Seminar Pembinaan Kristen: Paradoks: Kasih dan Keadilan Allah

Oleh: Okti

Senin sore itu, 23 Januari 2017, sebenarnya saya urung berangkat ke Seminar Pembinaan Iman yang diadakan oleh MRII, Surakarta. Selain karena cuaca buruk akibat sering diguyur hujan, saya juga enggan meninggalkan anak sendirian di rumah. Namun, karena keinginan untuk belajar mengenai “Paradoks: Kasih dan Keadilan Allah” lebih besar dan adanya seseorang yang dapat menemani anak saya di rumah, maka saya pun berangkat. Bersama dengan teman-teman sekantor, Liza, Maskunarti, Hadi, Ayub, Aji, Pioneer, Andre, dan Danang, kami berangkat ke Orient Resto, tempat seminar diadakan. Keputusan saya untuk berangkat adalah keputusan yang tepat karena banyak berkat yang saya terima melalui seminar tersebut. :-)

Acara seminar dimulai pada pukul 18.30 dan dibawakan oleh Pdt. Aiter, M.Div. dari MRII Kertajaya, Surabaya. Pdt. Aiter memulai seminarnya dengan mengajak kami untuk membuka kitab Wahyu 3:19 , yang menjadi landasan utama dari kasih dan keadilan Tuhan. Dalam kasih-Nya, Allah dapat menghukum dan mendisiplin manusia sebagai ciptaan. Namun, perlu diingat bahwa kasih senantiasa mendahului peringatan dan hukuman. Contoh nyata dari kasih Allah adalah bahwa sebelum Adam dijadikan, Ia sudah menciptakan segala sesuatunya terlebih dahulu sehingga semua kebutuhan manusia sudah terpenuhi. Allah bahkan menciptakan Hawa sebagai penolong yang sepadan bagi Adam karena dilihat-Nya tidak baik jika Adam hidup sendiri. Seiring dengan perintah untuk mengusahakan dan memelihara taman itu, manusia tidak boleh memakan buah dari salah satu pohon di sana, yaitu pohon pengetahuan tentang yang baik dan jahat. Namun, manusia menolak untuk mematuhi Allah, dan akhirnya memakan buah dari pohon itu. Karena melanggar perintah Allah, mereka pun harus menerima hukuman, diusir dari Taman Eden, dan menanggung akibat dari pelanggaran mereka. Akan tetapi, setelah pengusiran itu, Allah masih mengasihi dan memedulikan mereka dengan mengenakan pakaian dari kulit binatang kepada mereka. Pakaian itu, selain lebih baik dari pakaian buatan manusia yang terbuat dari daun ara, juga mencerminkan teologi yang amat dalam bahwa anugerah keselamatan itu benar-benar berasal dari Allah. Tidak ada jasa manusia dalam keselamatan karena bahkan Allah yang mengenakan pakaian itu kepada mereka.

Setelah kejatuhannya, Adam dan Hawa masih memiliki iman yang besar kepada Allah. Terbukti pada peristiwa kelahiran Kain (Kej. 4:1), iman anak-anak mereka juga terarah kepada Allah (Kej. 4:1), dan kelahiran Set (Kej. 25). Semua peristiwa itu menjadi pernyataan bahwa mereka percaya kepada Allah, kasih, dan pemeliharaan-Nya, dan bahwa iman itu juga diturunkan kepada anak-anak mereka. Selanjutnya, manusia keturunan Adam menjadi semakin jahat dan rusak secara moral sehingga Allah harus menghukum dan memusnahkan seluruh dunia melalui peristiwa air bah, kecuali Nuh dan seisi rumahnya. Hukuman itu dilakukan Allah untuk kebaikan generasi manusia selanjutnya agar tidak menanggung akibat mengerikan yang sudah dibuat oleh manusia pada zaman itu, terutama karena penyimpangan seksual mereka. Namun, sebelum penghukuman itu dilakukan, Allah sudah memberi peringatan kepada manusia tentang kejahatan mereka melalui nama Metusalah, anak Henokh, yang berarti “ketika aku lahir, kiamatlah dunia”. Artinya, peringatan itu sudah diberikan sekitar 900 tahun sebelum peristiwa banjir besar itu terjadi. Kisah serupa juga terjadi pada peristiwa tulah di Mesir, yang sudah dinubuatkan kepada Abraham (Kej. 18:20-21), peristiwa pemusnahan Sodom dan Gomora (Kej. 13:12-13), penumpasan terhadap bangsa Amalek (1 Sam. 15:1-3). Hal yang sama juga terjadi saat Allah menghukum bangsa-bangsa lain yang sangat berdosa dan melawan Allah (Amos 1:6,9,13; Amos 2:1-3).

Jelaslah bahwa ketika Allah menghukum dan menumpas suatu bangsa (atau manusia) pasti karena mereka sudah melakukan suatu kejahatan yang luar biasa keji dalam pandangan Allah. Mereka bukan hanya memberontak terhadap Allah dan menghalangi misi-Nya, melainkan juga melakukan kejahatan. Akan tetapi, mengapa harus semua bangsa ditumpas, sampai kepada anak-anak dan hewan ternak yang mereka miliki? Dosa bersifat menular, diturunkan, dan menjalar. Karena itu, untuk tetap menjaga kekudusan umat-Nya serta generasi selanjutnya, Allah harus melakukan penghukuman seperti itu. Yang harus kita ingat adalah Allah tidak pernah menghukum tanpa kasih dan peringatan. Jika hukuman itu dilakukan-Nya, hal itu diberikan dalam kerangka kasih dan kesetiaan-Nya. Jika ada yang mengatakan bahwa Allah itu kejam karena menghukum dan menghabisi suatu bangsa, ia pasti belum mengenal Allah dan firman-Nya. Lagi pula, pribadi macam apa yang kita sembah jika Ia tidak bertindak untuk menegakkan keadilan dan kebenaran?

Nah, inilah rangkuman materi yang saya dapatkan dari seminar pembinaan iman Kristen “Paradoks: Kasih dan Keadilan Allah” pada hari pertama. Selanjutnya, silakan membaca blog dari rekan saya Ayub yang akan mengulas mengenai isi seminar pada hari kedua.

Blessings!

Diambil dari:

Nama situs: Blog SABDA

URL: http://blog.sabda.org/2017/02/09/seminar-pembinaan-kristen-paradoks-kasi...

Judul asli: Seminar Pembinaan Kristen: Paradoks: Kasih dan Keadilan Allah

Penulis: Okti

Komentar