraan-Nya dengan, "Siapa mempunyai telinga untuk mendengar, hendaklah ia mendengar!" ( Subjektivisme tidak saja menghasilkan kesalahan dan penyimpangan, tetapi juga kesombongan. Mempercayai apa yang saya percayai hanya karena saya mempercayainya, atau mempertahankan kebenaran pendapat saya hanya karena itu adalah pendapat saya, adalah contoh kesombongan. Jikalau pandangan-pandangan saya tidak dapat lulus ujian analisis subjektif dan pembuktian, kerendahan hati menuntut supaya saya meninggalkan pandangan itu. Seorang penganut subjektivisme memiliki kesombongan untuk mempertahankan pendapatnya tanpa dukungan atau bukti-bukti objektif. Perkataan, "jika kau ingin mempercayai apa yang kau percayai, baiklah. Saya akan ingin mempercayai apa yang saya percayai," kedengarannya hanya rendah hati di kulit saja. Pandangan-pandangan pribadi harus dinilai dengan bukti dan pendapat di luar karena kita cenderung membawa kelebihan bobot kepada Alkitab. Tidak ada seorang pun di bumi ini yang memiliki pengertian tentang Alkitab dengan sempurna. Kita semua berpegang pada pandangan-pandangan dan menyukai ide-ide yang bukan dari Allah. Mungkin jika kita tahu secara tepat pandangan-pandangan kita yang mana yang salah itu sulit. Jadi pandangan-pandangan kita memerlukan peralatan yang dapat mengeceknya, yaitu berupa riset dan keahlian orang-orang lain. PERANAN GURU Dalam gereja-gereja Reformed pada abad ke-16 diadakan perbedaan antara dua macam tua-tua: tua-tua pengajar dan tua-tua pengatur. Tua-tua pengatur dipanggil untuk memerintah dan mengurus persoalan-persoalan jemaat. Tua-tua pengajar, atau gembala-gembala, terutama bertanggung-jawab untuk mengajar dan melengkapi orang-orang suci untuk pelayanan. Kira-kira dekade terakhir ini mengalami waktu yang luar biasa dalam pembaruan di banyak tempat. Organisasi-organisasi para gereja (organisasi-organisasi Kristen yang tidak dapat disebut gereja tetapi menjalankan aktivitas-aktivitas yang sejajar dengan gereja) telah berbuat banyak untuk memulihkan fungsi penting kaum awam bagi gereja lokal. Konperensi-konperensi pembaruan kaum awam sudah umum. Penekanannya tidak lagi pada pengkhotbah-pengkhotbah besar, tapi pada program-program besar untuk dan oleh kaum awam. Ini bukan zaman untuk pengkhotbah besar, tetapi zaman untuk jemaat besar. Salah satu perkembangan penting gerakan pembaruan kaum awam ialah munculnya sejumlah kelompok pemahaman Alkitab kecil-kecil yang dilaksanakan di rumah-rumah tangga. Di sini suasana keakraban dan informalitas terasa. Orang-orang yang dengan cara lain di tempat lain tidak akan tertarik kepada Alkitab di sini maju dalam hal mempelajari Alkitab. Dinamika kelompok dalam bentuk kecil pada dasarnya merupakan kunci untuk membuka hati kaum awam. Kaum awam saling mengajar atau mengumpulkan ide-ide mereka sendiri dalam kelompok-kelompok pemahaman Alkitab seperti itu. Kelompok-kelompok seperti itu telah berhasil membarui gereja. Mereka akan lebih berhasil waktu mereka makin ahli memahami dan menafsir Alkitab. Bahwa orang mulai membuka Alkitab dan mempelajarinya bersama-sama adalah hal yang luar biasa besar. Tetapi ini juga sangat berbahaya. Mengumpulkan pengetahuan membangun gereja. Mengumpulkan ketidaktahuan merusak gereja dan menunjukkan problem orang buta memimpin orang buta. Meskipun kelompok-kelompok kecil pemahaman Alkitab di rumah-rumah tangga dapat menjadi