III. Tata Gereja

Tata Gereja Perancis (1559)

Dalam tahun 1550-an, Reformasi Calvinis di Perancis mulai mantap. Para penganut Calvinisme membentuk jemaat-jemaat dan mulai mengembangkan bentuk tata gereja dan tata kebaktian sendiri. Kegiatan ini berlangsung di bawah pimpinan Calvin, yang dari kota Jenewa, dekat dengan perbatasan Perancis, memelihara hubungan erat dengan para penganut Reformasi di negeri asalnya. Pada tahun 1559 para utusan jemaat-jemaat Calvinis berkumpul di Paris. Sinode mereka yang pertama itu menerima pengakuan iman dan tata gereja tersendiri. Karena permusuhan para pemimpin Gereja Katolik bersama pemerintah Perancis, yang berupaya membasmi gerakan Protestan, semuanya harus berlangsung dengan serba rahasia. Akibatnya, tidak banyak diketahui mengenai asal usul pengakuan dan tata gereja tersebut. Sebab keduanya mencerminkan teologi Calvin, orang menduga Calvin-lah yang merancangkannya. Kemungkinan juga seorang pendeta muda bermana Antoine de la Roche Chandieu yang menjadi pengarang tata gereja yang diterima di Sinode Paris tersebut. Tata gereja ini berbeda secara asasi dengan tata gereja jenewa dari yang berlaku di Jenewa. Di Perancis, aparat negara memusuhi Gereja Protestan dan berupaya menumpas gerakan Protestan. Maka negara tidak dapat memainkan peranan apa pun dalam kehidupan gereja, dan tata gereja tidak mengenal kerja sama antara gereja serta negara seperti yang terdapat dalam tata geraja Jenewa. Karena itu, dibandingkan dengan tata gereja Jenewa, tata gereja Perancis ini tampak lebih 'modern'.

1. Pertama, tidak satu pun Gereja boleh menuntut keutamaan atau kuasa atas Gereja lain.2

2. Dalam setiap musyawarah atau Sinode orang akan memilih seorang ketua, dengan suara bulat, agar ia mengetuai musyawarah atau Sinode itu dan melakukan apa yang termasuk tugasnya. Tugas itu akan berakhir bersama musyawarah atau Sinode masing-masing.

3. Para Pelayan membawa serta ke Sinode itu masing-masing satu atau beberapa orang Penatua atau Diaken dari jemaat mereka.

4. Pada Sinode-sinode Am, yang berkumpul menurut kebutuhan Gereja-gereja, akan ada pemeriksaan semua hadirin, dalam suasana persahabatan dan persaudaraan. Sesudah itu, orang akan merayakan Perjamuan Tuhan kita yesus Kristus.

5. Para Pelayan, dan paling tidak satu Penatua atau Diaken dari tiap-tiap jemaat atau provinsi, akan berkumpul dua kali setahun.

6. Para Pelayan akan dipilih dalam rapat Konsistori oleh para Penatua dan Diaken, dan akan diperkenalkan kepada warga jemaat yang akan mereka layani setelah ditahbiskan. Dan jika ada yang menentang maka Konsistori berwenang mengambil keputusan tentangnya. Dalam hal salah satu pihak merasa tidak senang, seluruh perkara itu akan dilaporkan kepada Konsili se-provinsi, bukan dengan maksud memaksa warga jemaat menerima Pelayan yang telah dipilih, melainkan untuk membela dia.

7. Pelayan-pelayan tidak boleh dipindahkan dari gereja lain tanpa surat-surat yang sah; kalau mereka tidak membawa surat-surat ini, atau tidak diperiksa baik- baik, mereka tidak akan diterima.

8. Mereka yang terpilih harus menandatangani pengakuan iman yang telah ditetapkan dalam Gereja-gereja tempat mereka dipilih, dan juga dalam Gereja- gereja lain bila mereka dipindahkan ke sana. Pemilihannya akan diteguhkan dengan doa, dan dengan penumpangan tangan para Pelayan, tetapi dengan menghindarkan takhayul apa saja.

9. para pelayan salah gereja tidak boleh memimpin ibadah dalam Gereja lain tanpa persetujuan Pelayan Gereja itu, atau konsistori Pelayan itu tidak hadir.

10. Orang yang telah dipilih untuk menjabat pelayan di tempat tertentu akan didorong dan dinasehati agar ia menerimanya, tetapi ia tidak akan dipaksa. Para pelayan yang tidak dapat melaksanakan tugasnya di tempat yang ditentukan bagi mereka, lalu, berdasarkan keputusan Gereja, disuruh pergi ke tempat lain, tetapi tidak bersedia pergi ke sana, akan mengungkapkan alasan penolakan itu kepada Konsistori, dan Konsistori itu akan menilai apakah alasan itu dapat diterima. kalau tidak dapat diterima dan mereka bersikeras tidak mau menerima penugasan tersebut, perkaranya akan diputuskan oleh Sinode se-provinsi.

11. Orang yang masuk dengan tidak sah tidak boleh diterima oleh para Pelayan yang berdekatan atau Pelayan-pelayan lain, sekalipun ia diterima oleh warga jemaatnya, kalau salah satu Gereja lain berkeberatan terhadap peneguhannya. Sebelum diambil tindakan lebih lanjut, Sinode se-provinsi harus dikumpulkan secepat mungkin agar mengambil keputusan dalam hal itu.

12. Mereka yang pernah dipilih menjadi Pelayan Firman harus memahami bahwa mereka dipilih untuk menjadi pelayan seumur hidup.

13. Adapun mereka yang dikirim untuk sementara waktu bila Gerja-gereja tidak dapat memenuhi keperluan kawanan domba itu dengan cara lain, tidak boleh meninggalkan Gerejanya, sebab Yesus Kristus telah mati bagi Gereja itu.

14. Dalam hal penganiayaan yang terlalu besar, orang dapat untuk sementara waktu berpindah dari Gereja yang satu ke Gereja yang lain, dengan persetujuan kedua Gereja yang bersangkutan. Orang dapat berbuat begitu juga karena alasan-alasan lain yang wajar, yang harus dilaporkan dengan Sinode se-provinsi dan dinilai oleh Sinode itu.

15. Mereka yaang membawakan ajaran jahat, dan tidak berhenti berbuat begitu setelah diperingatkan, juga yang perilakunya menghebohkan sehingga patut dihukum oleh pengadilan, atau dihukum dengan pengucilan dari Gereja, atau yang tidak patuh pada Konsistori, atau yang melakukan tugasnya dengan kurang baik karena sebab yang lain, akan diberhentikan.

16. Adapun mereka yang karena umur lanjut, penyakit, atau kesusahan lain yang serupa sudah tidak mampu lagi menyelenggarakan tugasnya, akan tetap terhormat, dan Gereja mereka akan diminta agar tetap menanggung mereka, sedangkan tugasnya akan diselenggarakan oleh seorang lain.

17. Perbuatan buruk yang menghebohkan dan patut dihukum oleh pengadilan, yang menimbulkan kehebohan besar dalam Gereja, merupakan alasan untuk memberhentikan pelayan, apa pun waktu perbuatan itu dilakukan, apakah ketika masih jaman kejahilan atau sesudahnya. Adapun perbuatan buruk lain, yang tidak menimbulkan kehebohan besar, akan diserahkan kepada kebijaksanaan dan penilaian Sinode se- provinsi.

18. Pemberhentian akan dilakukan segera oleh Konsistori dalam hal perbuatan buruk yang keterlaluan, setelah memanggil dua atau tiga pendeta. Bila yang bersangkutan mengajukan keluhan mengenai kesaksian, atau karena kesaksian itu dianggap fitnah, perkara akan diserahkan kepada Sinode se-provinsi.

19. Alasan-alasan pemberhentian tidak akan dinyatakan kepada warga jemaat kecuali kalau benar-benar perlu; hal ini akan dinilai oleh Konsistori.

20. Para Penatua dan Diaken merupakan Dewan Perwakilan Gereja, yang harus diketuai para Pelayan Firman.

21.Jabatan Penatua ialah: mengumpulkan warga jemaat, memberitahukan peristiwa- peristiwa yang menghebohkan kepada Konsistori, dan hal-hal lain yang serupa, sesuai dengan pedoman tertulis yang akan ada di tiap-tiap Gereja menurut kebutuhan tempat dan zaman. Dan jabatan Penatua sebagaimana kita kenal sekarang tidak dipegeng untuk selamanya.

22. Para Diaken dan Penatua akan bertugas mengunjungi orang-orang miskin, para tawanan, dan orang sakit, serta pergi memberi pengajaran katekisasi di rumah orang.

23. Jabatan para Diaken bukanlah memberitakan Firman atau melayankan sakramen- sakramen, meski dalam hal-hal itu mereka boleh memberi bantuan. Pun tugas mereka tidak berlaku untuk selamanya. Sekalipun demikian, mereka dan para Penatua tidak dapat menanggalkannya tanpa izin Gereja-gereja.

24. Bila Pelayan tidak hadir, atau sedang sakit, atau mempunyai urusan mendesak yang lain, Diaken boleh mengucapkan doa-doa dan membacakan nas dari Alkitab, tanpa pemberitaan Firman dalam bentuk apapun.

25. Para Diaken dan Penatua akan diberhentikan dari kedudukannya karena alasan- alasan yang sama seperti para Pelayan Firman. Dan bila mereka dijatuhi hukuman oleh Konsistori dan naik banding, mereka kena skorsing hingga perkaranya diputuskan oleh Sinode se-provinsi.

26. Para Pelayan dan warga Gereja lainnya tidak boleh menyuruh mencetak buku- buku karangan mereka atau orang lain perihal agama, dan tidak boleh menerbitkannya dengan cara lain, tanpa memberitahukan isinya kepada dua atau tiga Pelayan Firman yang tidak dicurigai.

27. Orang bidat, orang yang menista Allah, yang membangkang terhadap Konsistori, yang membelot dari Gereja, yang tertular, bahkan sama sekali dikuasai, oleh kejahatan yang patut diganjar dengan hukuman badan, dan mereka yang menyebabkan seluruh Gereja heboh, akan dikucilkan seluruhnya, dan dilarang ikut serta bukan hanya dalam perayaan sakramen, melainkan juga dalam semua perkumpulan. Adapun perbuatan buruk lainnya diserahkan kepada kebijaksanaan Gereja siapa yang harus diterima dalam ibadah pemberitaan Firman setelah dilarang ikut serta dalam perayaan sakramen-sakramen.

28. Mereka yang dikucilkan karena menganut ajaran bidat, menista Allah, menyebabkan keretakan dalam Gereja, membelot dari Gereja, membangkang terhadap Gereja, dan karena perbuatan buruk lainnyayang menimbulkan kehebohan besar dalam seluruh Gereja, akan dinyatakan terkucil di hadapan warga jemaat, dengan memberitahukan alasan-alasan pengucilan mereka.

29. adapun mereka yang dikucilkan karena alasan-alasan lebih ringan diserahkan kepada kebijaksanaan Gereja untuk menentukan apakah mereka harus diperkenalkan kepada warga jemaat atau tidak, hingga Sinode Am yang berikut mengambil keputusan dalam perkara itu.

30. Mereka yang telah dikucilkan harus datang kepada Konsistori memohon agar didamaikan denganGereja, lalu Gereja itu akan menilai penyesalan mereka. Jika mereka telah dikucilkan di muka umum, mereka akan juga menyatakan penyesalannya di muka umum; jika mereka tidak dikucilkan di muka umum, mereka harus melakukannya di hadapan Konsistori saja.

31. Mereka yang telah murtad dalam penganiayaan tidak boleh diterima dalam Gereja kecuali dengan menyatakan penyesalannya di hadapan warga jemaat.

32. Pada masa penganiayaan sengit, atau peperangan, atau wabah pes, atau kelaparan, atau kesengsaraan besar yang lain, begitu juga bila orang hendak memilih para Pelayan Firman, dan bila orang mempertimbangkan diadakannya Sinode, orang dapat mengumumkan ibadah doa umum luar biasa, disertai puasa, tetapi tanpa paksaan terhadap hati nurani dan tanpa takhayUla

33. Perkawinan akan diberitahukan kepada Konsistori. Orang harus membawa ke sana surat akad nikah yang telah disahkan oleh seorang notaris umum, lalu perkawinan itu akan diumumkan paling tidak dua kali dalam jangka waktu dua minggu. Sesudah jangka waktu itu, acara nikah dapat diselenggarakan di tengah perkumpulan jemaat. Tertib ini tidak boleh diputuskan kecuali karena alasan yang sangat penting, yang perlu diketahui oleh Konsistori.

