Disiplin atau Rutinitas?

Editorial: 

Dear e-Reformed Netters,

Beberapa bulan terakhir ini, waktu saya habis untuk memikirkan tentang pembangunan kantor Yayasan Lembaga SABDA , yayasan yang saya bersama rekan-rekan pelayan lain terlibat dalam pelayanan. Saya menjadi sangat capai, khususnya secara mental dan fisik. Ketika jam sudah menunjukkan saya harus tidur, karena sudah larut, maka badan saya rasanya sudah sedikit "mati rasa". Begitu badan terhempas ke tempat tidur, pikiran sudah tidak ingat apa-apa sampai keesokan harinya. Karena berhari-hari demikian, maka badan "complain" dan "menagih" untuk mendapat "proper treatment". Badan saya mulai merasa tidak "fit" (segar), karena tenaga selalu terkuras habis, bahkan lebih dari yang saya miliki. Mulailah saya menerapkan "disiplin ekstra makan yang bergizi", karena saya tidak mau sakit. Hasilnya cukup lumayan, sampai hari ini saya masih hidup dan tidak sakit (meskipun capai terus).

Ternyata hal ini juga terjadi dengan kondisi kerohanian saya. Kerohanian saya mulai "capai" karena terkuras oleh banyaknya hal, khususnya kekuatiran dalam hal dana dan "accountability" terhadap Tuhan yang harus terus saya perjuangkan. Maka saya pun mulai menerapkan hal yang sama untuk kebutuhan rohani saya, yaitu "disiplin ektra makan yang bergizi". Saya teringat dengan banyak nasehat dari hamba Tuhan yang setia kepada Tuhan, "semakin sibuk dan banyak masalah, semakin banyak waktu untuk berdoa." Nah, mulailah saya melakukan disiplin untuk lebih banyak berdoa, berserah kepada Tuhan, merenung dan berdiam diri dengan Dia, (bahkan suami berpuasa). Hasilnya sangat luar biasa, secara rohani saya terus disegarkan, sehingga saya terus memuji Tuhan (meskipun masalah masih terus datang silih berganti).

Kisah saya di atas tentu ada hubungannya dengan artikel yang saya bagikan pada Anda di bawah ini (meskipun terlambat mengirimkannya, harusnya akhir bulan September, mohon dimaklumi ya). Saya membaca buku "Disciplines of Grace" beberapa bulan yang lalu (April), dan saya sangat terkesan dengan uraian penulis, betapa tepatnya ia menggambarkan tentang perbedaan antara disiplin rohani dan rutinitas rohani. Sejak itu, saya mencoba untuk terus sadar agar saya tidak terjebak dengan rutinitas rohani. Saya mendapat banyak berkat. Oleh karena itu, saya ingin membagikannya pada e-Reformed netters. Terima kasih banyak untuk Sdr. Joko yang membantu saya menerjemahkan artikel ini. Tuhan memberkati!

Artikel di bawah ini sebenarnya hanyalah cuplikan dari Bab I (tidak saya ambil semuanya, hanya bagian yang khusus menguraikan tentang perbedaan antara disiplin dan rutinitas). Semoga menjadi bahan renungan yang dapat menggugah semangat Anda dan memperbarui gaya hidup Anda.

In Christ,
Yulia Oen

Edisi: 
054/IX/2004
Isi: 

Orang Kristen modern tidak kurang ´relevansinya´ dengan dunia ini.
Kekurangan mereka adalah kehidupan yang disiplin dan pikiran yang
kritis untuk melawan pencobaan-pencobaan yang telah mengubahnya
menjadi seperti yang orang-orang dunia pikirkan dan lakukan.
(Simon Chan)

"Tetapi bertumbuhlah dalam kasih karunia dan dalam pengenalan akan
Tuhan dan Juruselamat kita, Yesus Kristus.
Bagi-Nya kemuliaan sekarang dan sampai selama-lamanya.
(2Petrus 3:18)

Ada beberapa perbedaan yang mendasar antara rutinitas dan disiplin. Meskipun keduanya sangat penting bagi kehidupan, namun keduanya tidaklah sama. Karena alasan itulah, maka menjaga kedisiplinan agar tidak berubah menjadi suatu rutinitas sangatlah penting. Hal ini juga penting dalam kehidupan rohani kita, karena banyak sekali pengikut Kristus yang telah mengubah anugerah disiplin, yang diberikan Allah untuk membantu kita bertumbuh di dalam Dia, menjadi aktivitas- aktivitas rutin yang sama sekali tidak memiliki kuasa untuk mengubah kehidupan.

