Dear e-Reformed netters,
Beberapa waktu yang lalu, saya tertarik untuk membaca kembali buku terbitan BPK tahun 1985 (cetakan ketiga) yang berjudul "Theologia Kaum Awam", tulisan Dr. H. Kraemer (jelas buku tersebut pasti ditulis jauh sebelum tahun 1985). Walaupun kelihatannya buku ini sudah "kuno", ternyata isu-isu yang dibahas di dalamnya masih sangat segar dan relevan dengan keadaan gereja masa kini, yaitu tentang kedudukan kaum awam dalam gereja. Sebelum Reformasi, kaum awam jelas tidak memiliki kedudukan yang penting dalam gereja. Semua urusan gereja merupakan tugas "para klerus" (pendeta-pendeta yang ditahbiskan), sedangkan kaum awam (jemaat) hanya menjadi objek saja. Setelah Reformasi, terjadi perubahan yang radikal, karena prinsip-prinsip gereja yang salah dan tidak alkitabiah didobrak, salah satu hasilnya adalah konsep "keimaman orang percaya" atau istilah yang dipakai Dr. H. Kraemer, "imamat am semua orang percaya", bahwa semua orang Kristen adalah imam, tak ada perbedaan di antara mereka (termasuk dengan para klerus), kecuali dalam hal jabatan.
Pikiran-pikiran yang dilahirkan para Reformator begitu tajam dan sangat sarat dengan kebenaran Alkitab. Tuhan menunjukkan hikmat kepada mereka untuk menjadi jalan bagi kita mengerti lebih dalam akan panggilan Tuhan bagi jemaat-Nya. Tapi sayang sekali, menurut Dr. Kraemer, usaha para Reformator untuk mengembalikan kedudukan kaum awam pada tempat yang sewajarnya ternyata sebagian besar hanya sampai pada pemikiran saja. Menurut beliau, kalau kita jujur, kita harus mengakui bahwa pada kenyataanya pikiran-pikiran Reformasi tersebut sulit untuk dijalankan/diaplikasikan, bahkan sampai hari ini. Mengapa?
Saya harap pertanyaan "Mengapa" ini dapat memicu keingintahuan dan kekritisan Anda untuk berpikir lebih jauh tentang topik ini. Untuk itu, silakan baca cuplikan artikel dari buku Dr. Kraemer di bawah ini.
In Christ,
Yulia
< yuliain-christ.net >
Pikiran-pikiran pokok dari Reformasi memberi kemungkinan untuk perubahan-perubahan radikal dalam seluruh konsep dan tempat kaum awam. Pada saat yang menentukan, karena kepatuhan kepada Firman Allah, Luther menolak untuk patuh kepada gereja yang terjelma dalam kekuasaan hirarkis Paus. Konsep Luther tentang gereja, terutama dalam tulisan- tulisan militannya yang terdahulu, adalah suatu serangan frontal terhadap konsep gereja hirarkis. Paham tentang pejabat gereja yang hirarkis juga ditolak. Secara prinsip perbedaan antara "kaum klerus" dan "kaum awam" tidak ada lagi.
Dalam manifestonya kepada kaum bangsawan Kristen ia mengumumkan, "Semua orang Kristen adalah benar-benar imam, tak ada perbedaan di antara mereka kecuali dalam hal jabatan .... Setiap orang yang sudah dibaptis dapat berkata bahwa ia sudah ditahbiskan menjadi imam, uskup atau Paus." Hanya demi ketertiban, orang-orang tertentu dipisahkan oleh jemaat, mereka adalah "pelayan-pelayan", bukan imam-imam dalam arti budaya, orang-orang perantara antara Allah dan jemaat atau antara Allah dan manusia, tapi "pelayan-pelayan Firman" (verbi divini ministri). Pada prinsipnya, pelayanan yang diartikan secara baru ini (mengajar dan berkhotbah, membaptiskan, melayani Perjamuan Kudus, mengikat dan melepaskan dosa, berdoa syafaat, mempertimbangkan ajaran dan membeda-bedakan roh) adalah hak setiap orang Kristen yang telah dibaptis. Ini berarti imamat orang-orang yang percaya atau, seperti biasa disebut, "imamat am" adalah semua orang yang percaya. Sejak itu prinsip ini selalu disertai oleh hukum "sola gratia", "sola scriptura". Kedua prinsip ini sudah menjadi prinsip besar resmi dari Reformasi dan khususnya Protestantisme.
Dalam paham-paham yang militan ini terdapat benih-benih individualisme dan equalitarianisme yang tidak sepenuhnya sesuai dengan pandangan Alkitab, yaitu "imamat yang berkerajaan", yang adalah milik semua orang percaya secara keseluruhan. [1] Militansi dan pernyataan yang tampaknya berlebih-lebihan ini dapat dimengerti melihat kenyataan bahwa pada waktu itu Luther harus berjuang melawan sistem hierarki yang luar biasa, paham hierarki yang sudah tertanam sangat dalam di pikiran orang sejak berabad-abad. Paham seperti itulah yang hendak digugatnya di hadapan forum paham Alkitab mengenai gereja beserta anggota-anggotanya. Implikasi dari serangan-serangannya itu ialah penghapusan semua klerikalisme dan pemulihan tempat yang sewajarnya bagi kaum awam.