34. Baik perkawinan maupun pembabtisan harus didaftarkan dan disimpan dengan teliti di dalam Gereja, bersama nama ayah ibu serta bapak ibu permandian anak- anak yang telah dibaptis.

35. Berkenaan dengan hubungan darah atau pertalian kekerabatan, orang percaya tidak boleh menikah dengan seseorang kalau hal itu dapat menimbulkan kehebohan besar, dan Gereja perlu mengetahui hal itu.

36. Orang percaya yang memegangbukti bahwa suami atau istri mereka telah berbuat zina akan diberi nasihat agar bergabung kembali dengannya. Jika mereka tidak mau berbuat begitu, orang akan menjelaskan kepada mereka bahwa mwnurut Firman Allah mereka bebas. Akan tetapi, Gereja-gereja sama sekali tidak boleh membubarkan perkawinan, agar mereka tidak melanggar wewenang pengadilan.

37. Orang muda yang masih di bawah umur tidak boleh mengikat perkawinan tanpa persetujuan ayah dan ibu mereka. Akan tetapi, jika ayah dan ibu mereka sama sekali tidak bisa diajak menggunakan akal sehat, sampai-sampai tidak mau menyetujui sesuatu yang suci dan bermanfaat, Konsistori berwenang mengambil keputusan tentangnya.

38. Janji nikah yang diberikan secara sah tidak dapat ditiadakan, bahkan tidak juga atas kesepakatan kedua belah pihak yang telah memberikannya. Janji itu, kalau diberikan secara sah, harus diketahui oleh Konsistori.

39. Tidak satu pun Gereja boleh melakukan sesuatu yang berakibat jauh, yang menyangkut kepentingan Gereja-gereja lainnya dan dapat membawa serta kerugian baginya, tanpa meminta pendapat Sinode se-provinsi, kalau sinode itu dapat dikumpulkan. Dan bila urusannya mendesak, Gereja yang bersangkutan harus memberitahukan perkaranya kepada Gereja-gereja lain si provinsi itu, dan mendapat nasihat serta persetujuannya, paling tidak melalui surat-suRat

40. Pasal-pasal yang dimuat di sini berkenaan dengan tata tertib, tidak ditetapkan di tengah-tengah kita begitu rupa sehingga tidak boleh diubah jika kepentingan Gereja menuntutnya. Akan tetapi, orang perseorangan tidak berwenang mengubahnya tanpa nasihat dan persetujuan Sinode Am.

Demikianlah ditandatangani dalam naskah aslinya: Francois de Morel, yang dipilih sebagai ketua Sinode dengan suara bulat. Dibuat di Paris pada tanggal 28 Mei 1559, dalam tahun ketiga belas pemerintahan Raja Henri.1

Peraturan Gereja Jenewa (1561)

Di Jenewa, keadaan di bidang keagamaan berbeda sekali dengan yang berlaku di negeri Perancis. Di negara kota itu, pemerintahlah yang memberlakukan Reformasi (1534) dan yang menugaskan pelaksanaannya kepad beberapa pendeta yang dipanggil dari luar, antara lain Yohanes Calvin. Selama dua dasawarsa, Calvin dan pemerintah kota berselisih pendapat mengenai cara melaksanakan Reformasi. Namun, Calvin pun tidak menyangkal hak, bahkan kewajiban pemarintah untuk bertindak sebagai inang pengasuh dan pelindung gereja. Dengan demikian, di Jenewa masih berlaku Corpus Christianum, umat Kristen yang telah berdiri di Eropa sejak abad keempat, yaitu sejak zaman kaisar Konstantinus dan Theodosius. Suasana 'umat' itu yang tercermin dalam sejumlah besar ketentuan tata gereja Jenewa. Dalam hal itu, tata gereja ini berbeda dengan tata gereja Perancis (1559) dan tata gereja Emden (1671), yang keduanya mencerminkan keadaan gereja 'di bawah salib', tetapi segaris dengan tata gereja Dordecht (1619), yang disusun pada waktu pemerintah negeri Belanda telah memberi Gerja Reformasi tempat khusus dalam tatanan negara. Di samping itu, Tata Gerja Jenewa berbeda dengan yang ditetapkan di negara- negara lain sebab Gereja di Jenewa pada hakikatnya merupakan gereja kota, yang tidak perlu mengatur hubungan antar- jemaat. Akibatnya, dalam tata gereja Jenewa kita tidak menemukan lembaga klasis, sinode wilayah, dan sinode nasional.

Demi Nama Allah yang Mahakuasa

1. Kami, Walikota, Dewan Kecil, dan Dewan Besar,
yang berkumpul bersama rakyat kami dengan bunyi terompet dan lonceng besar, sesuai dengan kebiasaan lama kita,
menimbang bahwa di atas segala hal patut dianjurkan supaya kemurnian ajaran Injil kudus Tuhan kita dijaga baik-baik, dan Gereja kristen diperihara melalui pemerintahan serta aturan yang baik, dan juga supaya di masa depan kaum muda diajar dengan sungguh-sungguh dan setia, serta demi pertolongan orang miskin, dan bahwa semua itu hanya dapat dilakukan bila ada peraturan dan tata hidup yang mantap, yang membuat tiap-tiap golongan memahami kewajiban-kewajiban yang ditanggungnya,

menilai baik agar pemerintahan rohani, sebagaimana ditunjukkan dan ditetapkan oleh Tuhan kita melalui Firman-nya, diberi bentuk yang tepat, agar dijalankan dan dipatuhi di tengah-tengah kita. Karena itu, kami telah memerintahkan dan menetapkan agar di kota dan wilayah kami orang mengikuti dan memegang aturan gerejawi yang berikut ini, sebab kami melihat bahwa aturan itu dimbil dari Injil Yesus Kristus.

2. Pertama, ada empat kelompok atau jenis jabatan, yang telah ditetapkan tuhan kita untuk pemerintahan Gereja-Nya, yaitu para Pendeta, kemudian para Doktor, sesudah itu kaum Penatua, dan yang keempat, para Diaken.

3. Oleh karena itu, jika kita ingin supaya Gereja kita diatur dengan baik dan jika kita mau menjaga supaya Gereja itu tetap utuh, maka kita perlu mematuhi tata pemerintahan ini.

4. Adapun para Pendeta, yang sekali-kali oleh alkitab disebut juga 'Penilik', 'Penatua' dan 'Pelayan', menyandang jabatan memberitakan Firman Allah, untuk mengajar, memperingatkan, menasihati, dan menegur, baik di depan umum maupun secara individual, melayankan sakramen-sakramen, dan menyampaikan peringatan secara persaudaraan, bersama kaum Penatua atau petugas.

5. Akan tetapi, agar segala kekacauan dihindari dalam Gereja, tidak seorangpun boleh mencampuri urusan-urusan jabatan ini jika ia tidak mendapat panggilan. Tiga hal yang perlu diperhatikan dalam panggilan itu, yakni ujian, yang merupakan hal utama; kemudian siapa yang berhak meneguhkan para Pelayan; ketiga, upacara atau cara apa yang sebaiknya dipegang untuk memasukkan meraka dalam jabatannya.

6. Ujian mencakup dua bagian. Yang pertama menyangkut hal ajaran, yaitu apakah orang yang hendak ditahbiskan memiliki pengetahuan yang baik dan suci tentang Alkitab, kemudian apakah ia cocok dan pandai meneruskan pengetahuan itu kepada rakyat demi pembinaan mereka.

7. Juga, untuk menghindari seluruh bahaya kalau-kalau orang yang mau diterima memegang pendapat yang salah, wajiblah ia menyatakan berpegang pada ajaran yang telah diterima resmi dalam Gereja, terutama sesuai dengan isi Katekismus.

8. Untuk mengetahui apakah ia pandai mengajar, orang perlu mengajukan pertanyaan-pertanyaan, dan mendengar dia mambahas ajaran Tuhan dalam lingkungan kecil.

9. Bagian kedua menyangkut kehidupannya, yaitu apakah tingkah lakunya baik, dan apakah ia selalu menangani urusannya sendiri dengan cara yang tidak tercela. Prosedur yang harus diikuti dalam hal ini ditunjukkan dengan baik sekali oleh Rasul Paulus; patutlah kita mematuhi petunjuknya itu.

Siapa yang berwenang meneguhkan para Pendeta

10. Kami telah mendapatkan bahwa dalam hal ini orang sebaiknya mengikuti tata tertib Gereja Lama, sebab tata tertib itu hanya merupakan penjabaran aturan yang dikemukakan dalam Alkitab. Yaitu, bahwa para Pelayan, setelah memberitahukan halnya kepada Dewan Kecil kami, memilih dulu tokoh yang hendak ditempatkan dalam jabatan itu, lalu memperkenalkan dia kepada Dewan tersebut. Jika ternyata layak, hendaklah orang menyambut dan menerima dia di sana, sambil memberi kesaksian positif tentangnya. Akhirnya, mereka akan menampilkan dia kepada jemaat dalam ibadah pemberitaan firman, agar ia diterima dengan kesepakatan bulat perhimpunan orang percaya.

Tambahan berisi risalah kejadian dan keputusan dalam Dewan Dua Ratus pada tanggal 9 Februari 1560, dengan maksud menyatakan bagaimana seharusnya orang menafsirkan pasal mengenai cara memperkenalkan calon, dan membenahi kebiasaan keliru yang telah terjadi dalam hal itu.

11. Para Pelayan yang mutabir telah menjelaskan kepada kami bahwa peraturan mengenai cara memperkenalkan mereka tidak dipatuhi, sebab mereka yang telah dipilih dan yang diterima oleh Pemerintah kota hanya diperkenalkan dalam gereja, tanpa disertai pertanyaan apakah orang menerima baik mereka, dengan akibat kemerdekaan rakyat dan seluruh badan Gereja diselewengkan. Kami pun berpendapat bahwa dalam hal ini orang telah menyimpang dari penetapan semula. Lagi pula, para pelayan tersebut telah menjelaskan kepada kami bahwa dalam semua ini mereka sama sekali tidak mencari keuntungan diri mereka sendiri. Sebaliknya, mereka berupaya agar mereka dan orang yang akan datang sesudah mereka dikekang lebih ketat. maka kami telah menetapkan pula agar surat keputusan yang lama itu dipetuhi dengan semestinya, sesuai degan maksud yang terkandung didalamnya. Untuk mencegah kebiasaan keliru yang telah timbul itu dan agar dalam Gereja kita tidak ada upacara yang tanpa kesungguhan dan tidak berbobot, maka kami telah menyediakan cara memperbaiki keadaan sebagai berikut. Yaitu, bila orang memilih seorang Pelayan, hendaklah namanya diumumkan disertai pemberitahuan bahwa orang yang mengetahui sesuatu yang tercela tentangnya harus datang mengemukakannya sebelum hari Pelayan itu hendak diperkenalkan, supaya, kalau ia memang tidak sanggup memangku jabatan itu, orang mengadakan pemilihan baru.

12. Para Penatua yang ditugasi duduk dalam Konsistori dan melakukan pengawasan dalam gereja, menanggung tugas bersama dengan para Pelayan Firman. Karena itu, kami telah menetapkan pula agar nama-nama mereka pun diumumkan dalam gereja, supaya mereka memiliki wibawa yang diperlukan untuk menyelenggarakan tugas kedudukannya, dan juga agar semua warga gereja diberi peluang untuk memberitahukan kekurangan yang ada padanya kepada pihak yang berwenang, yakni salah satu dari keempat walikota.

13. Jika ternyata ia memang tidak layak, dan jika faktaitu terbukti melalui pemeriksaan yang sah, orang harus mengadakan pemilihan baru untuk mendapat seorang lagi.

14. Adapun cara memperkenalkan calon, sebab upacara- upacara masa lampau telah diputarbalikkan menjadi setumpukan takhayul, disebabkan kelemahan pengertian orang zaman itu, maka cukuplah salah seorang pelayan disuruh memberi penjelasan mengenai jabatan tempat ia hendak diangkat, lalu hendaklah orang berdoa memohon agar Tuhan memberi dia anugerah sehingga ia dapat melaksanakannya dengan baik.