RUTINITAS DAN DISIPLIN

Orang tua yang sibuk.

Rutinitas adalah sesuatu yang kita lakukan untuk menjaga status quo, seperti menyikat gigi dan bersiap-siap untuk berangkat bekerja, mengganti oli mobil, mengunci pintu, mematikan lampu sebelum tidur, mengatur tempat tidur setiap pagi, dan lain-lain. Rutinitas-rutinitas ini menempati posisi penting dalam kehidupan kita, namun rutinitas- rutinitas ini tidak mengubah atau meningkatkan apa pun. Rutinitas hanya menjaga agar kita tetap berada pada tingkat tertentu, sehingga menolong semua sistem hidup kita berfungsi dengan normal.

Rutinitas tidak membutuhkan banyak usaha keras. Kita tidak perlu bersusah payah untuk melakukannya. Bahkan, mungkin kita melakukan rutinitas tanpa kita sadari -- seperti menyetir mobil ke kantor atau membuang sampah -- tanpa ada energi atau usaha tambahan sama sekali. Selain itu, rutinitas hanya membutuhkan sedikit pemikiran. Mengerjakan rutinitas tidak memerlukan perencanaan, tidak membutuhkan pengawasan yang serius atau evaluasi, dan dilakukan sepanjang waktu tanpa perlu pemikiran. Malah, ketika kita sedang melakukan rutinitas, kita menggunakan pikiran kita untuk memikirkan hal-hal lain. Hal ini sama seperti ketika seseorang mendengarkan radio sambil mempersiapkan diri untuk berangkat bekerja atau sambil menyetir kendaraan ke kantor. Rutinitas hanya membutuhkan sedikit waktu dan sedikit ketidaknyamanan, yang mana sebenarnya kita rela memberikannya karena kita telah mendapatkan keuntungan dari memeliharanya setiap hari. Rutinitas juga jarang diubah. Kita setiap hari selalu berangkat kerja melewati jalan- jalan yang sama, melakukan persiapan kerja dengan mengikuti urutan yang sama atau membersihkan dapur setelah makan dengan cara yang sama. Kita tidak merasa perlu untuk mengubah rutinitas, sehingga kita terus mengikutinya tanpa banyak berpikir atau menyesuaikan diri dari hari ke hari, dari tahun ke tahun. Rutinitas tersebut baik bagi kita, karena membuat kita tetap berada pada posisi status quo dalam beragam bidang kehidupan kita, namun sebenarnya rutinitas tidak membuat kita berkembang di bidang-bidang kehidupan tersebut.

Sedangkan disiplin berbeda. Disiplin adalah sesuatu yang kita lakukan dengan tujuan agar terjadi perubahan. Seperti yang dikatakan oleh Dallas Willard: "Disiplin adalah setiap aktivitas yang ada di bawah kuasa kita untuk kita lakukan, yang memampukan kita untuk melakukan apa yang tidak dapat kita lakukan tanpa "usaha terarah". Misalnya, menurunkan berat badan atau membentuk tubuh (sehingga kita tampil dan merasa lebih baik dan berumur lebih panjang); atau belajar ketrampilan baru dalam pekerjaan (sehingga kita bisa mendapatkan promosi atau naik posisi). Kita tidak bisa membuat diri kita merasa lebih baik, dan kita tidak bisa mendapatkan promosi atau naik posisi hanya dengan usaha biasa. Jadi, kita harus melakukan disiplin-disiplin tertentu yang kita percaya bisa memampukan kita untuk mencapai target yang kita inginkan tersebut -- hal-hal yang tidak dapat segera kita peroleh hanya dengan kekuatan biasa saja."