Akan tetapi, secara jujur harus disebut di sini bahwa konsep baru tentang gereja dan pemulihan tempat kaum awam tidak pernah menjadi pokok-pokok yang dominan. Prinsip yang banyak digembar-gemborkan tentang "imamat am semua orang percaya" mempunyai akibat-akibat tertentu yang sangat menarik dalam Dunia Baru, tetapi pada umumnya di Dunia Lama hal ini tak pernah punya efek apa-apa. Sampai sekarang prinsip itu hanya punya peranan sebagai bendera, bukan prinsip yang memberi hidup dan kekuatan. Sudah tentu, sejak Reformasi dan lahirnya banyak macam gereja sebagai akibatnya, pandangan eklesiastik hierarkis tentang gereja tidak pernah lagi mendapat tempat yang tidak dapat diganggu- gugat seperti sebelumnya. Panggilan untuk membenarkan setiap doktrin gereja dan tugas anggota-anggotanya berdasarkan Alkitab, tak pernah lagi diabaikan seperti sebelumnya. Dasar etika Calvinisme tentang orang-orang awam yang harus membuktikan bahwa mereka adalah orang- orang yang sudah dipilih Allah dengan bekerja sepenuh hati, adalah akibat dari prinsip "imamat am semua orang percaya". Juga tak dapat disangkal bahwa prinsip ini, terutama pada abad 19 di bawah pengaruh paham liberalistis-individualistis, sudah lebih merupakan kata-kata muluk teologis untuk faham modern pada waktu itu, dari pada sumber kekuatan rohani yang mengubah gereja.
Mengapa definisi baru dari Luther dan Calvin tentang gereja, pelayanan dan tentang tempat sentral dan utama dari jemaat secara keseluruhan, akhirnya hanya menjadi prinsip dan bukan menjadi kenyataan? Mengapa kaum pendeta yang jadi dominan dan bukan jemaat (Gemeinde) secara keseluruhan?
Pertama-tama, kita akan menyebut sebab-sebabnya, lepas dari keadaan- keadaan sejarah yang banyak memengaruhinya. Ketika para Reformator kembali kepada Alkitab dan mendapati bahwa Yesus Kristus adalah satu- satunya Kepala Gereja yang benar, yang memerintah gereja melalui Roh- Nya yang kudus, anugerah dan pengampunan-Nya, dan menghapuskan semua tingkatan-tingkatan kekuasaan dan hak, mereka bertekad untuk meninggalkan sistem tingkatan-tingkatan hirarkis dan penyamaan gereja dengan kaum klerus yang dianggap sebagai imam pengantara sakramen. Gereja terdiri atas orang-orang percaya dan orang-orang berdosa yang sudah diampuni. Akan tetapi, ketika mengorganisir atau mereorganisir gereja, mereka berusaha menghindari dan menghapuskan pelanggaran-pelanggaran mencolok dan kebobrokan sistem yang dominan. Pandangan para Reformator tentang gereja tidak sepenuhnya alkitabiah. Ini dapat dimengerti, sebab kecamuk dan hangatnya perjuangan dan pandangan mereka sangat dipengaruhi oleh protes dan polemik. Lagi pula, ucapan-ucapan Luther bahwa setiap orang Kristen yang dibaptis mempunyai kuasa seperti yang dipunyai oleh Paus, uskup-uskup dan imam-imam, mengandung bahaya- bahaya tersembunyi.
Bahaya PERTAMA ialah: bahwa dalam suatu gereja yang sudah berabad-abad "orang Kristen yang dibaptis" sama sekali tidak sama dengan seorang Kristen yang benar-benar percaya. Sebab, walaupun benar pendapat bahwa otoritas untuk mengatur dan mengadakan konsep tentang gereja terletak dalam pola-pola alkitabiah tentang gereja, itu bukan berarti bahwa pola-pola alkitabiah itu yang harus ditiru. Situasi sejarah yang lain memerlukan ekspresi kreatif yang lain walaupun peraturan dan konsep pokoknya sama.
Yang KEDUA: anggota-anggota gereja yang sudah berabad-abad itu menghalangi anggota-anggotanya menjadi dewasa secara rohani, karena ajaran tentang "iman implisit" dari kaum awam, tidak dapat dengan tiba-tiba menjadi orang-orang dewasa dalam kerohanian.
Yang KETIGA: gerakan Reformasi menekankan pentingnya khotbah di samping penghapusan habis-habisan perbedaan antara "kaum klerus" dan "kaum awam". Memberi tekanan penting terhadap khotbah yang benar dan "murni" [2] (die reine Predigt) sebagai makanan rohani yang memberi hidup. Untuk itu, diperlukan orang-orang yang cakap untuk memegang jabatan itu. Pelayanan sakramen yang benar, yang juga dinyatakan sebagai salah satu tanda hakiki dari gereja, terutama Perjamuan Kudus di banyak gereja, tidak mendapat tempat yang sama penting seperti "khotbah murni Firman Allah". Pelayanan sakramen hanya diperuntukkan bagi pendeta-pendeta. Walaupun perkembangan ini mempunyai alasan- alasan yang baik, hal ini menimbulkan kekaburan arti dalam keseluruhan konsep "pelayanan". Di satu pihak, hal ini cenderung kepada pembentukan kembali suatu golongan "kaum klerus", padahal di pihak lain, setidak-tidaknya dalam prinsip, diusahakan menghapuskan perbedaan antara "kaum klerus" dan "kaum awam".
Penahbisan ke dalam "status rite vocatus", yang telah menjadi dinding pemisah antara "kaum klerus" dan "kaum awam" di gereja sebelumnya, sebenarnya sekarang juga masih menjadi semacam dinding pemisah. Seperti yang telah dikatakan di atas, perbedaan ini diadakan demi tata tertib. Motif itulah satu-satunya motif yang benar, kalau ditinjau dalam terang prinsip "imamat am semua orang percaya". Sebagai jawaban terhadap konsep imam sebagai perantara sakramen di masa yang lalu, prinsip itu ingin meninggalkan paham tentang "para klerus" yang mempunyai tempat yang lebih tinggi dan terasing dari kaum awam. Akan tetapi, sebenarnya, berlawanan dengan teori tentang tidak adanya perbedaan secara fundamentil, dalam praktiknya prinsip itu menempatkan kaum awam lebih rendah dari kaum pendeta, membuat kaum awam jadi pasif, memberi tekanan besar pada arti "jabatan" (Amt) dan pimpinannya.
