Kepedulian Terhadap Ciptaan

Editorial: 

Dear e-Reformed Netters,

Salah satu kelebihan yang saya lihat dalam teologia Reformed adalah penekanannya yang sangat jelas akan kepemilikan Allah atas dunia dan jagat raya alam ini. Berdasarkan ayat Alkitab, "Sesungguhnya, TUHAN, Allahmulah yang empunya langit, bahkan langit yang mengatasi segala langit, dan bumi dengan segala isinya." (Ulangan 10:14), kita diingatkan bahwa manusia bukan pemilik dunia ini, tetapi Tuhan. Karena itu di dalam teologia Reformed, disamping "mandat penginjilan", "mandat budaya", juga menjadi satu tugas yang tidak boleh diabaikan oleh umat Kristen. Dengan memelihara alam semesta, sebagaimana yang Tuhan kehendaki, maka kita telah mewujudkan salah satu bentuk ibadah yang diperkenan oleh Tuhan.

Nah, artikel e-Reformed yang saya pilihkan bulan ini yang berjudul, "Kepedulian Terhadap Ciptaan", semoga menjadi teguran untuk kita semua, apakah sebagai anak Tuhan kita sudah bertanggung jawab dengan lingkungan dan bumi tempat kita tinggal ini? Silakan direnungkan dan kiranya dapat mengetuk kesadaran kita, sehingga kita mau ambil bagian dalam penyelamatan bumi dan lingkungan sekitar kita dari perusakan yang dilakukan oleh manusia yang tidak bertanggung jawab.

Selamat membaca dan merenungkan!

In Christ, Yulia Oen < http://reformed.sabda.org >

Penulis: 
John R.W. Stott
Edisi: 
133/Oktober 2012
Tanggal: 
30 Oktober 2012
Isi: 

Dalam menunjukkan apa yang (dalam pandangan saya) merupakan beberapa aspek yang terlupakan dari pemuridan yang radikal, kita tidak boleh menyangka bahwa hal-hal ini terbatas pada ranah-ranah personal dan individual. Kita juga harus memerhatikan dalam perspektif yang lebih luas tentang tugas kita kepada Allah dan sesama kita, yang sebagian merupakan bagian dari topik pada bab ini: kepedulian terhadap lingkungan hidup kita.

Alkitab mengatakan kepada kita bahwa dalam penciptaan, Allah mendirikan bagi manusia tiga relasi yang sangat fundamental: pertama relasi terhadap diri-Nya sendiri, sebab Ia menciptakan mereka dalam gambar dan rupa-Nya; kedua relasi satu terhadap yang lain, sebab umat manusia merupakan makhluk yang majemuk sejak mulanya; dan ketiga, relasi terhadap bumi yang diciptakan, beserta dengan segala ciptaan di dalamnya.

Selanjutnya, ketiga relasi ini menyimpang akibat kejatuhan. Adam dan Hawa terpisah dari hadirat Tuhan Allah di taman tersebut, mereka saling menyalahkan satu dengan yang lain untuk apa yang telah terjadi, dan bumi yang baik terkutuk akibat ketidaktaatan mereka.

Dunia

Ini kemudian menjadi alasan yang kuat mengapa rencana pemulihan Allah tidak hanya meliputi pendamaian kita dengan Allah dan sesama, tetapi juga pembebasan terhadap ciptaan yang sama-sama sedang merintih. Kita dapat dengan pasti meyakini bahwa satu hari kelak akan hadir surga dan bumi yang baru (2 Petrus 3:13; Wahyu 21:1), sebab ini merupakan bagian yang esensial dari pengharapan kita bagi kesempurnaan masa depan yang sedang menanti kita pada akhir masa. Namun, sementara itu, seluruh ciptaan sedang merintih, mengalami sakit bersalin dari ciptaan baru (Roma 8:18-23). Sampai sejauh mana tujuan akhir bumi akan dapat dialami/dinikmati saat ini, masih merupakan bahan yang dapat diperdebatkan. Namun, kita dapat dengan pasti mengatakan bahwa sebagaimana pemahaman kita terhadap tujuan akhir dari tubuh kebangkitan kita, harusnya memengaruhi cara berpikir kita dan cara kita memperlakukan tubuh kita sekarang ini, sehingga pengetahuan kita akan langit dan bumi baru seharusnya memengaruhi dan meningkatkan penghargaan akan bumi melalui cara kita memperlakukannya sekarang.