Kedisiplinan bisa menyedot usaha yang besar. Kita memaksa tubuh kita untuk naik ke level yang lebih tinggi melalui latihan setiap hari; atau kita meluaskan wawasan pikiran kita ke arah yang baru untuk memahami prosedur-prosedur baru atau menguasai teknologi baru. Kita memaksa otak dan tubuh kita untuk melakukan aktivitas yang terfokus dan sungguh-sungguh untuk mempersiapkan diri menerima peran dan tanggung jawab baru atau menjalani gaya hidup baru yang diinginkan. Disiplin yang baik membutuhkan keterlibatan intelektual yang serius -- yaitu membuat rencana, mengawasi kemajuan, mengevaluasi tingkat- tingkat penguasaan, dan lain sebagainya.

Lebih jauh lagi, disiplin cenderung melibatkan investasi waktu yang sangat besar. Untuk melakukan disiplin-disiplin tersebut kita harus mengorbankan aktivitas-aktivitas lain yang mungkin sebenarnya lebih kita sukai dan kita sungguh-sungguh akan mengkonsentrasikan waktu dan usaha agar bisa menguasai disiplin-disiplin tersebut karena kita yakin usaha tersebut dapat memberikan apa yang kita inginkan. Kita harus mau mengorbankan sesuatu yang kita senangi -- makanan, aktivitas-aktivitas di waktu luang, atau istirahat -- agar kita dapat mencurahkan waktu dan usaha yang diperlukan, misalnya untuk membentuk tubuh yang lebih sehat, menjadi karyawan yang lebih baik, atau menyiapkan diri untuk memperoleh pekerjaan baru. Disiplin cenderung perlu penyesuaian dari waktu ke waktu. Ketika kita telah mencapai satu tingkat tertentu atau penguasaan suatu hal, kita bisa mengubah disiplin-disiplin yang kita targetkan untuk mendorong kita mencapai tingkat yang lebih tinggi lagi.

Baik rutinitas maupun kedisiplinan, keduanya sangat penting dalam hidup kita. Namun, dua hal itu jelas tidak sama. Permasalahan timbul ketika kita mengizinkan hal yang disiplin menjadi semacam rutinitas saja. Ketika hal itu terjadi, maka disiplin yang kita terapkan, tidak hanya tidak menghasilkan apa yang kita inginkan tapi juga membuat disiplin menjadi sesuatu yang berat, menjengkelkan dan membosankan. Kita mungkin setia melakukan disiplin tersebut, namun tidak dengan cara sebagaimana seharusnya disiplin itu dirancang dan tentu saja, tidak banyak hasil yang diperoleh dari usaha yang kita lakukan itu.

Masalah ini menjadi hal yang serius, khususnya dalam area kehidupan rohani, yaitu ketika mempraktikkan anugerah disiplin, kita izinkan menjadi sesuatu yang tidak lebih dari sekedar rutinitas rohani belaka.

"Disiplin adalah setiap aktivitas yang ada di bawah kuasa kita untuk kita lakukan, yang memampukan kita untuk melakukan apa yang tidak dapat kita lakukan tanpa 'usaha terarah'." (Dallas Willard)

FacebookTwitterWhatsAppTelegram

Allah memberikan kita anugerah disiplin (disiplin rohani) sebagai cara untuk menolong kita bertumbuh dalam kasih kepada-Nya dan kepada sesama kita. Sarana-sarana yang berharga ini -- doa, Firman Tuhan, penyembahan, waktu sendiri bersama Tuhan (solitude), memberi persembahan, berpuasa, diam di hadirat Tuhan, dan lain-lain -- membawa kita masuk ke dalam hadirat-Nya, dengan cara yang tidak bisa didapatkan hanya dari kegiatan sehari-hari. Disiplin-disiplin ini akan memampukan kita untuk melihat sekilas kemuliaan-Nya dan masuk ke dalam kuasa-Nya yang dapat memberi pembaharuan hidup setiap hari dalam Yesus Kristus. Namun, ketika praktik disiplin rohani diizinkan berubah menjadi aktivitas-aktivitas rutin saja -- maka disiplin rohani itu kehilangan kuasanya untuk membawa kita bertatap muka dengan Tuhan dalam cara-cara yang mentransformasi hidup.