15. Sesudah pemilihannya ia harus bersumpah di hadapan Pemerintah kota. Bentuk sumpah yang harus diberikan oleh seorang Pelayan adalah sebagai berikut.

Cara dan bentuk sumpah dan janji-janji yang para Pelayan evangelis yang disetujui dan diterima di Kota Jenewa harus diberikan di hadapan Yang Mulia Walikota dan Dewan Kota tersebut.

16. Aku berjanji dan bersumpah akan mengabdi kepada Allah di dalam pelayanan yang menjadi panggilanku, seraya membawakan Firman-Nya secara murni demi pembangunan Gereja ini yang telah dibuat-Nya menjadi tanggunganku; dan bahwa aku tidak akan menyalahgunakan ajaran-NYa untuk melayani nafsu dagingku atau dengan maksud menyenangkan manusia, tetapi akan menggunakannya dengan hati nurani yang murni untuk mengabdi kepada kemuliaan-Nya dan demi manfaat umat-Nya yang wajib kulayani.

17. Aku berjanji dan bersumpah juga akan berpegang pada peraturan-peraturan gerejawi sebagaimana telah ditetapkan oleh Dewan Kecil, Dewan Besar, dan Dewan Am kota ini, serta menunaikan dengan setia tugas yang ditanggungkan kepadaku di sana, yaitu memperingatkan mereka yang telah berbuat salah, tanpa memberi peluang untuk kebencian, sikap pilih kasih, dendam hati, atau nafsu daging yang lain, dan pada umumnya akan berbuat apa yang termasuk tugas seorang Pelayan yang baik dan setia.

18. Ketiga, aku bersumpah dan berjanji akan menjaga serta mempertahankan kehormatan dan kepentingan Pemerintah kota dan kota itu sendiri, sambil berupaya semampuku agar rakyat tetap hidup damai dan rukun di bawah Pemerintah kota. Aku tidak akan menyetujui sama sekali apa saja yang bertentangan dengannya; sebaliknya aku akan tetap bertahan dalam pelayanan yang menjadi panggilanku, baik pada masa sejahtera maupun pada masa sengsara, apakah berlaku perdamaian, peperangan, wabah pes, ataupun keadaan lain.

19. Akhirnya, aku berjanji dan bersumpah akan tunduk pada kebijakan dan undang- undang kota ini, dan memberi contoh kepatuhan kepada semua orang lain, seraya bersikap tunduk dan patuh pada undang-undang dan pada peradilan sejauh jabatanku mengizinkannya. Artinya, tanpa mengurangi kebebasan yang seharusnya kami miliki untuk mengajar sesuai dengan perintah Allah, dan menunaikan kewajiban-kewajiban yang termasuk jabatan kami. Dan aku berjanji juga akan berbakti kepada Pemerintah kota dan rakyat sedemikian rupa, hingga hal itu sama sekali tidak mencegah aku melayani Allah sebagaimana seharusnya menurut panggilanku.

20. Sama seperti perlu memeriksa dengan teliti para Pelayan yang hendak dipilih, begitu pula harus ada aturan yang tepat untuk membuat mereka tetap menunaikan kewajibannya. Untuk itu, pertama, berguna kalau para Pelayan berkumpul tiap-tiap minggu pada satu hari yang tertentu untuk melakukan penelaahan Alkitab. Dengan demikian, ajaran mereka akan tetap murni dan kesepakatan dalam hal ajaran akan tetap terpelihara di tengah-tengah mereka. Jangan seorang pun tidak menghadirinya kecuali dengan alasan yang sah. Kalau ada yang lalai dalam hal itu, ia perlu diperingatkan.

21. Hendaklah para Pelayan kita dari kota mengajak mereka yang mengabarkan Firman di desa-desa yang takluk pada Pemerintah kota agar datang menghadiri kumpulan tersebut sesering mungkin. Akan tetapi, jika mereka tidak datangselama satu bulan penuh, hendaklah hal itu dianggap sebagai suatu kelalaian yang keterlaluan, kecuali kalau disebabkan penyakit atau halangan sah yang lain. Untuk mengetahui tingkat kerajinan masing-masing dalam hal studi, dan agar tidak ada yang mengabaikannya, masing-masing pada gilirannya harus menjelaskan nas Alkitab yang akan dibahas dalam minggu ini. Akhirnya, setelah para pelayan meninggalkan tempat itu, tiap-tiap anggota kumpulan harus memberitahukan kepada yang memberi penjelasan itu apa yang patut dicela, agar melalui kritik itu kekurangannya dibenahi.

22. Sekiranya timbul perbedaan pendapat berkenaan dengan ajaran, hendaklah para Pelayan berunding untuk membicarakan masalahnya. Sesudah itu, hendaklah mereka (jika perlu) memanggil para Penatua dan petugas Pemerintah kota, agar mereka ini membantu mendamaikan perselisihannya. Akhirnya, jika salah satu pihak mengotot, sehingga mereka tidak berhasil mencapai kesepakatan secara baik-baik, perkaranya harus diajukan ke pengadilan agar mengaturnya.

23. Untuk dapat menghadapi perbuatan yang menghebohkan dalam hal tingkah laku, perlu ada cara memperingatkan para Pelayan, sebagaimana akan dijelaskan di depan. Mereka semua, tanpa kecuali, wajib tunduk padanya. Dengan cara itu juga jabatan Pelayan akan tetap terhormat, dan Firman Allah tidak akan dihina serta diremehkan sebab beredar kabar buruk mengenai Pelayan. sebab, sebagaimana orang telah berbuat jahat harus ditindak, begitu pula orang harus menekan fitnah dan pengaduan palsu yang mungkin akan dibawakan dengan tidak sebenarnya terhadap orang tidak bersalah.

24. Akan tetapi, perlu dicatat lebih dulu bahwa ada kesalahan yang sama sekali tidak dapat diterima dalam diri seorang pelayan, sedangkan ada pula kelakuan jelak yang masih tetap dibiarkan, asal saja pelakunya diperingatkan secara persaudaraan.

25. Adapun golongan pertama adalah:
Ajaran bidat, perpecahan.
Pemberontakan terhadap tata tertib gerejawi.
Hujat yang nyata yang patut dihukum menurut ajaran negara.
Jual-beli jabatan gereja, dan segala jenis korupsi berupa pemberian hadiah.
Persekongkolan untuk menempati jabatan orang lain.
Meninggalkan jemaat sendiri tanpa izin dan panggilan yang sah.
Ketidakjujuran, sumpah palsu, perbuatan mesum, pencurian, kemabukan, perkelahian yang patut dihukum menurut undang-undang.
Pengambilan riba, permainan yang dilarang oleh undang-undang dan yang menimbulkan kehebohan.
Tari-tarian dan perbuatan asusila yang serupa.
Kejahatan yang membawa akibat pelakunya kehilangan nama baik sebagai warga kota.
Kejahatan yang kalau dilakukan orang lain akan membawa akibat yang bersangkutan dikucilkan dari Gereja.

26. Golongan kedua ialah:
penyimpangan dalam hal menjelaskan Alkitab, yang menimbulkan kehebohan.
Sikap suka meneliti masalah-masalah yang tidak bermakna.
Memperkenalkan ajaran atau tata cara yang tidak berterima dalam Gereja.
Kelalaian dalam halstudi, terutama dalam hal membaca-baca Kitab-kitab Suci.
Kelalaian dalam menegur orang yang malakukan perbuatan buruk; kecenderungan untuk rayuan.
Kelalaian dalam menunaikan semua tugas yang bersangktan dengan jabatan.
Tngkah membadut, berdusta.
Menjelek-jelekkan orang lain.
Mengucapkan kata-kata binal.
Mengucapkan kata-kata makian.
Keberanian yang melewati batas.
Kelihaian.
Keserakahan dan kekikiran yang kelewat besar.
Kemarahan yang tidak terkendali.
Bergara-gara dan bercekcok.
Tingkah laku kurang senonoh yang tidak layak dalam diri seorang Pelayan, baik dalam hal pakaian maupun dalam hal gerak-gerik dan tindakan lain.

27. Jika kejahatan yang sama sekali tidak boleh dibiarkan itu merupakan kejahatan menurut hukum negara, artinya bahwa perbuatannya patut dihukum menurut undang-undang--maka bila seorang Pelayan sampai sampai melakukannya, perkara itu harus ditangani oleh Pemerintah kota. Dan hendaklah pemerintah, di luar hukuman biasa yang lazim dikenakannya kepada orang lain, menghukum dia pula dengan mengeluarkan dia dari jabatannya.

28. Perbuatan-perbuatan jahat lainnya, yang pemeriksaan pertamanya termasuk wewenang Konsistori Gereja, harus siawasi oleh para petugas atau Penatua bersama para Pelayan. Dan bila seseorang terbukti melakukan perbuatan serti itu, hendaklah mereka melaporkannya kepada majelis disertai nasihat dan penilaian mereka. Akan tetapi, keputusan terakhir tentang tindakan yang perlu diambil untuk menghukumnya selalu menjadi wewenang Pemerintah kota.

29. Adapun perbuatan-perbuatan buruk yang kurang gawat, yang sebaiknya dihukum dengan teguran saja, haruslah ditangani sesuai dengan pesan Tuhan kita, begitu rupa, hingga tahap terakhir ialah hukuman gerejawi.

30. Agar disiplin ini tetap berlaku, hendaklah tiga bulan sekali para Pelayan menaruh perhatian khusus apakah di kalangan mereka ada yang layak ditegur, agar mereka dapat membenahinya dengan sewajarnya.

Peraturan mengenai visitasi para Pelayan dan jemaat di desa-desa yang termasuk wilayah kota Jenewa

31. Lagi pula, untuk mempertahankan ketertiban dan persatuan dalam hal ajaran di seluruh badan Gereja di Jenewa, artinya baik di kota maupun di jemaat-jemaat yang termasuk wilayah kota, hendaklah Pemerintah kota memilih dua orang dari antara anggota Dewannya, dan hendaklah para Pelayan memilih pula dua orang dari jumlah mereka, dengan tugas sekali setahun mengunjungi tiap-tiap jemaat, dengan maksud menyelidiki apakah Pelayan setempat mungkin telah mengemukakan salah satu pokok ajaran baru, yang bertentangan dengan Injil yang murni.

32. Kedua, hendaklah kesempatan itu dimanfaatkan pula untuk menyelidiki apakah Pelayan itu memberitakan Firman dengan cara yang membangun jemaat, atau apakah mungkin dipakainya cara yang menghebohkan, atau yang sama sekali tidak cocok untuk mengajar rakyat, karena kurang jelas, atau apakah ia membahas masalah- masalah yang tidak perlu, atau terlalu keras, atau karena kekurangan lain yang serupa.

33. Ketiga, untuk menganjurkan agar rakyat mengunjungi ibadah pemberitaan Firman, mendengarkannya dengan penuh minat dan menarik manfaat darinya supaya mereka hidup secara Kristen; dan untuk memberi mereka penjelasan tentang jabatan Pelayan, supaya mereka tahu cara menggunakan pelayanan itu.

34. Keempat, untuk mendapat tahu apakah Pelayan rajin mengabarkan Firman dan mengunjungi orang sakit, serta menegur di bawah empat mata mereka yang perlu ditegur, dan menegahkan dilakukannya perbuatan yang melanggar kemuliaan Allah. Juga, apakah tingkah lakunya terhormat, apakah ia memberi contoh baik; atau apakah perbuatannya kurang senonoh atau seenaknya, dengan akibat ia dan keluarganya dihina; dan apakah hubungannya dengan rakyat baik.

Cara melakukan visitasi

35. Setelah mengadakan ibadah pemberitaan Firman dan menasihatkan rakyat dengan cara tersebut tadi, hendaklah Pelayan yang ditunjukkan untuk menjalankan tugas itu menanyai tokoh-tokoh yang mengawasi dan mengurus jemaat itu berkenaan dengan ajaran dan tingkah laku Pelayannya, dan juga berkenaan dengan kerajinannya dan metodenya dalam mengajar. Ia harus atas nama Allah meminta mereka agar tidak membiarkan dan tidak menyembunyikan apa pun yang menjadi halangan bagi kemuliaan Allah, kemajuan Firman-Nya, dan kebaikan semua orang.