sarana sangat efektif untuk pembaruan gereja dan perubahan masyarakat, ada waktunya mereka harus menerima pengajaran sehat dari pihak yang dapat dipertanggungjawabkan. Saya tetap yakin bahwa gereja memerlukan rohaniwan yang telah terdidik. Studi pribadi dan interpretasi pribadi harus diimbangi oleh kebijaksanaan guru-guru secara kolektif. Jangan salah paham. Saya tidak memanggil gereja untuk kembali pada situasi pra-Reformasi waktu Alkitab ditawan oleh para rohaniwan. Saya bergembira melihat orang mulai mempelajari Alkitab secara berdikari. Dengan demikian darah para martir tidak percuma tumpah. Tapi saya ingin mengatakan bahwa orang awam itu bijaksana kalau mengadakan pemahaman Alkitab yang tidak lepas dari otoritas gembala-gembala atau guru-guru mereka. Kristus sendirilah mengaruniai gereja-Nya dengan karunia mengajar. Karunia itu dan jawatan itu harus dihormati kalau umat Kristus ingin menghormati Kristus. Penting bagi para guru untuk mendapatkan pendidikan yang memadai. Sudah barang tentu kadang-kadang muncul guru-guru yang meskipun tidak mendapatkan pendidikan formal, namun memiliki wawasan ke dalam Alkitab yang luar biasa. Namun orang-orang seperti itu jarang sekali. Lebih sering kita menghadapi problem dari orang-orang yang mengaku dirinya guru tapi sama sekali tidak berkualitas mengajar. Seorang guru yang baik harus memiliki pengetahuan yang sehat dan keahlian-keahlian yang diperlukan untuk menguraikan bagian-bagian Alkitab yang sulit. Di sini diperlukan penguasaan bahasa asli, sejarah dan teologi, bahkan amat diperlukan. Jika meneliti sejarah orang Yahudi zaman Perjanjian Lama, kita melihat bahwa ancaman yang paling keras dan terus menerus adalah ancaman dari pihak nabi atau guru palsu. Israel lebih sering jatuh ke dalam kekuasaan guru pembohong yang membujuk mereka daripada jatuh ke dalam tangan orang Filistin. Perjanjian Baru menyaksikan problem yang sama dalam Gereja Kristen awal. Nabi palsu itu seperti gembala upahan yang hanya berminat kepada upahnya sendiri daripada kepada kesejahteraan domba-dombanya. Tidak semua bermaksud menyesatkan umat Allah, atau memimpin mereka untuk berbuat kesalahan atau kejahatan. Banyak yang melakukannya karena tidak tahu. Kita harus lari dari pemimpin-pemimpin yang tidak berpengetahuan dan tidak berpikir panjang. Sebaliknya, salah satu berkat besar bagi Israel ialah waktu Allah mengutus kepada mereka nabi-nabi dan guru-guru yang mengajar mereka sesuai dengan pikiran Allah. Dengarlah peringatan yang sungguh-sungguh yang Tuhan sabdakan kepada nabi Yeremia:
Dengan perkataan penghakiman seperti ini, tidak heran kalau Perjanjian Baru mengingatkan, "Saudara-saudaraku, janganlah banyak orang di antara kamu mau menjadi guru; sebab kita tahu, bahwa sebagai guru kita akan dihakimi menurut ukuran yang lebih berat" ( Pemahaman Alkitab pribadi adalah sarana anugerah yang sangat penting bagi orang Kristen. Itu adalah hak istimewa dan kewajiban kita semua. Dalam anugerah-Nya dan kebaikan-Nya kepada kita, Allah tidak saja menyediakan guru-guru yang berkarunia dalam gereja-Nya untuk menolong kita. Ia juga menyediakan Roh Kudus-Nya sendiri untuk menerangi Firman-Nya dan untuk menunjukkan penerapan-Nya kepada kehidupan kita. Allah memberkati pengajaran sehat dan studi yang rajin.
Sumber:
Sumber diambil dari:
Komentar |
Kunjungi Situs Natalhttps://natal.sabda.org Publikasi e-Reformed |