Pada zaman Yesus hidup di dunia, tidak ada kelompok lain yang dikenal lebih disiplin selain para pemimpin agama Yahudi. Semua orang zaman itu mengenal mereka sebagai orang yang paling banyak berdoa, paling mengenal Alkitab, paling setia berpuasa, dan paling sering memberi sedekah kepada orang miskin. Beberapa diantara mereka sangat sungguh- sungguh, misalnya Zakharia dan Nikodemus. Namun, sebagian besar diantara mereka tidaklah demikian. Disiplin-disiplin rohani yang mereka lakukan tidak mampu mempersiapkan hati mereka untuk menyambut kedatangan Mesias dan tidak mampu membuat mereka mengenali Yesus saat Dia muncul di tengah-tengah mereka untuk mengajar dan melakukan hal- hal yang baik. Praktik disiplin rohani yang mereka lakukan, tidak membantu mereka bertumbuh dalam kasih, baik kepada Tuhan maupun sesama. Banyak diantara mereka malah menjadi sombong, serakah, mengabaikan orang banyak dan sangat melindungi status istimewa mereka di mata masyarakat. Mereka melihat Yesus sebagai ancaman dan setelah tiga tahun mengawasinya, maka kemudian mereka bersekongkol merencanakan pembunuhan terhadap Dia.

Semua disiplin rohani orang-orang Farisi tidak berguna untuk menolong mereka mengalami kemuliaan Tuhan dan masuk ke dalam anugerah-Nya. Mereka menjalankan praktik disiplin rohani hanya untuk menjaga status mereka di masyarakat dan bukan supaya mereka bertumbuh dalam anugerah dan pengetahuan akan Tuhan. Disiplin rohani mereka telah menjadi rutinitas, yang hanya memberikan kepuasan diri yang besar dan membuat status mereka terlindungi di mata orang banyak. Namun, kehidupan rohani mereka kosong dan tidak mendapatkan persekutuan yang sungguh- sungguh dengan Tuhan. Mereka telah menjadi "kuburan yang dilabur putih", seperti yang diamati Yesus -- mereka memuaskan diri sendiri, membenarkan diri sendiri, bangga terhadap diri sendiri, dan congkak.

Sebelum kehidupan rohani kita berubah ke arah kondisi seperti itu, dan kita menjadi negatif dan suka menghakimi, kurang mengasihi dan tidak memiliki semangat untuk hidup dalam iman atau melakukan misi Yesus, maka kita perlu mempertimbangkan, apakah praktik disiplin rohani kita benar-benar sesuai dengan yang Tuhan inginkan dan rencanakan.

KONDISI DISIPLIN ROHANI MASA KINI

Gereja

Melalui gereja masa kini, kita sangat diberkati dengan berlimpahnya sumber bahan dan nasihat dan dorongan semangat yang tiada hentinya untuk menggunakan disiplin rohani bagi kemuliaan Kristus dan kerajaan- Nya. Tidak pernah ada kekurangan Alkitab dan bahan-bahan pemahaman Alkitab, kelompok kecil dan persekutuan untuk bersama-sama mempelajari Firman Tuhan, buku-buku dan konferensi doa, panduan dan juga kesempatan untuk menyembah atau ajakan untuk berpuasa. Kebanyakan orang yang saya kenal, yang menyatakan dirinya sebagai pengikut Kristus, telah melakukan disiplin-disiplin rohani pada tingkat-tingkat tertentu, meskipun banyak diantara mereka, pada saat yang sama, mengakui akan ketidakpuasan mereka pada kehidupan rohaninya. Walaupun demikian, secara keseluruhan, dari tampilan luar, praktik disiplin rohani tampak hidup dan sepertinya dijalankan dengan baik oleh jemaat gereja.