Jadi, bagaimana seharusnya sikap kita terhadap bumi? Alkitab menunjukkan caranya dengan membuat dua penguatan yang sangat mendasar: "Tuhanlah yang empunya bumi" (Mazmur 24:1), dan "Langit itu langit kepunyaan TUHAN, dan bumi itu telah diberikan-Nya kepada anak-anak manusia" (Mazmur 115:16).

Pada bulan Mei 1999, saya mendapatkan hak istimewa untuk mengambil bagian dalam seminar sehari di Nairobi dengan tema "Kekristenan dan Lingkungan Hidup". Yang menjadi pembicara bersama saya adalah Dr. Calvin De Witt, dari "Au Sable Institute" Michigan dan Peter Harris dari "A Rocha International". Para peserta yang hadir saat itu termasuk para pemimpin Kenya, baik dari kalangan pemerintahan maupun wakil dari gereja-gereja, organisasi-organisasi misi, dan berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM). Pertemuan ini mendapatkan perhatian luas. Ini merupakan bukti bahwa kepedulian terhadap lingkungan hidup bukanlah kepentingan egois yang dikembangkan oleh negara-negara maju, atau pun antusiasme minoritas yang semata-mata milik para pengamat burung atau pecinta bunga, tetapi secara perlahan-lahan tetapi pasti, hal ini menjadi perhatian dari kekristenan arus utama.

Segera sesudah itu, Deklarasi Kaum Injili tentang Evangelical Declaration on the Care of Creation (Kepedulian terhadap Lingkungan Hidup) diterbitkan (1999), dan pada tahun berikutnya, sebuah penjelasan yang penting tentang deklarasi ini muncul, disunting oleh R.J. Berry dan berjudul The Care of Creation (Kepedulian terhadap Alam Ciptaan). [1]

Pernyataan bahwa "Tuhanlah yang empunya bumi" dan bahwa "bumi itu telah diberikan-Nya kepada anak-anak manusia", merupakan dua hal yang saling melengkapi dan tidaklah saling bertentangan. Sebab, bumi merupakan milik Allah, karena memang diciptakan oleh Allah dan merupakan milik kita, karena didelegasikan oleh Allah. Ini tidak berarti bahwa Allah telah menyerahkannya kepada kita, sehingga Ia kehilangan hak atasnya, tetapi ini berarti bahwa Ia telah memberikan kepada kita tanggung jawab untuk menjaga dan mengembangkan bumi ini demi Dia.

Jika demikian, bagaimana seharusnya kita berelasi dengan bumi ini? Jika kita mengingat bahwa ciptaan dihadirkan oleh Allah dan didelegasikan kepada kita, kita akan menghindarkan diri dari dua posisi ekstrem yang saling bertolak belakang, dan sebaliknya kita akan mengembangkan relasi ketiga dan yang lebih baik dengan alam.

Pertama, kita akan menghindarkan diri dari mengilahkan alam. Inilah kesalahan kaum panteis yang mengindentifikasikan Pencipta dengan ciptaan-Nya, atau dari kepercayaan animisme yang percaya bahwa dunia natural dipenuhi oleh roh-roh, dan dari Zaman Baru yaitu Gerakan "Gaia" (Gerakan ini memercayai bahwa bumi adalah superorganisme yang mampu menyesuaikan diri dan juga memelihara kehidupan yang berjalan di dalamnya) yang menyatakan bahwa sifat pada alam itu mandiri, memiliki mekanisme keteraturan sendiri, dan mampu memperbarui diri sendiri. Namun, semua pandangan yang membingungkan ini menghina Sang Pencipta. Kesadaran umat kristiani bahwa alam merupakan ciptaan bukan Pencipta, merupakan pengantar yang tak terbantahkan bagi seluruh upaya ilmu pengetahuan, dan sangat penting bagi pengembangan sumber daya yang dimiliki bumi saat ini. Kita menghargai alam sebab Allah menjadikannya; kita tidak menyembah alam seolah-olah itu adalah Allah sendiri.