36. Hendaklah ia melaporkan hal-hal yang ditemuinya kepad kumpulan, supaya, jika dalam diri daudara yang bersangkutan terdapat salah satu kesalahan yang tidak perlu dihukum selain dengan teguran, saudara itu diperingatkan dengan cara biasa. Sekiranya ada pelanggaran yang lebih gawat, yang tidak boleh dibiarkan, orang harus memulai prosedur dengan cara yang telah dipaparkan dalam pasal-pasal yang terdahulu. Maksudnya, keempat utusan tersebut harus melaporkan perkaranya kepada kami, agar kami menjalankan prosedur yang wajar.

37. Hendaklah visitasi ini tidak meliputi pemeriksaan perkaranya dengan cara apa pun, tidak juga peradilan dalam bentuk apa pun, tetapi hanya merupakan sarana pencegah peristiwa-peristiwa yang menghebohkan, dan terutama agar para Pelayan tidak kehilangan wibawa dan menjadi rusak akhlak.

38. Juga, hendaklah visitasi ini tidak merintangipelaksanaan peradilan dengan cara apa pun, dan tidak membebaskan para Pelayan dari kewajiban semua orang agar tunduk pada pemerintah, sehingga mereka tidak perlu, sama seperti tiap-tiap orang, mempertanggungjawabkan perbuatannya dalam perkara-perkara perdata, di depan pengadilan biasa, dan bila melakukan kejahatan tidak diperiksa serta tidak dihukum bila mereka terbukti bersalah. Pokoknya, hendaklah di masa depan kedudukan mereka sama seperti sekarang.

39. Adapun jumlah, tempat, dan waktu kebaktian pemberitaan Firman harus ditentukan sesuai dengan kebutuhan zaman. Akan tetapi, pada hari Minggu setidak- todaknya harus diadakan kebaktian fajar dalam gereja Saint Pierre, Magdalene, dan Saint Gervais.

40. Pukul dua belas siang harus diberikan katekisasi, artinya pengajaran kepada anak-anak kecil, dalam ketiga gereja tersebut, yaitu di gereja Saint Pierre, Magdalene, dan Saint Gervais.

41. Pukul tiga, sama juga di ketiga jemaat itu. Pada hari kerja harus ada pemberitaan Firman tiap-tiap hari di ketiga jemaat itu, yakni Saint Pierre, Magdalene, dan Saint Gervais, pada jam yang sama, yaitu mulai dari Paskah hingga tanggal 1 Oktober dari pukul enam sampai pukul tujuh, dan di musim dingin dari pukul tujuh sampai pukul delapan. Tetapi, kebaktian doa harus siadakan khususnya pada hari Rsbu, kecuali kalau di masa depan ditetapkan hari lain, sesuai dengan kesempatan yang ada.

42. Selain ibadah pemberitaan Firman tersebut, harus ada pemberitaan Firman dalam gereja Saint Pierre tiga kali seminggu, pada pagi hari, yaitu pada hari Senin, Rabu dan Jumat, dan dalam gereja Saint Gervais pada hari Rabu, sebelum ibadah pemberitaan Firman biasa tersebut di atas.

Kelompok atau golongan kedua,yang telah kami namakan para Doktor

43. Jabatan khusus para Doktor ialah mengajarkan sehat kepada orang percaya, supaya kemurnian Injil tidak dirusak oleh kebodohan atau oleh pandangan- pandangan keliru. Akan tetapi, sesuai dengan keadaan yang berlaku dewasa ini, bagi kami nama itu mencakup juga semua sarana dan alat untuk memelihara bibit bagi masa depan, sehingga Gereja tidak hancur disebabkan kekurangan Gembala dan Pelayan. Maka, kami akan menyebutnya dengan nama yang lebih jelas, yaitu 'golongan sekolah-sekolah'.

44. Tingkat yang paling dekat dengan jabatan Pelayan dan yang paling erat berhubungan dengan pemerintahan gereja ialah pengajaran teologi; pengajaran itu seharusnya meliputi Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.

45. Akan tetapi, pengajaran yang demikian hanya dapat membawa manfaat jika yang menerimanya mendapat lebih dulu pendidikan di bidang bahasa-bahasa dan ilmu pengetahuan umum. Juga, perlu menumbuhkan bibit untuk masa depan, agar Gereja tidak ditinggalkan oleh anak-anak kita. Maka itu, orang perlu mendirikan sekolah menengah, untuk mengajar mereka dan mempersiapkan mereka untuk jabatan Pelayan dan untuk pemerintahan duniawi.

46. Prosedur yang harus dipakai dalam hal ini dapat ditemukan dalam Kitab Peraturan Sekolah.

47. Jangan ada di kota ini sekolah lain bagi anak-anak kecil. Akan tetapi, bagi anak-anak perempuan harus ada sekolah tersendiri, sama seperti selama ini.

Golongan ketiga, yaitu para Penatua, petugas atau utusan Pemerintah kota dalam Konsistori

48. Mereka bertugas mengawasi tingkah laku tiap-tiap orang, mereka harus menasihati secara baik-baik mereka yang dilihatnya bersalah dan menempuh kehidupan kurang teratur. Dan bilamana perlu mereka harus memberi laporan kepada kelompok yang diberi tugas membenahi perbuatan salah dengan cara persaudaraan, dan kemudian melakukannya bersama dengan yang lain-lain.

49. Hendaklah orang, sesuai dengan situasi Gereja ini, memilih dua dari antara Dewan Inti, empat dari Dewan Enam Puluh, dan eman dari Dewan Dua Ratus, orang yang tingkah lakunya baik dan terhormat, yang tidak tercela dan sama sekali tidak menimbulkan kecurigaan, terutama yang takut akan Allah, dan yang arif dalam hal-hal rohani. Pemilihan mereka harus berlangsung begitu rupa, sehingga ada di tiap-tiap wilayah kota, supaya mereka memperhatikan segala sesuatu.

50. Begitu pula, kami telah memutuskan bahwa cara pemilihan mereka harus sebagai berikut. Hendaklah Dewan Inti memutuskan untuk mengangkat orang-orang yang paling cocok dan paling mampu yang berhasil ditemukan. Untuk itu, Dewan tersebut memanggil para Pelayan untuk berunding dengan mereka tentang urusan itu. Sesudah itu, hendaklah mereka memperkenalkan orang-orang yang telah mereka anggap baik kepada Dewan Dua Ratus, dan Dewan itu akan menyatakan setuju, kalau mereka memang dinilai laYak

51. Setelah mereka disetujui, mereka harus memberi sumpah khusus yang bentuknya sebagai berikut.

Sumpah Konsistori

52. Aku bersumpah dan berjanji, menurut jabatan yang telah diberikan kepadaku, akan menegahkan segala penyembahan berhala, hujat, perbuatan kurang senonoh dan hal-hal lain yang bertentangan dengan kemuliaan Allah dan pembaruan Injil, dan memperingatkan mereka yang patut diperingatkan, menurut kesempatan yang diberikan kepadaku.

53. Begitu pula, bila aku mendapat tahu sesuatu yang patut dilaporkan kepada Konsistori, akan melakukan kewajibanku dengan setia, tanpa rasa benci atau memilih kasih, hanya dengan maksud supaya ketertiban baik dan takut akan Allah dipertahankan di kota ini.

54. Begitu pula, akan menunaikan apa saja yang termasuk jabatanku dengan hati nurani yang murni, sambil mematuhi peraturan-peraturan berkenaan dengannya yang telah diterima oleh Dewan Kecil, Dewan Besar,dan Dewan Am kota Jenewa.

55. Dan pada akhir tahun sesudah pemilihan Dewan, mereka harus menghadap Pemerintah kota, agar orang mempertimbangkan apakah mereka dapat dipertahankan atau harus diganti. Dalam pada itu, tidak bijaksanalah untuk sering menggantikan mereka tanpa sebab, jika mereka menunaikan tugasnya dengan setia.

Golongan keempat pemerintahan Gereja, yaitu kaum Diaken

56. Dalam Gereja Lama selalu ada dua jenis Diaken. Yang satu diangkat dengan tugas menerima, membagi-bagikan, dan menyimpan harta kaum miskin, baik derma sehari-hari maupun harta milik tak bergerak, simpanan uang, dan tunjangan- tunjangan. Yang satu lagi memperhatikan dan merawat orang sakit, dan mengelola dapur orang miskin. Wajarlah semua kota Kristen menerima cara ini; kami melakukan upaya ke arah itu dan kami akan tetap melakukannya di masa depan. Sebab kami mempunyai sejumlah pengurus dan perawat orang sakit dan miskin. Agar tidak timbul kekacauan, hendaklah salah seorang di antara keempat pengurus wisma orang sakit dan miskin menjadi penata usaha harta milik wisma itu, dan menerima gaji berkecukupan, supaya ia dapat menunaikan jabatannya dengan sebaik mungkin.

57. Hendaklah jumlah empat pengurus itu tetap seperti pada masa lampau. Salah seorang di antara mereka harus mengurus uang masuk, sebagaimana telah dikatakan. Cara itu dipakai agar persediaan dipersiapkan lebih pada waktunya, juga agar orang yang hendak menyerahkan derma untuk orang miskin dapat merasa lebih yakin harta itu tidak akan dipakai selain sesuai dengan maksud mereka. Dan kalau pemasukkannya tidak mencukupi, atau kalau tiba-tiba timbul keperluan yang luar biasa, Pemerintah kota akan mempertimbangkan menyediakan tambahan sesuai dengan kebutuhan yang ternyata ada.

58. Pemilihan baik para pengurus maupun para perawat orang sakit dan miskin harus dilakukan dengan cara yang sama seperti pemilihan Penatua dan para petugas Konsistori. Dan ketika memilih mereka, orang harus mengikuti pedoman yang diberikan oleh Rasul Pulus berkenaan dengan para Diaken, dalam pasal ketiga Surat pertama kepada Timotius.

59. Berhubung dengan tugas dan wewenang para pengurus, kami meneguhkan pasal- pasal yang telah kami tetapkan sebelumnya untuk mereka, dengan pengertian bahwa dalam hal-hal mendesak, bila penundaan membawa resiko, terutama bila tidak timbul kesulitan besar dan halnya tidak mengakibatkan pengeluaran besar, tidak perlu mereka selalu melakukan perundingan bersama, tetapi satu atau dua orang dapat mengurus apa yang perlu di luar kehadiran yang lain-lain.

60. Perlu menjaga ketat agar wisma orang sakit dan miskin itu dipelihara dengan baik, dan disediakan baik untuk orang sakit maupun untuk orang jompo yang tidak kuat bekerja lagi, perempuan janda, anak yatim piatu, dan orang miskin lainnya. Akan tetapi, orang-orang sakit harus diinapkan di tempat tersendiri, terpisah dari yang lain-lain.

61. Begitu juga, pemeliharaan orang miskin yang tersebar di kota harus berlangsung di situ, sesuai dengan ketetapan para pengurus.

62. Begitu juga, selain wisma orang yang dalam perjalanan, yang perlu dipertahankan, harus ada penginapan tersendiri bagi mereka yang ternyata layak mendapat amalan khusus. Untuk itu perlu disediakan kamar khusus, untuk menyambut mereka yang oleh para pengurus dibawa ke sana. Kamar tersebut tidak boleh dipakai selain untuk tujuan itu.

63. Di luar semua itu dianjurkan supaya para perawat orang sakit dan miskin mengatur rumah tangga mereka sendiri dengan cara yang terhormat dan sesuai dengan kehendak Allah, sebab mereka menangani urusan rumah yang dibaktikan kepada Allah.

64. Hendaklah para Pelayan dan petugas atau Penatua bersama salah seorang tuan walikota dari pihak mereka berupaya untuk melakukan pemeriksaan,apakah dalam tata usaha orang miskin tersebut ada kesalahan atau kekurangan apa pun, dengan maksud mengajukan permohonan dan menganjurkan kepada Pemerintah kota agar mengaturnya. Untuk itu, hendaklah sekali tiap tiga bulan beberapa orang dari kumpulan mereka melakukan visitasi wisma orang sakit dan miskin itu bersama para pengurus, dengan maksud mendapat tahu apakah semuanya teratur baik.

65. Perlu juga ada seorang dokter dan seorang tenaga medis khusus untuk orang miskin dalan wisma itu dan bagi penduduk kota yang tidak mempunyai pertolongan apa-apa, atas biaya kota. Mereka akan berpraktik di kota, namun diharuskan menaruh perhatian pada wisma itu dan mengunjungi orang miskin lainnya.