Perkembangan ini makin diperkuat dengan kenyataan bahwa para pendeta, yang tugas utamanya ialah untuk mengkhotbahkan Firman Allah dengan benar, makin lama makin kelihatan sebagai "ahli-ahli teologia", "orang-orang yang tahu", dan dalam tingkatan sosial mereka mempunyai status "rohaniawan"; dengan kata lain sebagai pneumatikoi, manusia-manusia rohani (1Korintus 3). Akibat buruknya ialah bahwa kaum awam lambat-laun menerima saja kedudukan sebagai "orang-orang yang tidak tahu", orang-orang yang tidak dewasa secara rohani. Hal ini menghasilkan suatu situasi, yang terdapat di semua gereja, di mana ada perpisahan jelas antara pejabat gereja yang memimpin dan kaum awam yang dipimpin. Dengan kata lain, gereja adalah urusan pendeta-pendeta. Pada masa Reformasi sendiri dan pada masa-masa permulaan pengkonsolidasiannya, unsur-unsur konkret dalam sejarah sudah menghalangi dipraktikannya "imamat am semua orang percaya" itu. Pada mulanya, Reformator-reformator itu tidak bermaksud mendirikan gereja baru. Tujuan mereka mula-mula ialah untuk memurnikan iman. Akan tetapi, ketika perlawanan keras dari pimpinan gereja memaksa mereka untuk mengorganisir hidup gereja menurut prinsip-prinsip mereka sendiri, maka mereka harus berhadapan dengan kurangnya pengetahuan dan pengertian kaum awam dan dengan susahnya memelihara ketertiban dalam jemaat-jemaat. Keadaan seperti ini bukan saja terdapat di Jerman, melainkan juga di Inggris, di mana Reformasi berlangsung tidak sedrastis dan sesistematis seperti di negeri-negeri lain [3].
Lagipula, suatu Reformasi yang terorganisir tak dapat dilangsungkan tanpa pertolongan dan kekuasaan raja-raja dan hakim-hakim yang memihak kepada gerakan Reformasi itu. Akibatnya ialah bahwa raja-raja dan hakim-hakim menduduki tempat-tempat penting dalam urusan-urusan gereja. Jadi, golongan awam yang besar itu walaupun mereka bukan orang-orang yang tidak tahu, tidak melihat kemungkinan lain kecuali menyerahkan saja kepengurusan hidup gereja kepada para pendeta dan badan-badan negara yang dibentuk itu. Pada tahun 1526 Luther sudah mengakui bahwa untuk mendirikan suatu jemaat yang benar-benar ideal, ia belum mendapati cukup banyak orang-orang Kristen dan malahan ia belum menjumpai banyak orang yang meminta supaya jemaat seperti itu didirikan. Organisasi yang dihasilkan oleh perkembangan itu tidak memberi status yang memungkinkan jemaat-jemaat mempunyai tanggung jawab yang aktif. Jemaat-jemaat itu menjadi objek dari pekerjaan pastoral pendeta dan peraturan-peraturan pemerintah. Akibatnya, walaupun kaum awam lain keadaannya dari masa sebelum Reformasi, mereka tetap seperti semula, tetap sebagai objek, sama sekali bukan sebagai subjek. Berlainan dengan Luther, Calvin menghadapi soal yang sama hanya dalam satu kota dan bukan di negeri-negeri yang berlain-lainan, makanya ia lebih berhasil dengan "Ordonnance ecclesiastique"-nya pada tahun 1541 untuk mewujudkan kebebasan relatif dalam kehidupan gereja. Ini merupakan hasil dari fahamnya tentang tata gereja yang ditetapkan oleh Allah. "Ordonnance ecclesiastique" Calvin itu adalah tata gereja yang paling dinamis yang berasal dari Reformasi. Konsepnya tentang kekuasaan dan pentingnya pendeta bagi suatu gereja yang terpimpin baik, mengandung unsur-unsur, walaupun tak disengaja, yang mengabaikan arti dan pentingnya kaum awam.
Amerika, yang waktu itu disebut Dunia Baru, mempunyai corak-corak tersendiri. Sejarah Amerika merupakan suatu rangkaian dari adaptasi dan readaptasi kepada dunia yang baru dengan kondisi-kondisi baru dan dengan perubahan-perubahan yang terus-menerus terjadi. Gereja-gereja di Amerika adalah gereja-gereja Eropa yang dipindahtanamkan dalam tanah baru dengan keadaan sekeliling yang baru. Dalam proses ini Amerika memperkembangkan gereja corak baru. Sejak datangnya pendatang- pendatang baru, terutama gelombang-gelombang besar pendatang baru pada abad 19, proses itu berjalan terus. Hasilnya ialah munculnya gereja-gereja parokhial yang berpemerintahan sendiri yang khas Amerika, dengan pengawasan dan partisipasi yang lebih besar dari kaum awam. Dengan prinsip yang sangat dipegang teguh, yakni prinsip kemerdekaan beragama dan pemisahan antara gereja dengan negara, gereja dianggap sebagai perkumpulan sukarela dari orang-orang yang diselamatkan dan sebagai suatu institut untuk memperbaiki kehidupan masyarakat dengan jalan menyelamatkan perorangan-perorangan. Urbanisasi telah memaksa gereja mencari dan melayani segala macam orang dan golongan, dan gereja-gereja itu cenderung untuk memperkuat persekutuan batiniah dari gereja setempat. Pelayanan oleh kaum awam telah makin maju karena perkembangan ini.