Kedua, kita harus menghindarkan diri dari posisi ekstrem yang sebaliknya, yakni eksploitasi alam. Ini bukanlah tindakan menjilat alam seolah-olah ia adalah Allah, tetapi ini adalah tindakan yang arogan terhadap alam bahwa seolah-olah kita adalah Allah. Kejadian 1 dengan tidak adil telah dipersalahkan akibat kerusakan lingkungan. Memang benar Allah memerintahkan umat manusia untuk "memerintah atas" bumi dan untuk "menaklukkannya" (Kejadian 1:26-28), dan memang benar bahwa dua kata kerja Ibrani ini adalah kata yang kuat. Namun, sangat menggelikan bila membayangkan bahwa Ia yang telah "menciptakan" bumi ini, kemudian menyerahkannya kepada kita untuk "dihancurkan". Tentu tidak, kuasa Allah yang telah diberikan kepada kita seharusnya dilihat sebagai sebuah tanggung jawab pelayanan, bukan sebuah dominasi yang menghancurkan.

Relasi ketiga dan yang tepat antara umat manusia dan alam adalah kerja sama dengan Allah. Tentu saja, kita sendiri adalah bagian dari ciptaan, sama bergantungnya kepada Pencipta sebagaimana semua ciptaan-Nya yang lain. Namun, pada saat yang sama, Ia telah dengan sengaja merendahkan diri-Nya untuk menjadikan sebuah kemitraan bersama Allah -- manusia yang diperlukan. Ia menciptakan bumi ini, tetapi kemudian memerintahkan kita untuk menaklukkannya. Ia menjadikan sebuah taman, tetapi kemudian menempatkan Adam di dalamnya "untuk mengusahakan dan memeliharanya" (Kejadian 2:15). Ini sering disebut sebagai mandat budaya. Sebab, apa yang telah Allah berikan kepada kita disebut "alam", sedangkan apa yang kita lakukan terhadap alam disebut "budaya". Kita tidak hanya dipanggil untuk melestarikan alam, tetapi juga untuk mengembangkan sumber-sumber daya yang ada di dalamnya bagi kebaikan bersama.

Panggilan bekerja sama dengan Allah untuk menggenapi rencana-Nya, dalam mentransformasi seluruh ciptaan untuk kenikmatan dan keuntungan semua merupakan panggilan yang sangat mulia. Dalam hal inilah pekerjaan kita semestinya menjadi sebuah ekspresi dari ibadah kita, sebab kepedulian kita terhadap lingkungan akan mencerminkan kasih kita terhadap Sang Pencipta.

Pandangan yang lain: sangat mungkin terjadi penekanan yang berlebihan terhadap upaya manusia dalam konservasi dan transformasi lingkungan hidup. Dalam eksposisinya yang sangat baik terhadap tiga pasal pertama dari Kitab Kejadian, lewat bukunya In the Beginning, [2] Henri Blocher menyatakan bahwa puncak dari Kejadian pasal 1 bukanlah penciptaan dari manusia sebagai pekerja, melainkan institusi Sabat bagi umat manusia sebagai penyembah-penyembah Allah. Puncak dari semuanya ini bukanlah kerja keras kita (menaklukkan bumi ini), melainkan tindakan meninggalkan kerja keras kita pada hari Sabat (perhentian). Sebab, Sabat menempatkan pentingnya pekerjaan dalam perspektif yang tepat. Sabat melindungi kita dari penghisapan total diri kita ke dalam pekerjaan, seolah-olah hanya itulah arti dan tujuan keberadaan diri kita. Ini tidak benar. Kita sebagai manusia menemukan kemanusiaan kita tidak hanya dari relasi kita dengan bumi ini, yang memang menjadi panggilan kita untuk mentransformasinya, melainkan dalam relasi dengan Allah yang haruslah kita sembah; tidak hanya dalam kaitannya dengan ciptaan, tetapi terutama relasi dengan Sang Pencipta. Allah menginginkan agar pekerjaan kita merupakan ekspresi dari penyembahan kita, dan kepedulian kita terhadap ciptaan merupakan cerminan dari kasih kita kepada-Nya. Hanya dengan demikianlah, apa pun yang kita lakukan, dalam kata dan karya, kita sanggup melakukannya bagi Kejadian pasal 1kemuliaan Allah (1 Korintus 10:31).