66. Dan karena yang datang menghuni wisma kita bukan hanya orang tua dan sakit, melainkan juga anak-anak muda, disebabkan mereka miskin, maka kami telah menetapkan bahwa di sana selalu perlu ada seorang guru yang mengajarkan kepada anak-anak itu tingkah laku sopan, dan pengetahuan dasar bahasa, serta ajaran Kristen. Tugas utamanya ialah memberi katekisasi, sambil mengajar para penghuni wisma tersebut, dan membimbing anak-anak tersebut ke sekolah menengah.

67. Adapun rumah sakit untuk para penderita pes harus seluruhnya terpisah, terutama bila Allah sampai memukul kota ini dengan hukuman itu.

68. Tambahan pula, untuk menegahkan perbuatan mengemis, yang bertentangan dengan ketertiban yang baik, perlu Pemerintah kota menempatkan beberapa petugasnya pada pintu gereja-gereja, untuk menghalau orang yang msu mengemis, dan demikianlah juga telah kami tetapkan. Dan kalau pengemis itu ngotot atau bermulut besar, mereka harus digiring kepada seorang Wlikota. Begitu pula, pada waktu-waktu lain para kepala RT harus berjaga agar larangan mengemis benar-benar dipatuhi.

Hal Sakramen-sakramen

69. Pembaptisan hanya boleh dilakukan pada waktu kebaktian Firman, dan hanya boleh dilayankan oleh para Pelayan. Nama anak-anak harus didaftar bersama nama orang tua. Jika ditemukan adanya anak haram, pengadilan akan diberi tahu, agar mengambil tindakan yang wajar terhadapnya.

70. Jika orang luar hendak dijadikan saksi baptisan, yang boleh diterima hanya orang percaya yang termasuk persekutuan kita, sebab yang lain-lain tidak dapat berjanji kepada Gereja akan mengajar anak-anak itu sebagaimana perlu.

71. Juga, mereka yang dilarang mengambil bagian dalam Perjamuan tidak boleh diterima, hingga mereka berdamai kembali dengan Gereja.

72. Dan sebab di negeri ini orang telah diberi nama-nama tertentu yang sama sekali terikat pada penyembahan berhala atau ilmu hitam ala Claude, atau ketiga Majus yang dimanakan Raja, dan sebabpernah ada pula nama jabatan, seperti Yohanes Pembaptis dan Malaikat; ketiga, sebab orang malah diberi nama 'Kain Kafan', yang memang merupakan ketololan yang keterlaluan, maka dengan maksud membersihkan Baptisan Kudus dari pencemaran barang suci itu kami telah menetapkan bahwa kebiasaan yang salah dan bobrok itu harus dihapuskan.

Hal Perjamuan

73. Oleh karena Tuhan kita telah menetapkan Perjamuan supaya kita memakainya lebih sering, dan oleh karena dalam Gereja Lama Perjamuan itu telah dirayakan dengan setia hingga iblis menjungkirbalikkan segala sesuatu seraya mengadakan Misa sebagai gantinya, maka merayakannya begitu jarang merupakan kekurangan yang perlu dibenahi. Meskipun demikian, untuk sementara kami telah menganggap baik dam menetapkan, bahwa Perjamuan itu harus dirayakan empat kali setahun, yaitu pada hari Minggu yang paling dekat dengan Hari Natal, Hari Paskah, Hari Pentakosta, dan hari Minggu pertama bulan September dalam musim gugur.

74. Hendaklah para Pelayan membagi-bagikan roti secara tertib dan dengan khidMat Yang boleh mwnyampaikan cawan hanya para petugas atau diaken, bersama para Pelayan; sebab itu tidak boleh ada sejumlah besar jambangan.

75. Hendaklah meja-meja dekat dengan mimbar, agar Pelayan dapat dengan lebih mudah dan baik mengambil tempat di dekat meja-meja.

76. Hendaklah Perjamuan hanya dirayakan di dalam gedung gereja, hingga tersedia kesempatan lebih baik.

77. Hendaklah hari Minggu menjelang perayaan Perjamuan tersebut orang mengumumkannya, supaya tidaklah maju anak-anak yang belum melakukan sedi, dengan mengikrarkan iman sebagaimana diuraikan dalam Kitab Katekismus, dan juga untuk memperingatkan semua orang asing dan pendatang baru agar datang lebih dulu ke gereja untuk diberi pengajaran, kalau mereka membutuhkannya, sehingga tidak seorang pun dengan merayakan Perjamuan mendatangkan hukuman atas dirinya.

Hal nyanyian gereja

78. Kami telah menetapkan juga bahwa nyanyian gereja harus dimasukkan dalam ibadah, baik sebelum maupun sesudah khotbah, agar rakyat lebih terdorong memanjatkan puji-pujian dan doa permohonan kepada Allah.

79. Untuk sementara waktu, nyanyian itu akan diajarkan kepada anak-anak, di kemudian hari seluruh Gereja dapat ikut.

Hal Perkawinan

80. Sesudah pengumuman akad nikah sesuai dengan kebiasaan, orang merayakan dan memberkati perkawinan dalam gedung Gereja, pada saat yang dikehendaki kedua belah pihak, pada hari Minggu atau hari kerja, asal saja pada awal kebaktian pemberitaan Firman.

81. Adapun masa berpantang, sebaiknya hanya pada hari perayaan Perjamuan orang tidak merayakan perkawinan, demi penghormatan sakramen.

82. Karena perselisihan-perselisihan dalam perkara- perkara perkawinan tidak termasuk bidang rohani, tetapi tercampur dengan kebijakan politik maka bidang itu tetap merupakan wewenang Pemerintah kota. Meskipun demikian, kami menganggap baik menyerahkan kepada Konsistoritugas mendengarkan kedua belah pihak, dengan maksud melaporkan pendapatnya kepada Dewan Kota agar memberi putusannya. Hendaklah juga disusun peraturan-peraturan yang baik, yang akan dipatuhi di masa depan.

Menyusullah peraturan-peraturan tersebut, yang telah ditetapkan sesudahnya, pada hari Kamis 13 November 1561

83. Adapun orang muda yang tidak kawin sebelumnya, apakah pemuda atau pemudi, tidak boleh mengikat perkawinan tanpa seizin ayah mereka selama ayah itu masih hidup, kecuali bila mereka telah mencapai umur yang ditentukan oleh hukum, yaitu 20 tahun bagi pemuda dan 18 tahun bagi pemudi. Setelah mencapai usia tersebut mereka harus meminta sendiri atau lewat orang lain kepada ayah mereka agar mengawinkan mereka, dan jika ayahnya tidak menghiraukan permintaan itu, Konsistori harus diberi tahu mengenai hal itu, lalu memanggil kedua ayah itu dan memperingatkan mereka agar melakukan kewajibannya. Dalam hal itu kedua orang muda itu bebas menikah tidak atas wewenang ayah-ayah mereka.

84. cara yang sama harus dipakai dalam jhal anak-anak asuh dibawah umur, yang masih beradadi bawah kuasa pengampu atau wali. Namun, ibu atau pengampu itu tidsk boleh mengawinkan anak laki-laki atau perempuan yang menjadi tanggungan mereka tanpa memanggil salah seorang dari orangtuanya, kalau ada.

85. Jika dua orang muda ternyata menikah dari kemauan mereka sendiri karena ketololan atau kurang pikir, mereka harus dihardik dan dihukum, dan perkawinan yang demikian harus dibubarkan kalau demikianlah permintaan mereka yang bertanggung jawab atas mereka.

86. Jika ternyata telah terjadi tipu muslihat, atau jika seseorang, laki-laki atau perempuan, telah mendorong orang melakukan tipu muslihat, mereka harus dihukum penjara tiga hari dengan makanan roti dan air putih saja, dan mereka harus di hadapan pengadilan meminta maaf kepada orang- orang yang bersangkutan.

87. Para saksi yang kedapatan telah membantu mengadakan perkawinan yang demikian harus juga dihukum penjara satu hari dengan makanan roti dan air putih saja.

88. Tidak seorang pun boleh memberi janji gelap, apakah bersyarat atau dengan cara lain, antara dua orang muda yang belum pernah kawin, tetapi harus ada paling tidak dua orang saksi. Kalau tidak, seluruh perbuatan itu tidak berlaku.

89. Bilamana anak-anak itu menikah dengan tidak seizin ayah atau ibu mereka, pada usia yang diatas ini dinyatakan sudah memperbolehkannya, sedangkan pengadilan mengetahui bahwa mereka telah berbuat demikian dengan cara yang sah, karena kelalaian atau sikap keras yang keterlaluan pada pihak ayah mereka, maka ayah-ayah itu harus dipaksa memberi mereka maskawin, atau memperlakukan mereka seakan-akan mereka menyetujuinya, atas perintah dan dengan sepengetahuan Dewan Inti, setelah Dewan itu mendengar pendapat dan laporan orang tua itu, dan mempertimbangkan keadaan dan kedudukan orang-orang bersangkutan serta hartanya.

90. Tidak seorang ayah pun boleh memaksa anak-anaknya untuk mengikat perkawinan yang dikehendakinya, kecuali dengan kemauan dan persetujuan mereka. Sebaliknya, anak laki-laki atau perempuan yang sama sekali tidak mau menerima jodoh yang hendak diberikan kepadanya oleh ayahnya, dapat menyatakan tidak menerimanya, meski dengan tetap bersikap sopan dan horMat Ayahnya tidak boleh menghukum dia dengan cara apa pun karena penolakan tersebut. Cara yang sama akan dipakai dalam hal mereka yang berada di bawah perwalian.

91. Ayah-ayah atau pengampu-pengampu tidak boleh mengawinkan anak-anak mereka, atau anak-anak yang menjadi tanggungannya, sebelum mereka ini mencapai usia yang memungkinkan mereka menguatkannya. Meskipun demikian, kalau seorang anak, setelah tidak mau menikah menurut kehendak ayahnya, memilih perkawinan yang tidak membawa manfaat atau keuntungan baginya, maka lantaran perbuatan membangkang dan menghina itu ayahnya tidak diharuskan memberi dia apa-apa selama hidupnya.

[Menysullah sejumlah pasal(92-135) berisi hukum perkawinan yang berlaku di kota Jenewa dan gerejanya. Perinciannya: 92-94 orang yang dapat kawin tanpa seizin orang tua; 95-96: alasan-alasan yang memungkinkan pengingkaran janji perkawinan; 97: janji perkawinan tidak boleh bersyarat; 98-102: jangka waktu antara janji perkawinan dan pelaksanaan perkawinan; 103-104: pengumuman perkawinan; 105-106: upacara perkawinan;107: orang yang kawin wajib tinggal serumah; 108-119: derajat pertalian darah yang menjadi rintangan rintangan bagi perkawinan;120-121: alasan-alasan pembubaran ikatan perkawinan; 122-133: alasan- alasan perceraian, dengan pemberian hak yang sama kepada pihak istri; 134-135: mengenai pembagian harta dalam hal perceraian.]

93. Semua janji akan menikah harus diberikan dengan jujur dan takwa, bukan dalam suasana mesum dan kurang bersungguh-sungguh (misalnya, dengan hanya mengangkat gelas untuk minum bersama), tanpa mencapai lebih dulu kesepakatan yang berdasarkan pertimbangan yang matang. Hendaklah mereka yang berbuat lain dihardik. Akan tetapi, atas permintaan salah satu pihak, yang menyatakan hal itu dilakukannya pada saat kurang berhati-hati, perkawinan itu dapat dibubarkan.

96. Bila maskawin, apakah berupa uang atau pakaian, tidak jadi dibayar, hal itu tidak akan mencegah perkawinan berlaku sepenuhnya, sebab hal itu hanya merupakan embel-embelnya.

104. Selama masa pertunangan kedua belah pihak tidak boleh hidup bersama-sama sebagai suami-istri, sampai saat perkawinan diberkati di dalam gereja, dengan cara Kristen. Bila ada kedapatan bertindak bertentangan dengan peraturan itu, mereka harus dihukum penjara tiga hari dengan makanan roti dan air putih saja, dan dipanggil menghadap Konsistori agar mereka ditegur gara- gara kesalahannya.

105. Seharusnya kedua belah pihak, pada waktu mereka harus dinikahkan, datang ke gereja dengan sederhana, tanpa genderang atau pemain biola, dalam suasana tertib dan khidmat yang patut bagi orang Kristen. Hendaklah mereka datang sebelum lonceng habis berbunyi, agar pemberkatan perkawinan berlangsung sebelum khotbah. Jika mereka lalai, dan datang terlambat, mereka harus disuruh pulang.