Kalau kita bandingkan kehidupan gereja di Eropa dengan Amerika, kita lebih cenderung untuk berkata bahwa struktur dan suasana di dalam gereja-gereja Eropa tidak memberi banyak dorongan kepada inisiatif- inisiatif kaum awam. Di Amerika sebaliknyalah yang terjadi. Di Amerika, bukannya hasil pemikiran-pemikiran teoritis yang menghasilkan keadaan seperti itu, melainkan hasil pertimbangan-pertimbangan pragmatis, yaitu bahwa kegunaan gereja sebagai institut yang efektif tergantung hampir sepenuhnya pada kesediaan kaum awam untuk melibatkan dirinya.
Untuk mengakhiri pembahasan historis yang selektif tentang status teologis kaum awam, kita hendak menyebutkan beberapa patah kata lagi. Pada abad 19, pada zaman di mana orang semakin menjauhi gereja dan kekristenan, Johann Heinrich Wichern [4], bapak dari "Innere Mission" di Jerman, mencoba mengaktuilkan "prinsip-prinsip" Reformasi tentang imamat am semua orang percaya. Ia tidak menafsirkannya menurut tafsiran biasa seperti "mempunyai hubungan langsung dengan Allah" tanpa perantaraan imam, tapi sebagai kewajiban terhadap "diakonia", yang berlaku bagi semua anggota gereja. Dinamisme "Communio Sanctorum" terletak pada kenyataan, menurut dia, bahwa "communio sanctoru" itu bukan saja "Congregatio vere credentium" (persekutuan orang-orang yang benar-benar percaya), melainkan terutama adalah "congregatio vere amantium," (persekutuan orang-orang yang benar-benar mengasihi). Hal ini sudah menunjuk kepada suatu arah yang baru.
Catatan Kaki:
Bahan di atas dikutip dari:
Judul buku | : | Theologia Kaum Awam |
Penulis | : | Dr. H. Kraemer |
Penerbit | : | BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1985 |
Hal | : | 45 - 51 |
Dear e-Reformed Netters,
Selamat Hari Reformasi Gereja yang tahun ini kita peringati tanggal 31 Oktober 2004. Kiranya semangat untuk terus memperbaharui gereja tetap menyala-nyala sebagaimana para Reformator dulu. Jangan hanya memperbaharui tampilan gereja saja (seperti tempatnya dan gedungnya), tapi yang terutama doktrin dan pengajarannya (teologianya).
Sola Scriptura, Sola fide, Sola gracia.
Soli Deo gloria!
In Christ,
Yulia Oen
1. Yang menyebabkan timbulnya pembaruan gereja ialah perbedaan antara teologi serta praktik gereja dengan ajaran Alkitab seperti yang ditemukan oleh Luther. Peristiwa yang membuat Reformasi itu mulai adalah penjualan surat-surat penghapusan siksa di Jerman oleh Tetzel. Menentang ucapan-ucapan Tetzel, Luther menyusun ke-95 dalilnya.
Apa yang telah ditemukan oleh seorang guru teologi jauh di daerah, merupakan bahan peledak yang nanti akan meruntuhkan susunan gereja. Akan tetapi, pemimpin-pemimpin gereja di pusat tidak menyadari bahaya yang mengancam. Paus Leo X dan tokoh-tokoh gereja lainnya sibuk merencanakan pembangunan gereja raksasa, yaitu gereja Santo Petrus di Roma, yang harus melambangkan keagungan Gereja Barat. Untuk mengumpulkan dana bagi proyek itu, mereka memaklumkan penghapusan siksa bagi orang-orang yang akan memberi sumbangan. Di Jerman, surat-surat penghapusan siksa itu diperdagangkan oleh Tetzel. Dan, perdagangan itulah yang menjadi pendorong dimulainya Reformasi.
Meskipun Tetzel seorang anggota Ordo Dominikan, tetapi ia tidak begitu mengindahkan rumusan-rumusan teologi yang halus. Ajaran resmi mengenai penghapusan siksa itu menentukan bahwa penghapusaan itu hanya berlaku, kalau orang sungguh-sungguh menyesali dosanya dan kalau dosa itu telah diampuni melalui sakramen pengakuan dosa. Namun, Tetzel berusaha meningkatkan penjualan barangnya dengan mengatakan bahwa surat-surat yang ditawarkannya itu menghapuskan dosa juga dan memperdamaikan orang dengan Allah. Demikianlah orang mendapat kesan bahwa pengampunan dosa dan pendamaian dengan Allah bisa diperoleh dengan uang, di luar penyesalan hati dan di luar sakramen-sakramen juga.
Luther, sebagai seorang imam juga harus menerima pengakuan dosa dari pihak anggota-anggota jemaat. Karena pengalamannya sendiri, maka ia sangat bersungguh-sungguh dalam hal ini. Kini, ia didatangi oleh orang-orang yang menganggap sepi ajakan yang diberikannya sesudah pengakuan, agar mereka betul-betul menyesal dan menunjukkan penyesalan mereka dengan perbuatannya. Mereka memperlihatkan kepadanya surat penghapusan siksa sambil berkata: dosa kami sudah diampuni. Luther kaget. Akhirnya ia mengambil keputusan untuk menjadikan hal ini sebagai pokok pembicaraan antara sarjana-sarjana teologi. Begitulah ia menyusun 95 dalil mengenai penghapusan siksa, dalam bahasa Latin, bahasa kaum cendekiawan. Pada tanggal 31 Oktober 1517, ia memperkenalkan dalil-dalil itu dengan menempelkannya di pintu gereja di Wittenberg (bacaan 1).
