Pengalaman Saya dengan Rasisme dan Teologia Reformed
Teks ini membahas bagaimana Alkitab dan iman Reformed telah digunakan untuk mendukung rasisme dan perbudakan, namun juga menunjukkan bahwa doktrin tersebut dapat menjadi alat pembebasan. Penulis, John Piper, berbagi bagaimana teologi Reformed mempengaruhi pandangannya terhadap rasisme, menjadikannya lebih inklusif dan bebas dari paham diskriminatif. Saat ini, banyak orang Kristen kulit hitam menemukan kekuatan dalam teologi Reformed, sebagai refleksi dari pengalaman spiritual yang membebaskan.
- Alkitab
- iman Reformed
- raxisme
- perbudakan
- teologia Reformed
- predestinasi
- kebangkitan Kristen kulit hitam
- Alkitab dan iman Reformed telah digunakan untuk membela rasisme dan perbudakan, tetapi juga berperan dalam mengakhiri praktek tersebut.
- Pembicara mencatat pengalaman pribadi dalam melawan rasisme dan pandangan teologi Reformed di masa remaja.
- Teologi Reformed dianggap membantunya melepaskan diri dari pandangan rasis.
- Banyak orang Afrika Amerika menemukan pandangan Reformed sebagai kebenaran yang memerdekakan, bukan membebani.
- Referensi karya Thabiti Anyabwile mengenai perspektif Afrika Amerika dalam teologi Reformed.
- Sekarang terdapat kebangkitan minat di kalangan Kristen kulit hitam terhadap keindahan Allah dalam Alkitab, diungkapkan dalam karya Anthony Carter dan lainnya.
Alkitab dan iman Reformed telah digunakan untuk membela rasisme dan perbudakan. Akan tetapi, jika Anda melihat dengan pandangan yang jauh, dalam setiap kasus, tiba saatnya ketika Alkitab yang sama, iman yang sama, yang dulu pernah memaafkan rasisme dan perbudakan, akhirnya digunakan sebagai bagian dari kehancurannya.
Inilah tepatnya kasus yang saya alami sendiri. Bukan teologia Reformed yang sepertinya memacu dan mempertajam rasisme saat saya remaja. Pada waktu itu saya sangat menentang teologia tentang predestinasi dan juga sangat menentang integrasi ras.
Bagi saya, setidaknya, teologia Reformed bukan alasan untuk rasisme saya, tetapi berperan besar dalam memperbaikinya. Terbebasnya saya dari paham berpusat pada manusia, gebukan kehendak bebas, kesalehan rasionalistik terjadi bersama-sama dengan terbebasnya saya dari pandangan yang merendahkan ras lain. Saya tidak mengatakan bahwa menerima Calvinisme dan menolak pandangan rasis terjadi bersamaan pada semua orang. Namun, itu terjadi pada diri saya.
Dan, tidak mengherankan, selama berabad-abad ada orang-orang Afrika Amerika yang menemukan dalam pandangan Reformed tentang Allah, bukan sebagai sebuah kebenaran yang membebani, tetapi kebenaran yang memerdekakan dan memberi kekuatan. Thabiti Anyabwile menyampaikan beberapa kisah ini di dalam The Decline of African American Theology, serta The Faithful Preacher: Recapturing the Vision of Three Pioneering African-American Pastors.
Pada zaman kita sendiri ada semacam kebangkitan di antara banyak orang Kristen kulit hitam terhadap kebenaran dan keindahan dari Allah di Alkitab. Anthony Carter menunjukkan kepada kita dengan baik dalam bukunya yang memperkenalkan hal baru, On Being Black and Reformed: A New Perspective on the African-American Christian Experience. Dan, dia mengikutsertakan 9 orang Afrika Amerika lainnya dalam menggambarkan perjalanan teologia mereka dalam Glory Road: The Journeys of 10 African Americans into Reformed Christianity. (Diambil dari Bloodlines, 132). (t/Jing-Jing)
Diterjemahkan dari:
Nama situs | : | Desiring God |
URL | : | https://www.desiringgod.org/articles/my-experience-with-racism-and-refo… |
Judul asli artikel | : | My Experience with Racism and Reformed Theology |
Penulis artikel | : | John Piper |
Tanggal akses | : | 31 Juli 2018 |