Tetapi, pertanyaan yang muncul adalah mengapa gereja kelihatan kurang kuasa. Mengapa keyakinan alkitabiah memainkan peran yang sangat kecil dalam membentuk budaya dan memberi arah bagi masyarakat kita? Mengapa pamor gereja-gereja semakin menurun bila dibandingkan dengan persentase populasi secara keseluruhan -- tanpa mengabaikan adanya fenomena gereja-gereja berjemaat besar (megachurch)? Mengapa tingkah laku, seperti sikap tidak sopan, kasar, dan asusila semakin berkembang dan ditoleransi oleh masyarakat kita? Mengapa orang percaya secara umum sangat tertutup mengenai iman mereka? Mengapa kita lebih banyak mencurahkan tenaga untuk membahas perdebatan-perdebatan sengit tentang masalah-masalah, seperti cara-cara tertentu dalam penyembahan, peran wanita dalam gereja, dan tempat budaya pop Kristen dalam kehidupan orang percaya? Mengapa kita dipandang rendah, bahkan dibenci oleh mereka dari kalangan elit budaya dan elit sosial dalam masyarakat kita? Dan mengapa, ketika kita berada di tengah-tengah masyarakat yang seharusnya menjadi ragi Kerajaan Kristus bagi roti zaman yang penuh dosa dan sedang sekarat ini, kita malah tidak menampakkan jati diri kita sebagai warga Kerajaan Surga?

Tidak diragukan, pasti ada banyak jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas, tapi satu dari jawaban tersebut yang saya ambil berdasarkan observasi saya secara pribadi, termasuk hasil membaca dan studi saya, membutuhkan penelitian lebih lanjut. Jawaban itu adalah, sebagai sebuah komunitas, orang percaya tidak mengalami apa yang Allah inginkan terjadi dalam hidup mereka melalui praktik disiplin-disiplin rohani yang mereka lakukan. Seperti kutipan kata-kata Simon Chan di awal artikel ini, orang Kristen modern tidak lagi terlibat dalam melakukan disiplin rohani atau kalaupun terlibat, keterlibatan mereka telah menjadi tidak sungguh-sungguh dan tidak bisa menjadi sumber anugerah dan kemuliaan yang mampu mengubah hidup mereka. Hal ini mungkin terjadi karena banyak dari mereka yang telah membiarkan disiplin rohaninya jatuh sebagai rutinitas saja tanpa mereka sadari. Mereka berdoa, membaca Alkitab, dan rajin beribadah, namun tidak terjadi apa-apa dalam kehidupan mereka sebagai warga Kerajaan Allah. Mereka masih terus terikat dengan dosa-dosa yang sama, semakin sulit mempersembahkan diri dalam pelayanan, menjadi cepat untuk mengkritik dan menghakimi orang-orang yang tidak sepaham dengan hal-hal rohani yang mereka percayai, dan enggan berbincang-bincang tentang hal-hal rohani dengan tetangga-tetangga mereka untuk kepentingan penyebaran Injil. Tapi pada saat yang sama mereka aktif menjalankan disiplin- disiplin rohani mereka -- rajin saat teduh, ikut kelompok pemahaman Alkitab, tekun menghadiri persekutuan -- namun, mereka tidak bertumbuh dalam anugerah-Nya. Sebaliknya, mereka malah hampir tidak lagi berusaha kecuali sekedar memelihara semacam status quo kehidupan rohaninya di tengah-tengah tekanan pencobaan-pencobaan, kewajiban dan pesatnya kemajuan masyarakat postmodern.

Untuk orang-orang seperti itu, bisa jadi disiplin-disiplin rohani telah berubah menjadi sekedar rutinitas, yang tidak punya kekuatan dan pengaruh untuk mengubah dunia ini bagi Kristus.

Disiplin-disiplin yang Allah inginkan untuk membawa kita masuk dalam hadirat kemuliaan-Nya dan mengubah kita untuk menjadi serupa dengan gambar Anak-Nya, bagi sebagian besar diantara kita, hanya tinggal rutinitas saja -- tidak lagi dipikirkan, tidak lagi diusahakan, tidak memberikan buah kecuali hanya sekedar untuk memenuhi tanggung jawab. Jika demikian, maka kita sama sekali tidak mungkin memperlengkapi diri untuk bisa hidup bagi Kerajaan-Nya di dunia ini.

Sumber: 

Bahan di atas dikutip dari:

Judul Buku:Disciplines of Grace
Judul Artikel:Disiplines or Routines?
Penulis:T.M. Moore
Penerbit:InterVarsity Press
Tahun:2001
Halaman:14-18