2. Dalil-dalil Luther menyangkut perkara yang sudah menghebohkan masyarakat Jerman, meskipun biasanya dengan alasan lain (harta Jerman yang mengalir ke luar negeri). Dari sebab itu, tulisan tersebut dibaca dengan asyik oleh orang banyak. Sebaliknya, pemimpin-pemimpin gereja di Roma menuding Luther sebagai seorang penyesat.
Dalam dalil-dalilnya itu, Luther menentang perkataan-perkataan Tetzel. Bahkan, ia menegaskan pula bahwa penyesalan sejati bukanlah sesuatu hal yang dapat diselesaikan orang dengan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh iman setelah pengakuan dosa, misalnya dengan mengucapkan Doa Bapa Kami sekian kali. Penyesalan itu berlangsung selama hidup! Itulah makna dalil yang pertama, yang berbunyi: "Apabila Tuhan dan Guru kita Yesus Kristus berkata: Bertobatlah, dan seterusnya, yang dimaksudkanNya ialah bahwa seluruh kehidupan orang percaya haruslah merupakan pertobatan (= penyesalan)." Siapa yang betul-betul mengasihi Allah, tidak akan berusaha secara egoistis menebus hukuman atas dosanya, apalagi dengan uang; yang penting baginya ialah agar Allah mengampuni kesalahannya. Luther belum menyangkal adanya api penyucian, sama seperti ia belum menyangkal kekuasaan Sri Paus dan banyak hal lain yang pada kemudian hari ditolaknya. Maksudnya, hanyalah untuk melawan pendapat seakan-akan surat-surat penghapusan siksa itu dapat memberi keselamatan, seperti yang didengung-dengungkan oleh para penjajanya untuk menipu rakyat biasa. Namun, sebenarnya Luther telah merombak seluruh ajaran Gereja Abad Pertengahan, bila ia mengatakan, "Bukan sakramen, melainkan imanlah yang menyelamatkan."
Dalil-dalil diterjemahkan oleh mahasiswa-mahasiswanya ke dalam bahasa Jerman, dan dalam waktu empat minggu saja sudah tersiar ke seluruh Jerman. Umat Kristen, yang sudah lama tidak senang lagi mengenai keadaan gereja, kini mendengar suara yang menyatakan keberatannya dan yang sekaligus menunjukkan jalan lain. Sebaliknya, pemimpin-pemimpin gereja tidak begitu senang. Dalam waktu yang singkat saja hasil penjualan surat-surat penghapusan siksa telah menjadi sangat berkurang. Luther dituduh di hadapan Paus sebagai seorang penyesat, dan Leo X menuntut supaya ia menarik kembali ajaran yang salah itu. Luther menjelaskan maksud dalil-dalilnya kepada Paus dalam sepucuk surat yang penuh penghormatan. Akan tetapi, Paus memberi perintah kepadanya untuk menghadap hakim-hakimnya di Roma dalam waktu 60 hari. Itu berarti bahwa Luther akan dibunuh.
Akan tetapi, keadaan politik di Jerman menolong Luther. Sebenarnya negeri Jerman adalah kekaisaran, tetapi kekuasaan Kaisar sangat terbatas. Jerman terbagi atas ratusan daerah yang praktis yang merupakan negara-negara merdeka. Salah satu yang terbesar di antara daerah-daerah itu ialah Kerajaan Sachsen, di mana Luther tinggal. Kalau rajanya, Raja Friedrich yang Bijaksana, berbuat sesuatu yang menentang gereja, Kaisar atau Paus tidak bisa berbuat apa-apa. Friedrich tidak mau menyerahkan Luther, tetapi Paus tidak berani melawan Friedrich, sebab memerlukan dukungan Friedrich dalam pemilihan seorang Kaisar baru (Charles V, 1519-1555).
Lalu, Luther diperiksa di Jerman sendiri, tetapi di luar wilayah Saksen, oleh Kardinal Cajetanus (1518). Sudah barang tentu ia mengira bahwa ia akan ditangkap dan dibunuh. Di tengah jalan, orang- orang meneriakkan kepadanya, "Balik, balik!" Akan tetapi, Luther menjawab, "Di sana pun berkuasa Kristus. Semoga Kristus hidup, Martinus binasa, bersama dengan setiap orang berdosa!" Ia menghadap sang kardinal dengan berlutut dan ia mencoba membujuk Luther baik-baik, tetapi dengan segera toh terjadi perdebatan. Pegawai-pegawai istana Paus menertawakan Luther yang begitu bodoh membenarkan dirinya berdasarkan Kitab Suci. Akibatnya, sang Kardinal menjadi marah, dan Luther terpaksa diselundupkan ke luar kota, supaya ia lolos dari bahaya maut. Baru dua tahun kemudian Luther dihukum secara resmi.
3. Sementara itu, gerakan Reformasi semakin meluas. Luther sendiri makin sadar bahwa pengertiannya yang baru itu akan berpengaruh terhadap seluruh ajaran dan tata gereja: makin banyak unsur dari teologi dan praktik Gereja Roma yang ia tolak.
Banyak kota dan daerah di Jerman yang memihak kepada Luther dan namanya mulai terkenal di luar negeri juga. Kalangan humanis bergelora semangatnya karena pembaruan-pembaruan yang dianjurkannya. Salah seorang humanis yang selama hidupnya bersahabat dengan Luther ialah rekannya di Universitas Wittenberg, Melanchthon (1497-1560), yang pada tahun 1518 menjadi guru besar bahasa Yunani di sana. Pengajaran sekolah umum di negeri Jerman disusunnya secara baru, menurut asas-asas Reformasi. Dialah yang menulis buku dogmatika protestan yang pertama, yang berjudul: Loci Communes ("Pokok-pokok Teologi", 1521). Ia juga merupakan pembantu Luther dalam hal penerjemahan Alkitab.