107. Suami harus hidup bersama dengan istrinya, dan mereka harus tinggal serumah, serta merupakan satu rumah tangga. Dan bila salah satu pihak meninggalkan yang lain untuk hidup tersendiri, mereka harus dipanggil untuk memperingatkan mereka tentang perbuatan itu, dan mereka harus dipaksa kembali hidup bersama.

122. Bila seorang suami menuding istrinya telah berbuat zina, dan membuktikannya melalui kesaksian-kesaksian, atau indikasi yang memadai, dan meminta diceraikan darinya, hal itu harus diizinkan kepadanya. Dengan demikian ia akan mempunyai kuasa untuk menikah sekehendaknya. Meskipun demikian, orang dapat menasihati dia agar mengampuni istrinya, tetapi tanpa mendesak dia, sehingga ia dipaksa bertentangan dengan kehendaknya.

123. Pada zaman dahulu kala, dalam hal perceraian, hak istri tidak sama dengan hak suami. Namun, bila seorang laki-laki terbukti melakukan zina dan istrinya minta diceraikan darinya, hal itu harus diizinkan kepadanya, kalau tidak mungkin mendamaikan mereka melalui nasihat baik. sebab, menurut kesaksian Rasul, dalam hal tidur bersama sepasang suami-istri mempunyai kewajiban yang sama yang seorang terhadap yang lain; dalam hal itu istri tidak tunduk kepada suami lebih daripada suami kepada istri. meskipun demikian, bila perzinaan istri terang- terangan terjadi karena kasalahan suami, atau suami karena kesalahan istri, begitu rupa sehingga keduanya bersalah, atau bila ternyata telah terjadi penipuan dengan maksud hendak memperoleh perceraian, mereka tidak diperbolehkan minta cerai.

124. Bila seorang laki-laki telah pergi mengadakan perjalanan dengan maksud berdagang atau karena hal lain, sementara ia bukan orang bejat dan tidak terasing dari istrinya, serta lama sekali tidak pulang, sedangkan orang tidak tahu-menahu tentang nasibnya, sehingga dengan sewajarnya orang menduga ia telah meninggal, tidak juga diperbolehkan kepada istrinya menikah lagi sebelum sepuluh tahun berlalu sejak hari keberangkatannya, kecuali kalau ada kasaksian-kasaksian yang pasti mengenai kematiannya; setelah mendengar kesaksian itu orang dapat memberi dia izin. Lagi pula, pemberian izin yang diberikan sesudah sepuluh tahun itu pun ada batasnya: bila orang menduga, apakah karena menerima kabar, atau karena adanya petunjuk-petunjuk, bahwa orang itu dalam penjara, atau terhalang karena kesusahan lain, istri itu harus tetap menjanda.

135. Semua perkara berkenaan dengan pernikahan yang menyangkut orangnya, bukan harta milik, di tingkatan pertama perlu ditangani dalam Konsistori. Jika di sana dapat dicapai kesepakatan dengan cara baik-baik, haruslah orang melakukannya, atas nama Allah. Jika perlu menjatuhkan yuridis apa pun, kedua belah pihak harus disuruh menghadap Dewan Kota, dengan disertai pernyataan pendapat pihak Konsistori, supaya Dewan itu mengucapkan putusan yang definitif.

Hal Pemakaman

136. Orang mati harus dimakamkan secara terhormat di tempat yang ditentukan untuk itu. Hal iring-iringan dan rombongan diserahkan pada kehendak orang yang bersangkutan.

137. Tambahan lagi, kami telah menganggap baik dan menentukan, para pengangkut jenazah harus bersumpah di hadapan Pemerintah kota akan mencegah terjadinya perbuatan takhayul yang bertentangan dengan Firman Allah, tidak mengangkut seorang pun pada jam yang tidak pantas, dan melaporkan kasus kematian mendadak, untuk menghindari semua akibat yang mengganggu.

138. Begitu pula, agar mereka tidak mengangkut jenazah untuk dimakamkan sebelum berlalu dua belas jam dan tidak juga sesudah lebih daripada dua puluh empat jam; lagi pula, jenazah perlu dilihat lebih dulu oleh petugasnya, yang harus bersumpah di hadapan Pemerintah kota.

Kunjungan kepada orang sakit

139. Banyak orang lalai mencari hiburan dalam Allah, oleh Firman-Nya, bila mereka memerlukannya karena mereka sedang sakit, dengan akibat ada yang meninggal tanpa menerima peringatan atau pengajaran, yang pada saat itu lebih diperlukan manusia demi keselamatannya daripada saat lain apa pun. Maka itu, kami telah menganggap baik dan menentukan bahwa tidak seorang pun boleh berbaring di tempat tidurnya selama tiga hari penuh tanpa memberitahukan hal itu kepada Pelayan. Dalam pada itu, tiap-tiap orang harus memperhatikan agar Pelayan itu, kalau mereka ingin melihat dia, dipanggil pada waktu yang tepat, agar Pelayan tidak diganggu ketika menjalankan tugas untuk umum di dalam Gereja. Dan supaya orang tidak dapat berdalih, kami telah memutuskan agar ketentuan tersebut diumumkan, dan terutama agar dikeluarkan perintah supaya kaum orangtua, sahabat, dan perawat tidak menunggu sampai orangnya sudah hampir menghembuskan nafas terakhir, sebab bila orang sudah sekarat kata-kata hiburan biasanya tidak bermanfaat lagi.

Kunjungan kepada orang di penjara

140. Lagi pula, kami telah menentukan satu hari tiap-tiap minggu untuk menyampaikan teguran kepada para tahanan, untuk memperingatkan dan menasihati mereka. Hendaklah salah seorang anggota Dewan Kota diutus untuk menghadiri acara itu, agar tidak terjadi penipuan. Dan jika ada yang sedang dalam pasungan, yang tidak mau dikeluarkan, maka bila Dewan berkenan dapat diberikannya izin masuk kepada seorang Pelayan untuk menghibur dia, dengan dihadiri seperti di atas. Sebab, kalau orang menunggu sampai mereka digiring ke tempat eksekusi, biasanya pikiran mereka terganggu karena rasa ngeri, sehingga mereka tidak sanggup menerima atau mendengar apa-apa. Hari yang ditentukan untuk itu ialah hari Sabtu sesudah makan siang.

Tata tertib yang perlu dipegang berkenaan dengan anak-anak kecil

141. Pada hari Minggu siang, semua warga dan penduduk kota harus membawa atau mengirim anak-anak mereka ke pelajaran katekisasi tersebut di atas, agar mereka diajar menurut buku contoh yang disusun untuk tujuan itu. Anak-anak itu, di samping mendapat pelajaran harus ditanyai juga mengenai apa yang telah dikatakan, agar jelas apakah mereka benar-benar memahami dan mengingatnya.

142. Setelah seorang anak mendapat pelajaran secukupnya, sehingga ia tidak memerlukan katekisasi lagi, ia harus mengikrarkan isi pokoknya dalam acara resmi, dan juga dengan salah satu cara mengaku sebagai seorang Kristen di hadapan Gereja. Untuk itu disisihkan keempat hari Minggu menjelang perayaan Perjamuan.

143. Tidak seorang anak pun boleh diizinkan menerima Perjamuan sebelum melakukan hal itu. Orangtua harus diperingatkan jangan membawa dia sebelum waktu itu. Sebab, sangat berbahayalah, baik bagi anak-anak itu maupun bagi ayahnya, bila mereka dibuat menyusup masuk tanpa menerima pengajaran yang sungguh-sungguh dan memadai. Untuk mengetahui apakah itu ada, perlu orang memakai tata tertib tersebut.

144. Supaya tidak ada yang kurang, hendaklah ditentukan bahwa anak-anak yang datang ke sekolah harus berkumpul di sana menjelang siang hari, dan bahwa para guru harus membawa mereka secara tertib dalam jemaat masing-masing.

145. Adapun anak-anak lain harus dikirim ayah mereka atau diantar orang. Dan supaya tidak terjadi kekacauan, batas-batas jemaat-jemaat di kota ini perlu diperhatikan sedapat mungkin, sama seperti telah dikatakan di atas ini berkenaan dengan sakramen-sakramen.

146. Orang yang melanggar aturan ini akan dipanggil menghadap kumpulan para Penatua atau petugas. Dan jika mereka tidak mau menuruti nasihatnya, hal itu harus dilaporkan kepada Pemerintah kota.

147. Agar mereka melihat siapa yang melakukan kewajibannya dan siapa tidak, para petugas tersebut di atas harus melakukan pengawasan dengan memperhatikannya baik-baik.

Tertib yang perlu dipegang berkenaan dengan orang dewasa, agar Gereja tetap diatur dengan baik

148. Oleh karena dalam keadaan kacau yang berlaku pada masa Paus masih berkuasa, banyak orang tidak mendapat pelajaran pada masa mudanya, sehingga pada umur dewasa, mereka, baik orang laki-laki maupun perempuan tidak tahu apa-apa mengenai agama Kristen, maka kami telah menentukan agar tiap-tiap tahun orang dikunjungi di rumahnya dan dibuat menempuh ujian sederhana mengenai imannya, agar paling tidak orang jangan datang pada Perjamuan tanpa mengenal apa dasar keselamatan mereka. Terutama orang harus memperhatikan para pembantu rumah tangga, babu, inang penyusu, dan orang asing, yang datang dari tempat lain untuk menetap di sini, agar tidaka ada yang diperbolehkan turut merayakan Perjamuan sebelum diterima secara resmi.

149. Kunjungan tersebut di atas harus dilakukan menjelang perayaan Perjamuan pada Hari Raya Paskah. Hendaklah orang melonggarkan waktu cukup banyak untuk itu, agar mereka dapat menyelesaikannya dengan leluasa.

150. Hendaklah para Pelayan membagi-bagi sekehendak mereka wilayah-wilayah kota yang dapat mereka layani, dengan memakai tatanan RT. Hendaklah juga mereka masing-masing membawa serta seorang Penatua anggota Konsistori, agar mereka dapat berunding bersama apakah mereka yang ternyata sama sekali tidak tahu apa- apa atau yang berkelakuan buruk hendak diserahkan kepada Konsistori. Kepala RT juga wajib menyertai mereka dan menjadi petunjuk jalan bagi mereka, supaya tidak seorang pun luput dari ujian.

151. Hendaklah para petugas tersebut di atas berkumpul sekali tiap minggu bersama para Pelayan, yakni pada hari Kamis, dengan maksud melihat apakah ada ketidaktertiban dalam gereja, dan membahas cara-cara membenahinya bila perlu dan sesuai dengan kebutuhan.

152. Oleh karena mereka sama sekali tidak berwenang dan berkuasa hukum untuk memaksa orang, maka kami menganggap baik seorang petugas kami di suruh menyertai mereka, untuk memanggil mereka yang hendak mereka beri peringatan.

153. Bila seseorang menganggap remeh mereka dan tidak mau menghadap, mereka wajib memberitahukan hal itu kepada Dewan, agar Dewan itu membenahinya.

Menyusullah orang-orang yang harus diperingatkan oleh Penatua atau petugas, dan prosedur yang perlu diikuti

154. Bila ada orang yang membawakan ajaran yang bertentangan dengan ajaran yang diterima, ia harus dipanggil untuk membicarakan perkara itu dengan dia. Jika ia menyatakan setuju, ia harus diterima tanpa kehebohan atau fitnah. Jika ia keras kepala, hendaklah orang memperingatkan dia beberapa kali, sampai ternyata diperlukan tindakan lebih keras, lalu ia harus dilarang turut merayakan Perjamuan, dan ia harus diadukan kepada pengadilan.

155. Bila seseorang lalai datang ke perkumpulan Gereja, sehingga kelihatan ia benar-benar menganggap remeh persekutuan orang percaya, atau bila seseorang ternyata menghina tata tertib Gerejawi, orang itu harus diperingatkan. Jika ia patuh, ia harus diterima baik-baik. Tetapi, jika ia bersikeras, sehingga kelakuannya semakin parah, maka setelah diperingatkan tiga kali ia harus dikucilkan dari Gereja dan diadukan ke Pemerintah kota.

156. Berkenaan dengan tingkah laku tiap-tiap orang, untuk membenahi kesalahan yang ada, orang harus mengikuti prosedur yang telah diperintahkan oleh Tuhan kita.