Hal-hal ini dan tema-tema Alkitab yang lain dibukakan, baik lewat "Deklarasi Kaum Injili tentang Kepedulian terhadap Lingkungan Hidup" maupun dalam penjelasannya. Hal-hal ini layak untuk kita pelajari dengan saksama. [3]

Krisis Ekologi

Ini adalah latar belakang pengajaran alkitabiah yang sangat penting, yang kita perlukan untuk menghadapi krisis ekologi yang terjadi saat ini. Hal ini telah ditelaah dalam pelbagai cara, tetapi setiap analisis yang ada tersebut mengandung empat aspek berikut.

1. Terjadi percepatan pertumbuhan penduduk dunia.

Berdasarkan perkiraan divisi populasi Perserikatan Bangsa-Bangsa, penghitungan dimulai dari tahun 1804 SM, ketika penduduk dunia mencapai 1 milyar jiwa. [4] Pada permulaan abad ke-20, populasi dunia tersebut telah mencapai angka 6,8 milyar jiwa, dan pada pertengahan abad ini diperkirakan angkanya akan mencapai jumlah yang luar biasa yaitu, 9,5 milyar jiwa.

Karena agak sulit mengingat angka-angka dalam statistik, maka sebuah "jembatan keledai" sederhana mungkin dapat membantu kita untuk mengingat hal ini:

Dunia

Masa lampau -- 1804 SM -- 1 milyar

Masa kini -- 2000 M -- 6,8 milyar

Masa depan -- 2050 M -- 9,5 milyar

Bagaimana mungkin memberi makan sedemikian banyak orang, terutama ketika seperlima dari mereka tidak memiliki kebutuhan pokok untuk bertahan hidup?

2. Semakin menipisnya sumber daya alam yang dimiliki bumi.

E.F. Shumacher, dalam buku populernya Small is Beautiful, [5] melukiskan perhatian dunia terhadap perbedaan antara modal dan pendapatan. Sebagai contoh, bahan bakar fosil merupakan modal habis, sekali mereka digunakan, mereka tidak dapat digantikan. Proses mengerikan yang disebut deforestatifikasi dan penggurunan juga merupakan contoh-contoh yang sama dengan apa yang terjadi pada bahan bakar fosil. Contoh-contoh yang lain adalah terjadinya degradasi atau polusi terhadap habitat plankton di laut lepas, dataran hijau di bumi, makhluk hidup, dan habitat makhluk hidup yang sangat bergantung kepada ketersediaan udara dan air bersih.

3. Masalah pembuangan limbah.

Populasi penduduk yang meningkat turut mendorong peningkatan masalah diakibatkan oleh perlu dipikirkannya cara penanganan pembuangan limbah proses produksi, pengepakan, dan konsumsi yang aman. Rata-rata orang di Inggris membuang sampah yang setara dengan berat badan mereka setiap tiga bulan. Pada tahun 1994, sebuah laporan dari Inggris bertajuk Sustainable Development: The UK Strategy merekomendasikan empat cara "hieraki dari manajemen limbah" sebagai upaya mewadahi masalah yang terus meningkat ini.

4. Perubahan iklim.

Dari semua tantangan global yang dihadapi oleh planet kita, ini adalah tantangan yang paling serius.

Lapisan atmosfer melindungi kita dari radiasi Ultraviolet, dan jika lapisan ozon rusak, sinar tersebut dapat masuk kemudian menyebabkan kanker kulit dan mengganggu sistem kekebalan kita. Itulah sebabnya ketika tahun 1983, sebuah lubang besar pada lapisan ozon tampak di atas daerah Antartika dan pada negara-negara sekitarnya, hal tersebut membangkitkan peringatan besar dari khalayak umum.