Pandangan-pandangan baru Luther tidak berkembang dengan cepat, sebab ia berwatak konservatif, dan tidak suka melepaskan apa yang pernah dianutnya. Namun, justru dialah yang terpanggil untuk memelopori pembaruan gereja! Baru pada tahun 1519, ia menginsafi bahwa Paus bisa keliru juga, bahwa konseli-konseli gereja pun bisa sesat. Dengan demikian, seluruh tradisi gereja, yaitu anggapan-anggapan dan kebiasaan-kebiasaan yang telah muncul dan dipelihara berabad-abad lamanya, kehilangan kekuasaannya di samping Alkitab. Tradisi itu hanya masih berlaku di bawah kekuasaan Alkitab: apa yang berlawanan dengan ajaran Alkitab harus dihapuskan.
4. Pada tahun 1520 Luther menerbitkan tiga tulisan yang di dalamnya, ia menguraikan pandangannya yang baru. Yang paling terkenal ialah Kebebasan Seorang Kristen, yang merupakan buku etika Protestan yang pertama.
Dalam ketiga karangan itu, Luther merobohkan seluruh sistem Abad Petengahan. Yang pertama ialah kepada para pemimpin Kristen Jerman, mengenai perbaikan masyarakat Kristen. Di sini, Luther menyatakan bahwa Paus dan kaum rohaniwan tidak boleh berkuasa atas "kaum awam". Setiap orang Kristen adalah seorang imam dan ikut bertanggung jawab dalam gereja. Dunia juga tidak "bertingkat dua". Berkhotbah atau bercocok tanam sama tingkatnya, sebab sama-sama bertujuan melayani Allah. Jadi, tidak dengan sepatutnya kaum "rohaniwan", khususnya Paus, menuntut kekuasaan atas negara dan masyarakat. Bangsa Jerman, dengan diwakili oleh pemimpin-pemimpinnya, boleh dan harus memperbaiki sendiri keadaan gerejanya.
Karangan yang kedua berjudul: Pembuangan Babel untuk Gereja. Buku itu berisi uraian tentang sakramen-sakramen. Hanya baptisan dan Perjamuan Kudus yang bisa ditemukan dasarnya dalam Alkitab. Tentang pengakuan dosa, Luther masih ragu-ragu; keempat sakramen lainnya ditolaknya. Arti sakramen dan hubungan antara sakramen dengan firman Tuhan dirumuskannya secara baru juga: sakramen bukanlah saluran anugerah ke dalam diri kita. Sakramen, menurut Luther adalah tanda dari apa yang dinyatakan oleh Firman itu, Firman dalam rupa tanda, dan jawaban kita atas penerimaan sakramen itu hanyalah iman.
Pada karangan pertama, Luther berbicara kepada para penguasa. Pada karangan kedua, ia berdiskusi dengan teolog-teolog. Pada karangan ketiga, Kebebasan Seorang Kristen, ia menulis bagi rakyat Kristen. Buku itu menguraikan soal perbuatan-perbuatan baik. Luther mulai dengan merumuskan dua dalil yang tampaknya saling bertentangan:
"Seorang Kristen bebas dari segala ikatan dan bukanlah hamba kepada siapa pun";
"Seorang Kristen terikat pada segala sesuatu dan hamba dari semua orang".
Demikian yang dimaksud Luther: Seorang Kristen bebas dari hukum atau Taurat mana pun, dan tidak terikat pada peraturan yang dikeluarkan oleh siapa pun, biar Sri Paus sekalipun, sebab ia telah memiliki kebenaran Kristus dan tidak membutuhkan lagi perbuatan-perbuatan amal. Akan tetapi, di dalam diri orang Kristen itu masih ada kemauan yang buruk, tubuhnya yang penuh hawa nafsu (Luther pernah menjadi rahib!) dan tubuh itu harus dikekang dengan banyak "perbuatan-perbuatan": dengan askese juga. Namun, perbuatan-perbuatan itu tidak mengandung amal - bukankah kita telah mendapat seluruh amal yang kita butuhkan di dalam Kristus? (bacaan 2).
5. Gereja Roma dan Negara Jerman mengutuk dan mengucilkan Luther. Akan tetapi, Raja Friedrich yang Bijaksana tetap melindungi dia.
Pada tahun 1520, keluarlah bulla (surat resmi) dari Paus, yang telah lama ditunggu-tunggu. Jikalau Luther tak mau menarik kembali ajarannya yang sesat itu, ia akan dijatuhi hukuman gereja. Luther membalas bulla itu dengan karangan yang berjudul: "Melawan bulla yang terkutuk dari si Anti-Kris". Lalu, bulla itu dibakarnya di muka pintu gerbang kota Wittenberg di hadapan para guru besar dan mahasiswa. Kemudian, keluarlah bulla-kutuk Paus.