157. Yaitu, mengenai perbuatan jahat yang tersembunyi mereka harus diperingatkan diam-diam. Tidak seorang pun boleh mengadukan sesamanya ke Gereja dan menuduh dia telah melakukan kesalahan yang tidak terbuka dan tidak menimbulkan kehebohan, kecuali setelah mendapatkan orang itu membangkang. Selain itu, mereka yang menganggap enteng nasihat yang diberikan sesamanya di bawah empat mata, haruslah diperingatkan sekali lagi oleh Gereja. Dan jika mereka sama sekali tidak mau mengerti, dan tidak bersedia mengakui kesalahannya yang telah dijelaskan kepada mereka, hendaklah mereka diberi tahu harus menjauhi Perjamuan, hingga mereka kembali bersikap lebih baik.

158. Adapun kejahatan terbuka dan diketahui umum, yang oleh Gereja tidak dapat ditutupi, kalau perbuatannya hanya layak diganjar peringatan maka tugas Penatua yang bertugas ialah memanggil mereka yang bersalah dan menasihati mereka baik- baik, agar mereka membenahi diri. Jika orang melihat adanya perbaikan, hendaklah mereka tidak diganggu lagi. Sebaliknya, jika mereka bersikeras berbuat jahat, mereka harus diperingatkan sekali lagi. Dan kalau akhirnya hal itu tidak membawa manfaat, hendaklah mereka dianggap sebagai pencemooh Allah, dan diberi tahu harus menjauhi Perjamuan hingga dalam diri mereka kelihatan perubahan peri kehidupan.

159. Adapun kejahatan yang tidak hanya layak diganjar nasihat berupa kata-kata, tetapi juga perlu diganjar dengan hukuman, kalau seseorang sampai melakukannya maka sesuai dengan kebutuhan dalam perkara itu ia harus diberi tahu harus selama beberapa waktu menjauhi Perjamuan, untuk merendahkan diri di hadapan Allah dan lebih menyadari kesalahannya.

Peraturan dan ketentuan yang diputuskan dalam Dewan Besar pada tanggal 12 November 1557 berkenaan dengan mereka yang menganggap tidak penting menerima Perjamuan

160. Ternyata selama ini beberapa orang atas kemauan sendiri telah menjauhi Perjamuan Kudus. Mereka telah diperingatkan agar siap mendatanginya, tetapi mereka tidak menghiraukan peringatan itu. Ternyata juga orang-orang lain, yang telah kena larangan merayakannya, tidak menerimanya sepanjang waktu yang lama, apakah karena lalai atau karena memandangnya remeh, sehingga tindakan pembetulan yang telah dikenakan kepada mereka sesuai dengan Firman allah dan peraturan- peraturan kami berbalik menjadi permainan belaka sekiranya hal itu tidak dibenahi. Maka itu, kami menghendaki dan memutuskan agar prosedur yang tercantum di sini dipertahankan tanpa pelanggaran apa pun. Yaitu, bila seseorang kelihatan menjauhi komuni kudus orang percaya, hendaklah Konsistori memanggil dia kalau perlu, sesuai dengan jabatannya, dan dengan kebiasaan yang berlaku selama ini. Bila hal itu telah terjadi lantaran yang bersangkutan bermusuhan dngan orang lain, hendaklah orang menasihati dia berdamai dengan pihak lawannya; atau bila ada halangan lain, hendaklah orang membenahi hal itu dengancara yang wajar. Jika ternyata ia tidak bersedia untuk segera menerima nasihat yang diberikan kepadanya maka hendaklah ia diberi waktu tertentu untuk memikirkan keadaannya lebih sungguh-sungguh. Akan tetapi, jika ia tetap bersikeras, sehingga di atas waktu yang telah berlalu ia setengah tahun lagi tidak mendatangi Perjamuan, ia harus disuruh menghadap Yang Mulia (kecuali kalau ia meminta maaf atas kesalahannya dan sipa memperbaiki) dan dibuang dari kota selama satu tahun, sebab ia tidak mau diperbaiki. Dan sekalipun ia mengaku telah bersalah karena menolak nasihat-nasihat Konsistori, ia harus mendapat hukuman yang ditentukan oleh Yang Mulia, dan disuruh pergi, untuk memulihkan kehebohan yang telah disebabkannya sebab memberontak secara terbuka.

161. Begitu pula, bila seseorang diperingatkan dengan cara tersebut di atas, dan berjanji akan menerima Perjamuan, namun tidak melakukannya sama sekali, ia harus sipanggil agar ditegur karena telah bersikap munafik dan mampu. Dan jika untuk kedua kalinya ia terbukti memperdaya dan mengecewakan Konsistori, maka hendaklah ia menerima hukuman yang sama seperti di atas.

162. Bila seorang dilarang ikut merayakan Perjamuan hanya satu kali saja, karena salah satu perbuatannya yang menghebohkan, lalu karena sakit hati atau karena alasan lain tidak mendatangi Perjamuan lebih lama, dan tidak mau tunduk bila dipanggil menghadap Konsistori, maka hendaklah orang berbuat seperti di atas.

163. Bila seseorang dikucilkan dari komuni kudus, sebab memberontak, atau karena berkanjang dalam kesalahannya, atau karena dianggap tidak layak menerima komuni kudus itu, dan tidak merendahkan diri, malah kelihatan menghina tata tertib Gereja, dan tidak datang dengan sukarela mengakui kesalahannya di hadapan Konsistori, sehingga ia menjauhi Perjamuan selama enam bulan, hendaklah ia dipanggil menghadap dan diberi nasihat agar tunduk. Jika ia bersikeras sampai akhir tahun, tanpa membenahi diri karena nasihat-nasihat yang ditujukan kepadanya, ia juga harus dibuang selama satu tahun karena tidak mau diperbaiki, kecuali jika ia menghindari hukuman itu dengan cara meminta maaf kepada Yang Mulia dan mengakui kesalahannya di hadapan Konsistori dengan maksud supaya ia diterima pada komuni.

164. Bila seseorang bersikeras atau membangkang, sehingga ia memaksa ikut dalam Perjamuan bertentangan dengan larangannya, Pelayan bertugas menyuruh dia pergi, sebab ia tidak boleh menerimanya agar ikut dalam komuni. Namun, hendaklah dalam semua itu orang bertindak hati-hati, dan tidak memakai kekerasan yang menyakiti hati. Juga, hendaklah hukumannya hanya sebagai obat yang bermaksud hendak membawa orang berdosa kembali kepada Tuhan kita.

165. Juga, hendaklah semua itu berlangsung begitu rupa, sehingga para pelayan tidak memiliki wewenang sipil apa pun dan Konsistori itu sama sekali tidak mengurangi wewenang Pemerintah kota dan peradilan biasa, tetapi kuasa sipil tetap utuh. Pun manakala perlu menjatuhkan sesuatu hukuman atau melakukan paksaan terhadap yang bersangkutan, para Pelayan bersama Konsistori, setelah mendengarkan yang bersangkutan dan memberi peringatan serta nasihat yang tepat, harus melaporkan kesemuanya kepada Dewan, yang setelah menerima laporan mereka akan membicarakan persoalannya dengan maksud mengambil keputusan dan menjatuhkan hukuman sesuai dengan kebutuhan dalam perkara itu.

166. aturan ini harus berlaku bukan hanya di kota, melainkan juga di desa-desa yang tunduk pada Pemerintah kota.

Peraturan-peraturan yang telah diterima dalam Dewan Dua Ratus pada hari Jumat 9 Februari 1560, sebagai penjelasan pasal-pasal yang terdahulu, berkenaan dengan pemilihan Penatua dan dengan pengucilan dari Gereja.

167. Kami, Walikota-walikota, Dewan Kecil dan Dewan Besar Dua Ratus kota Jenewa, dengan ini memberitahukan kepada semua orang bahwa beberapa kebiasaan buruk telah menyusup masuk yang cenderung merusak ketetapan- ketetapan berhubung dengan Gereja yang dulu diterima dalam Dewan Am kami. Hal itu memang telah ditunjukkan kepada kami oleh para Pelayan Firman yang mutabir dalam Gereja kita. Maka itu, mereka telah mengajukan permohonan kepada kami sambil meminta agar kami membenahinya, supaya keadaan baik yang telah mulai berlaku di tengah-tengah kita bukannya merosot lagi, melainkan semaikn maju. Kami pun ingin supaya di tengah- tengah kita terdapat ketertiban baik, dan dengan alasan itu bermaksud hendak berupaya agar apa yang dinyatakan kepada kita oleh Firman Allah dipelihara secara utuh. Juga, kami mengetahui bahwa ketentuan- ketentuan yang telah ditetapkan sebelum ini sesuai dengan Kitab Suci, sehingga menyimpang darinya merupakan kesalahan. Maka untuk membenahi keadaan orang baik itu, dan agar apa yang telah diurus dengan baik jangan sekali-kali diubah-ubah atau dilanggar, dan tidak juga merosot di masa depan, kami telah menganggap baik dan memutuskan untuk mengeluarkan pernyataan yang berikut berhubung dengan hal- hal yang diajukan kepada kepada kami.

168. Pertama, bertentangan dengan ketetapan-ketetapan Dewan Am kami, orang telah memasukkan kebiasaan bahwa rapat Konsistori diketuai salah seorang di antara keempat Walikota, dengan memakai tongkatnya (yang lebih banyak melambangkan kuasa sipil ketimbang pemerintahan rohani). Maka untuk mempertahankan dengan lebih ketat perbedaan yang ditunjukkan kepada kita dalam Kitab Suci, yaitu antara pedang dan wewenang Pemerintah di satu pihak, dan bentuk kuasa yang seharusnya berlaku di dalam Gereja untuk membuat semua orang Kristen mematuhi Allah dan sungguh-sungguh mengabdi kepada-Nya serta untuk mencegah atau membenahi perbuatan yang menghebohkan di pihak lain, kami sekali lagi memutuskan dan menetapkan agar orang berpegang pada isi peraturannya. Artinya, hendaklah orang hanya memilih dua orang dari Dewan Dua Puluh Lima, dan bila yang seorang memegang jabatan Walikota maka ia hanya boleh hadir selaku Penatua, dengan maksud mengurus pemerintahan Gereja, tanpa membawa tongkatnya. Benar, pemerintahan dan kuasa tertinggi yang telah dianugerahkan Allah kepada kami di satu pihak, dan pemerintahan rohani yang telah ditetapkan-Nya di dalam Gereja- Nya di pihak lain merupakan dua hal yang bergabung dan tak terpisahkan. Namun, keduanya sama sekali tidak tercampur, dan Dia yang memegang kuasa pemerintahan yang tertinggi dan yang seharusnya menjadi tempat kita patuhi, telah membedakan yang satu dengan yang lain. Oleh karena itu, kami menyatakan kehendak kami agar orang mengikuti ketentuan baik yang sudah ada, tanpa menambahkan hal-hal yang datang sesudahnya karena suasana telah rusak.

169. Kedua, sebagaimana diketahui telah diktakan bahwa, bila orang memilih Penatua anggota Konsistori, para Pelayan Firman Allah perlu dipanggil agar urusannya dirundingkan dengan mereka. Akan tetapi, orang telah merampas hak itu dengan maksud jahat, sehingga mereka disisihkan. Gara-gara itu, beberapa kali orang telah memilih tokoh-tokoh yang tidak layak menerima jabatan itu, dengan akibat wibawa Konsistori berkurang karenanya. Sebaliknya, kami pun menyadari bahwa isi peraturan itu memang berdasarkan alasan yang wajar, dan sesuai dengan aturan Firman Allah, sebab pantaslah dalam Gereja para Gembala didengar dalam urusan-urusan yang menyangkut pemerintahan dan ketertibannya, sedangkan kedudukan serta pelayanan mereka dirugikan jika tokoh-tokoh yang bersama mereka harus menjaga dan berupaya agar orang memuliakan Allah dan mengabdi kepada-Nya itu dipilih tanpa sepengetahuan mereka dan tanpa pemberitahuan. Maka itu, kami telah menetapkan bahwa untuk seterusnya para Pelayan tersebut harus dipanggil agar dimintapendapat dan nasihatnya mengenai tokoh-tokoh yang sebaiknya dipilih; juga, agar orang berpegang pada peraturan yang telah disusun dengan teliti dari semula.