Beberapa tahun kemudian, lubang yang sama tampak di atas hemisphere bagian Utara. Dari peristiwa itu diketahui bahwa penipisan ozon tersebut diakibatkan oleh kloroflurokarbon (CFC), bahan kimia yang digunakan dalam pendingin ruangan, lemari es, dan propelan. Protokol Montreal menyerukan kepada semua negara untuk mengurangi setengah emisi CFC mulai tahun 1997.

Perubahan iklim adalah masalah yang berkaitan dengan hal ini. Pemanasan permukaan bumi (hal yang sangat esensial bagi kelangsungan planet kita) diakibatkan oleh kombinasi dari radiasi sinar matahari dan radiasi inframerah yang dipantulkan ke angkasa. Ini disebut "efek rumah kaca." Polusi atmosfir oleh "gas-gas yang menyebabkan efek rumah kaca" (khususnya karbondioksida) mengurangi emisi inframerah dan meningkatkan temperatur dari permukaan bumi. Inilah gambaran dari pemanasan global yang sangat mungkin dapat mengakibatkan malapetaka terhadap susunan geografis dunia dan pola iklim. [6]

Berefleksi dari empat bahaya terhadap lingkungan ini, kita dapat melihat bahwa planet kita sedang ada dalam bahaya yang besar. "Krisis" bukanlah kata yang terlalu dramatis untuk digunakan. Respons seperti apa yang tepat dalam situasi seperti ini? Untuk memulainya, kita patut berterima kasih bahwa pada akhirnya di tahun 1992, pertemuan yang disebut "Earth Summit" (KTT tentang Bumi) dilangsungkan di Rio de Janeiro dan dihasilkan sebuah kesepakatan "global sustainable development". Pertemuan-pertemuan berikutnya telah memberi kepastian bahwa persoalan-persoalan lingkungan hidup telah menjadi perhatian para pemimpin dunia.

Namun, di samping pertemuan-pertemuan para pemimpin ini, beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) telah bermunculan. Saya hanya akan menyebutkan dua organisasi Kristen yang paling terdepan, yakni "Tearfund" dan "A Rocha", keduanya baru saja merayakan hari jadi mereka yang spesial (masing-masing 40 tahun dan 20 tahun).

"Tearfund" didirikan oleh George Hoffman, berkomitmen pada pengembangan dalam makna yang luas, dan bekerja sama secara dekat dengan "partner" di negara-negara berkembang. Kisah yang sangat indah dari "Tearfund" telah didokumentasikan oleh Mike Hollow dalam bukunya A Future and a Hope.[7]

"A Rocha" memiliki perbedaan sebab berada pada lingkup yang lebih kecil. Lembaga ini didirikan pada tahun 1983 oleh Peter Harris, yang telah mendokumentasikan pertumbuhan lembaga ini dalam dua buku: Under the Bright Wings (sepuluh tahun pertama dari organisasi ini) dan Kingfisher`s Fire (memberikan informasi aktual dari kisah lembaga ini).[8] Perkembangan yang perlahan namun terus-menerus dari lembaga ini sangat mengagumkan, saat ini mereka bekerja di delapan belas negara, mendirikan pusat studi keilmuan di semua benua di dunia.

Dalam hal inilah pekerjaan kita semestinya menjadi sebuah ekspresi dari ibadah kita, sebab kepedulian kita terhadap lingkungan akan mencerminkan kasih kita terhadap Sang Pencipta.

FacebookTwitterWhatsAppTelegram

Merupakan hal yang sangat baik untuk memberi dukungan kepada LSM-LSM Kristen yang bergerak di bidang lingkungan hidup, namun apa bentuk tanggung jawab pribadi kita? Saya mengizinkan Chris Wright untuk menjawab pertanyaan ini, Apa yang dapat dilakukan oleh seorang murid yang radikal bagi alam ciptaan ini?