Menurut anggapan abad pertengahan, negara tidak bisa tidak menghukum seorang penyesat yang telah dikutuk oleh gereja. Akan tetapi, karena banyak kepala daerah (bnd. pasal 2) menyetujui ajarannya, maka Luther dipanggil ke "sidang kekaisaran" yang pada bulan April 1521 diadakan di kota Worms untuk mempertanggungjawabkan perbuatan- perbuatan dan karangan-karangannya. Sahabat-sahabat Luther takut kalau-kalau ia akan ditangkap dan oleh sebab itu memohon kepadanya supaya jangan pergi juga. Akan tetapi, Luther berkata, "Biarpun di Worms ada setan sebanyak genteng di atas rumah, aku pergi juga! "
Pembelaannya di hadapan kaisar dan raja-raja pada tanggal 18 April 1521 menjadi termasyhur. Wakil Paus menuntut kepadanya supaya ia memungkiri segala pandangannya yang sesat itu, tetapi Luther menunjuk pada Alkitab, "Bahwa saya bisa sesat sebagai manusia, tentang itu saya yakin. Akan tetapi, hendaknya saya diperbolehkan menuntut supaya dari Firman Allah dibuktikan kepada saya bahwa saya sesat." Namun, bukti itu tidak akan diberikan, karena ajarannya sudah lebih dahulu ditolak oleh gereja. Lalu, kata Luther, "Saya tidak percaya kepada Paus atau kepada konseli-konseli saja, karena sudahlah jelas seperti siang bahwa mereka berkali-kali sesat dan seringkali bertentangan dengan dirinya sendiri. Suara hati saya sudah terikat oleh perkataan Kitab Suci dan saya tertangkap dalam Firman Allah: menarik kembali, saya tidak dapat dan saya tidak mau sama sekali. Semoga Allah menolong saya. Amin!"
Beberapa minggu kemudian, dalam Edik Worms, Luther bersama pengikut- pengikutnya dikucilkan dari masyarakat dengan "kutuk kekaisaran". Segala karangan Luther juga harus dibakar. Ia sendiri boleh ditangkap atau dibunuh oleh siapa saja yang menemukan dia. Karena kaisar telah memberi jaminan keamanan, maka Luther boleh pulang dulu ke kotanya. Ketika keretanya melintasi suatu hutan, sekonyong-konyong ia disergap oleh sepasukan orang berkuda yang bersenjata. Orang menyangka Luther telah dibunuh seteru-seterunya, tetapi sebenarnya ia dilarikan atas perintah Friedrich yang Bijaksana, yang hendak meluputkan sahabatnya itu dari bahaya maut. Luther dibawa ke puri Wartburg, supaya ia aman dan tersembunyi untuk sementara waktu.
Sepuluh bulan lamanya, Luther tinggal di Wartburg dengan berpakaian ksatria dan memakai nama samaran, yaitu "Pangeran Georg". Di tempat yang sunyi itu, hatinya digoda oleh banyak kebimbangan. Benarkah ia mengikuti jalan Tuhan dengan gerakannya itu? Kata orang, pernah Luther melemparkan sebotol tinta kepada Iblis yang tampak olehnya dalam biliknya dan yang mengganggu dia. Yang pasti ialah bahwa ia melawan Iblis dengan tinta yang keluar dari penanya: Luther bekerja keras di Wartburg, dan dalam beberapa bulan saja Perjanjian Baru sudah siap diterjemahkannya ke dalam bahasa Jerman, dengan memakai juga naskah Yunani terbitan Erasmus. Di samping itu, ia mengarang sebuah kitab rencana khotbah untuk pendeta-pendeta Protestan yang sangat membutuhkan pimpinan dalam hal berkhotbah.
6. Sesudah satu tahun, Luther kembali lagi ke Wittenberg dan meneruskan pekerjaan Reformasi. Sekarang ia mulai memperbarui tata kebaktian.
Luther berwatak konservatif (pasal 3), sehingga ia mau mempertahankan sebanyak mungkin tata kebaktian yang lama. Asasnya ialah bahwa yang perlu diubah hanyalah apa yang nyata bertentangan dengan Alkitab. Jadi, kebaktian Protestan, khususnya yang memakai aturan Lutheran, tetap berjalan seperti misa Katolik: sesudah salam-berkat, jemaat mengaku dosanya dan pengampunan diberitakan, lalu Alkitab dibacakan, khotbah diadakan, kemudian ada perayaan sakramen.
Akan tetapi, dalam beberapa hal harus ada perubahan. Pertama: bahasa. misa biasanya dilayankan dengan memakai bahasa Latin. Sulit bagi rakyat untuk memahami bahasa itu. Padahal, kebaktian itu justru dimaksudkan untuk menyampaikan Firman kepada mereka! Jadi, bahasa Latin diganti dengan bahasa Jerman (dan di negeri-negeri lainnya yang menerima Reformasi, dengan bahasanya sendiri). Kedua: pengertian mengenai makna ibadah berubah secara asasi. Dalam teologi Katolik, misa adalah pengulangan korban Kristus secara tak berdarah. Melalui penerimaan sakramen itu, berlangsung penyaluran anugerah yang menjadikan manusia sanggup berbuat sesuai dengan kehendak Allah. Karena itu, yang menjadi pusat ibadah ialah perayaan sakramen misa. Kebaktian tanpa khotbah tetap merupakan ibadah yang lengkap, tetapi kebaktian tanpa Ekaristi tidaklah lengkap. Malah, kebaktian di mana satu dua orang imam sendiri merayakan Ekaristi dengan tidak dihadiri jemaat, merupakan ibadah juga. Kedua wawasan tentang makna sakramen Misa itu tadi ditolak oleh Luther. Baginya, makna ibadah bukan pengorbanan Kristus dalam misa, bukan juga penyaluran anugerah, melainkan pemberitaan rahmat Tuhan kepada setiap orang yang mau mendengar. Pemberitaan itu terjadi dalam pemberitaan Firman, dan dalam perayaan sakramen, yang menandai dan memperlihatkan apa yang dinyatakan dalam pemberitaan Firman itu. Maka, khotbah diberi tempat yang lebih wajar dalam kebaktian. Khotbah harus ada; itu dilakukan beberapa kali seminggu; perayaan Perjamuan Kudus "hanya" ada pada setiap Minggu pagi, sesudah khotbah. Sama halnya seperti sebuah buku yang teksnya bisa dipahami walau tidak ada gambar; tetapi gambar itu ditambahkan supaya teksnya lebih jelas lagi. Luther berpegang pada kehadiran nyata tubuh dan darah Kristus dalam Ekaristi (Perjamuan); hanya tubuh dan darah itu tidak hadir sebagai ganti roti dan anggur (trans-substansiasi), tetapi bersama dengannya (con-substansiasi, con/cum = bersama dengan).
Perubahan ketiga yang membuat misa Katolik menjadi kebaktian Protestan ialah kegiatan jemaat di dalamnya. Pada zaman Ambrosius, kebaktian diselingi nyanyian jemaat (Kid. Jemaat 245 berasal dari Ambrosius). Akan tetapi, dalam Abad Pertengahan, jemaat semakin tidak aktif. Sekarang Luther sendiri dan ahli-ahli musik serta penyair lain menyusun lagu-lagu dalam bahasa Jerman untuk jemaat yang tidak biasa menyanyi itu, sehingga bisa dipakai sebagai nyanyian dalam kebaktian gereja dan di rumah.
Bacaan-bacaan:
1. Beberapa di antara ke-95 dalil Luther
37. Setiap orang Kristen telah mengambil bagian dalam segala harta Kristus dan gereja; hal itu dianugerahkan kepadanya oleh Allah, biarpun tidak ada surat penghapusan siksa dari gereja.
43. Patutlah kepada orang-orang Kristen diajarkan: "Kalau seorang memberikan sesuatu kepada orang miskin, atau meminjamkan uang kepada orang yang membutuhkannya, ia berbuat lebih baik, ketimbang kalau ia membeli surat penghapusan siksa."
44. Karena oleh perbuatan kasih, kasih bertambah dan manusia bertambah baik; tetapi oleh penghapusan siksa ia tidak bertambah baik, hanya saja lebih bebas dari hukuman.
65. Harta Injil ialah jala-jala, yang dengannya dahulu kala orang ditangkap dari kekayaan (Matius 4:9; Lukas 18:18-27).
66. Harta penghapusan siksa ialah jala-jala, yang dengannya sekarang ditangkaplah kekayaan orang.
2. Dari Kebebasan Seorang Kristen
Seorang Kristen bebas dari semuanya dan atas seluruhnya, sehingga dia tidak membutuhkan sesuatu perbuatan untuk menjadikan dia benar dan menyelamatkannya, karena hanya iman saja yang menganugerahkan semuanya berlimpah-limpah.
Walaupun seseorang cukup dibenarkan oleh iman, tetapi ia masih hidup di dunia yang fana ini. Dalam hidup ini, ia harus menguasai tubuhnya (= segala nafsunya yang menentang kehendak Allah) dan bergaul dengan sesamanya. Dia menemukan tantangan kehendak di dalam tubuhnya yang berdaya upaya melayani dunia dan yang mencari segala kepuasan. Hal ini tak dapat dibiarkan oleh roh iman. Karena melalui iman, jiwa kita disucikan dan digerakkan untuk mengasihi Allah, maka jiwa itu menghendaki segala sesuatu. Teristimewa tubuhnya sendiri, menjadi suci-murni, sehingga segala sesuatu akan turut serta dengannya dalam mengasihi dan memuji Allah. Oleh karena itu, manusia tidak lagi malas, karena kebutuhan tubuhnya mendorongnya dan memaksanya mengerjakan banyak perbuatan yang baik supaya tubuh itu dapat ditaklukkan. Dengan jalan ini, tiap-tiap orang sangat mudah mempelajari bagi dirinya sendiri, pembatasan dan kebijaksanaan dari penyiksaan badannya, karena ia akan berpuasa, berjaga-jaga dan bekerja sebanyak yang diperlukan untuk menahan keinginan hawa-nafsu tubuhnya.
Akhirnya, kita akan membicarakan juga hal-hal perbuatan kepada sesama manusia. Seseorang tidak hidup untuk dirinya sendiri saja dalam tubuh yang fana ini, dan bekerja untuk dirinya saja, tetapi ia hidup untuk orang lain dan bukan untuk dirinya sendiri. Untuk tujuan inilah, ia menaklukkan tubuhnya, supaya dapat lebih ikhlas dan lebih bebas melayani orang lain. Dari iman mengalirlah kasih dan kegembiraan dalam Tuhan, dan dari kasih pikiran yang gembira, tulus dan bebas, yang melayani sesama manusia dengan rela hati dan tidak memikirkan penghargaan atau olok-olok, pujian atau celaan, untung atau rugi.
3. Luther mengenai "rohaniwan " dan "awam ". (Dari: Kepada para pemimpin bangsa Jerman, pasal 1).
Menamakan para Paus, uskup, imam, biarawan, dan biarawati "golongan rohaniwan", sedangkan para pangeran, tuan, tukang, dan petani "golongan duniawi", merupakan akal yang direka-reka oleh orang-orang lihai. Karena semua orang Kristen, tanpa kecuali, benar-benar dan sungguh-sungguh termasuk golongan rohaniwan, dan tidak ada perbedaan di antara mereka, kecuali pekerjaan mereka yang berlainan. (...) Tidak ada di antaranya perbedaan dalam hal kedudukan Kristen. Semuanya bersifat rohani kedudukannya, dan semuanya sungguh-sungguh imam, uskup, dan Paus. Mereka yang sekarang dinamakan kaum rohaniwan, tidak lebih luas atau lebih besar pangkatnya daripada orang Kristen lainnya, kecuali dalam hal bahwa mereka mempunyai tugas menerangkan firman Allah dan melayankan sakramen-sakramen. Tukang sepatu, pandai besi, petani, masing-masing mempunyai kesibukan tangan dan pekerjaannya; sementara itu, mereka semuanya dapat dipilih pula untuk bertindak sebagai imam dan uskup.