Chris memimpikan hadirnya sekumpulan besar orang-orang Kristen yang peduli dengan alam dan mereka memegang tanggung jawab lingkungan hidup secara serius: "Mereka memilih untuk menggunakan bentuk-bentuk energi yang dapat bertahan lama ketika memungkinkan. Mereka mematikan alat-alat elektronik yang tidak diperlukan. Mereka membeli makanan, barang-barang, dan layanan sedapat mungkin dari perusahaan-perusahaan yang dalam etikanya memberlakukan kebijakan-kebijakan terhadap lingkungan hidup. Mereka bergabung dalam perhimpunan-perhimpunan konservasi lingkungan hidup. Mereka menghindarkan diri dari konsumsi yang berlebihan dan limbah yang tidak diperlukan dan menggunakan bahan- bahan daur ulang sebanyak mungkin." [9]

Chris juga rindu melihat semakin banyaknya orang-orang Kristen yang turut menyertakan kepedulian terhadap lingkungan hidup dalam pemahaman alkitabiah mereka terhadap misi: "Pada waktu lampau, kekristenan secara spontan sangat peduli terhadap isu-isu yang besar dan penting dalam setiap generasi .... Hal-hal ini termasuk bahaya dari penyakit, perbudakan, dan bentuk-bentuk kekejaman dan eksploitasi dalam berbagai bentuk. Orang-orang Kristen mengambil tanggung jawab bagi para janda, anak-anak yatim piatu, pengungsi akibat peperangan, tawanan perang, orang-orang sakit jiwa, orang-orang kelaparan -- dan yang terkini makin banyak orang-orang Kristen yang berkomitmen untuk 'membuat kemiskinan tinggal sejarah'."

Saya ingin menggemakan kesimpulan Chris Wright yang mengesankan: "Ada satu hal yang bagi saya sulit dijelaskan, mengapa ada sebagian orang Kristen yang mengklaim bahwa mengasihi dan menyembah Allah juga menjadi murid Yesus, tetapi tidak punya kepedulian terhadap bumi yang justru membuktikan secara sah kepemilikan Allah. Mereka tidak peduli terhadap penyalahgunaan bumi dan bahkan, oleh gaya hidup mereka yang boros dan terlampau konsumtif, mereka juga termasuk di dalamnya. Allah menghendaki... kepedulian kita terhadap ciptaan, mencerminkan kasih kita kepada Sang Pencipta." [10]

"Sesungguhnya, TUHAN, Allahmulah yang empunya langit, bahkan langit yang mengatasi segala langit, dan bumi dengan segala isinya." (Ulangan 10:14)

Keterangan:
[1] IVP, 2000.
[2] IVP, 1984
[3] Diadaptasi dengan izin dari Kata Pengantar saya dalam buku The Care of Creation. Dua buku baru yang sangat berguna tentang pokok ini adalah R.J. Berry (ed.), When Enough is Enough: A Christian Framework for Environmental Sustainability (Appollos, 2007) dan Dave Bookless, Planetwise: Dare to Care for God`s World (IVP, 2008).
[4] "1 milyar" digunakan di Inggris yang berarti satu juta juta. Namun kini istilah ini hampir merupakan ungkapan universal untuk seribu juta.
[5] Sphere, 1973.
[6] Untuk isi dari bab ini lihatlah Bab 5, Caring for Creation dalam John Stott, Issues Facing Christian Today (Zondervan, 4th edition, 2006,), sepenuhnya telah diperbarui oleh Roy McCloughry.
[7] Monarch Books, 2008
[8] Peter Harris, Under the Bright Wings (Regent College Publishing,2000); Kingfisher`s Fire (Monarch, 2008)
[9] Kutipan ini dan selanjutnya diambil dari buku Chris Wright, The Mission of God (IVP, 2008)
[10] Dikutip dari kata pengantar John Stott untuk The Care of Creation.

Audio: Kepedulian Terhadap Ciptaan

Sumber: 

Diambil dari:

Judul asli buku: The Radical Discipline
Judul buku : The Radical Discipline (Murid yang Radikal)
Judul artikel : Kepedulian terhadap Ciptaan
Penulis : John R.W. Stott
Penerjemah : Perdian K.M. Tumanan
Penerbit : Literatur Perkantas Jawa Timur, Surabaya 2010
Halaman : 45 -- 54

Komentar