170. Ketiga, dalam peraturan dikatakan secara umum agar yang diangkat menjadi Penatua ialah empat anggota Dewan Enam Puluh dan enam anggota Dewan Dua Ratus, tanpa merincikan tingkat kewargaan mereka, apakah warga berhak penuh atau penduduk kota. Akan tetapi, disebabkan nafsu berkuasa atau karena salah satu alasan lain orang membatasi hak dipilih sehingga hanya para warga kota yang berhak. Kami telah mendengarkan pernyataan protes yang diajukan kepada kami, dan juga alasan yang dikemukakan, yaitu bahwa hak-hak istimewa dan pangkat yang seharusnya menjadi milik khusus para warga kota tidak sepatutnya berlaku dalam lingkungan Gereja, yang bersifat rohani, dan bahwa orang diharapkan memilih yang terbaik dari seluruh uMat Maka itu, kami telah menetapkan berkenaan dengan pasal itu, agar untuk seterusnya orang tidak memandang para warga berhak penuh lebih tinggi daripada penduduk kota, tetapi berpegang saja pada ketetapan yang lama.

171. Akhirnya, Firman Allah mengajarkan kepada kita bahwa orang yang keras kepala, sehingga tidak mematuhi anjuran dari pihak Gereja agar mereka membenahi diri, akan dianggap sebagai orang yang tidak mengenal Allah. Rasul Paulus pun melarang mengunjungi mereka; ia ingin supaya mereka ditundukkan oleh rasa malu, agar mereka bersikap rendah hati dan bertobat. Akan tetapi, hal itu tidak mungkin kecuali kalau mereka dinyatakan keras kepala dan tidak dapat diperbaiki lagi. Lagi pula, peristiwa-peristiwa menghebohkan yang mengacau Gereja perlu dibenahi. Memang, sebelum ini kami telah menyusun peraturan- peraturan yang kami nilai paling cocok untuk pembangunan Gereja, yang mendapat pula penghargaan dan pujian dari pihak para Pelayan yang mutabir. Meskipun demikian, dengan maksud agar kita dekat lagi dengan aturan yang sejati, yaitu Firman Allah, dan agar kita menyesuaikan diri dengannya sedapat mungkin, kami telah menetapkan agar untuk seterusnya mereka yang dikucilkan oleh Konsistori dan yang tidak tunduk setelah diperingatkan dengan sepatutnya, tetapi tetap membangkang, dinyatakan dalam gereja-gereja telah dikucilkan dari kawanan domba, sampai saat mereka datang mengakui kesalahannya dan berdamai kembali dengan seluruh Gereja.

172. Selanjutnya, orang yang demi menyelamatkan nyawanya telah mengingkari imannya dan menanggalkan iman murni yang dari Injil, atau yang lebih dulu menerima Perjamuan Kudus di sini, lalu kembali ke kepausan yang menjijikkan, harus datang ke gereja tempat mereka disuruh mengaku bersalah secara terbuka, untuk mengakui kesalahannya dan meminta ampun kepada Allah dan Gereja-Nya. Hal itu kami nilai baik dan perlu, baik untuk memberi kepuasan dan contoh baik kepada seluruh umat orang percaya maupun sebagai tanda bukti bahwa penyesalan mereka sungguh-sungguh dan ikhlas, akhirnya juga mereka didamaikan kembali dengan Gereja yang telah mereka tinggalkan gara-gara kejatuhan mereka.

Kepatuhan pada aturan ini

173. Demi pemeliharaan dan penegakan tata tertib dan aturan ini di dalam Gereja Tuhan kita Yesus Kristus, kami telah menetapkan bahwa tiga tahun sekali, pada hari Minggu pertama bulan Juni, orang harus membacakannya secara resmi, di depan seluruh rakyat yang terkumpul dalam gereja St. Pierre. Dan tiap-tiap orang, dengan tangan terangkat, harus bersumpah kepada Allah, dengan dihadiri para walikota, akan mematuhi dan memegangnya, tanpa membantah atau melanggarnya. Tidak juga orang menambahkan atau mengurangkan sesuatu apa pun kecuali setelah usul lebih dulu kepada Dewan Inti kami, dan sesudah itu kepada Dewan Dua Ratus, sesuai dengan ketetapan dalam peraturan- peraturan kami yang lain.

Tata Gereja Belanda (Emden, 1571)

Di negeri Belanda (pada abad ke-16 yang disebut dengan nama itu ialah wilayah Belanda dan Belgia sekarang), Gereja-gereja Calvinis mulai berkembang sejak tahun 1550-an. Mulai tahun 1561 diadakan beberapa rapat antar-jemaat. Tetapi, disebabkan represi dari pihak pemerintah, rapat itu bersifat rahasia; tidak tersimpan catatan tertulis tentang pembicaraan yang diadakan di dalamnya. Pada tahun 1567 sebagian penganut Reformasi terpaksa meninggalkan negeri Belanda. Mereka mendirikan jemaat-jemaat di negara-negara tetangga, khususnya di Inggris dan Jerman. Pada tahun 1568, sejumlah utusan jemaat-jemaat itu berkumpul di kota Wesel, di Jerman Baratlaut, dekat dengan perbatasan Belanda. Sidang di Wesel itu menetapkan sejumlah peraturan di bidang pemerintahan gereja, dengan mengikuti pola Tata Gereja Jenewa. Salah satu ciri khas peraturan itu ialah penetapan suatu badan baru antara majelis jemaat dan sinode, yaitu klasis.

Tiga tahun kemudian, para utusan jemaat-jemaat yang hidup berserak berkumpul lagi di kota Emden, di Jerman Utara. Emden itu ibukota daerah Ost-Friesland (Frisia Timur), salah satu daerah otonom dalam kekaisaran Jerman, yang berbatasan dengan Negeri Belanda bagian utara. Di Ost-Friesland aliran Calvinisme dominan; karena itu rajanya bersedia menampung para pengungsi Protestan dari negeri Belanda dan membiarkan sinode mereka berkumpul di wilayahnya. Dalam kumpulan itu, yang dianggap sebagai Sinode (Nasional) pertama Gereja Belanda, soal tata gereja kembali mendapat perhatian besar. Sekarang yang dijadikan sebagai contoh ialah Tata gereja Perancis. Artinya, dalam peraturan-peraturan yang ditetapkan di Emden pemerintah negara tidak diberi peranan. Sebaliknya, di Emden, peranan klasis diteguhkan, dan dimantapkan dengan adanya peraturan khusus untuk rapat-rapat klasis.

Peraturan mengenai kehidupan gereja yang ditetapkan di Emden bukan tata gereja dalam arti yang sebenarnya. Sinode bermaksud hendak menata kehidupan gereja dan mengambil sejumlah keputusan di bidang itu. Catatan-catatan mengenai keputusan tersebut berfungsi sebagai tata gereja. Tokoh-tokoh yang menghadiri Sinode Emden pun menyadari bahwa tata gereja itu belum sempurna (pasal 53). Sinode-sinode nasional Belanda yang berikut (Dordrecht 1578, Middelburg 1581, 's-Gravenhage 1586, Dordrecht 1618-1619) memang memperluas tata gereja tahun 1571 dan menyesuaikan isinya dengan keadaan yang berlaku sejak negeri Belanda merupakan negara merdeka yang pemerintahnya beragama Protestan (1572/1581).

Dalam naskah asli, pasal-pasal yang tercantum dalam ketiga lampiran mengenai Klasis, Sinode Wilayah dan Sinode Am memakai nomor urut tersendiri. Nomor asli itu kami cantumkan di antara tanda kurung, dengan memakai penomoran sebagaimana terdapat dalam edisi Barth-Niesel.

Notula Sinode Gereja-gereja Belanda yang hidup di bawah salib dan yang terserak-terserak di negeri jerman dan di Frisia Timur, yang diadakan di kota Emden padatanggal 4 Oktober 1571

1. Tidak satu pun Gereja, atau Pelayan, atau Penatua, atau Diaken akan memiliki keutamaan atau kuasa atas Gereja, atau Pelayan, atau Penatua, atau Diaken yang lain. Sebaliknya, mereka harus menghindarkan segala hal yang dapat menimbulkan kecurigaan dan menyediakan kesempatan untuk itu.

2. Sebagai kesaksian tentang kesepakatan Gereja-gereja Belanda dalam hal ajaran, saudara-saudara menganggap baik menandatangani pengakuan iman Gereja-gereja Belanda. Dan sebagai kesaksian tentang kesepakatan dan hubungan Gereja-gereja ini dengan Gereja-gereja di Kerajaan Perancis, mereka menganggap baik menandatangani juga pengakuan iman Gereja-gereja di Kerajaan itu, dengan penuh keyakinan bahwa para Pelayan Gereja-gereja itu pula pada gilirannya akan menandatangani pengakuan iman Gereja-gereja Belanda, sebagai kesaksian tentang kesepakatan kedua belah pihak.

3. Petrus Dathenus dan Yohannes Taffinus dipilih menjadi utusan yang bertugas menyatakan hal itu kepada para Pelayan dalam Sinode berikut di Perancis, dan memberitahukan jawabannya dalam kumpulan saudara-saudara yang berikut.

4. Para Pelayan Belanda yang tidak menghadiri kumpulan ini akan diajak juga agar bersedia memberi tanda tangan mereka. Hal yang sama diminta dari semua orang lain yang di masa depan akan dipanggil menjadi Pelayan Firman, sebelum mereka mulai melaksanakan pelayanannya.

5. Saudara-saudara berpendapat bahwa di Gereja-gereja berbahasa Perancis orang harus memakai kitab Katekismus Jenewa, sedangkan di Gereja-gereja berbahasa Belanda kitab Katekismus Heidelberg, dengan pengertian bahwa Gereja-gereja yang telah memakai kitab Katekismus yang lain, yang sesuai dengan Firman Allah, tidak boleh dipaksa mengubahnya.

6. Dalam tiap-tiap Gereja harus ada Sidang, yakni Konsistori yang terdiri dari Pelayan, Penatua, dan Diaken, yang harus diadakan paling tidak seminggu sekali, di tempat dan pada jam yang paling cocok bagi masing-masing.

7. Selain Sidang-sidang tersebut harus ada rapat-rapat klasikal beberapa Gereja yang berdekatan tiga atau enam bulan sekali, menurut kesempatan dan keperluannya.

8. Di samping itu tiap-tiap tahun akan diadakan rapat-rapat tersendiri, yaitu rapat semua Gerejayang terserak-serak di negeri Jerman dan di Frisia Timur, rapat semua Gereja di Inggris, dan rapat semua Gereja yang di bawah salib.

9. Dua tahun sekali akan diadakan pula rapat semua Gereja Belanda.

[pasal 10-12 menetapkan pembagian klasis-klasis. Jemaat-jemaat di Inggris akan didorong membentuk klasis-klasis.]

13. Para Pelayan Firman akan dipilih oleh Konsistori, setelah rapat Klasis atau dua tiga Pelayan yang tinggal dekat memberi pendapat. Setelah mereka dipilih, mereka akan diperkenalkan kepada Gerejanya, supaya mereka diterima tanpa pemungutan suara, ataupun orang mengajukan keberatan dalam jangka waktu sekitar dua minggu, jika ada sesuatu yang menyebabkan Gereja tidak mau menyetujui pemilihannya. Akan tetapi, di beberapa Gereja Pelayan biasa dipilih oleh orang banyak; jika mereka berpendapat kebiasaan itu tidak boleh diubah, hal itu dibiarkan hingga Sinode Am mengeluarkan penetapan lain.

14. Cara itu akan dipakai juga dalam pemilihan Penatua dan Diaken. Hanya saja, dalam hal itu orang tidak perlu menunggu pendapat rapat Klasis atau para Pelayan yang tinggal dekat.

15. Tiap-tiap tahun separo jumlah Penatua dan Diaken harus diganti, dan orang lain diangkat sebagai gantinya; mereka ini akan juga melayani selama dua tahun. Akan tetapi, Gereja-gereja, khususnya Gereja-gereja yang di bawah salib, akan bebas memakai jangka waktu yang lebih singkat atau lebih lama, menurut kesempatan dan kebutuhannya.

16. Para Pelayan akan diuji oleh mereka yang memilihnya. Bila ajaran dan perikehidupan mereka dianggap benar, mereka akan diteguhkan disertai doa-doa khidmat dan peletakan tangan, tetapi dengan menghindarkan takhayul dan paksaan.

17. Seorang Pelayan tidak boleh memimpin ibadah di Gereja lain dengan tidak seizin Pelayan dan Konsistori Gereja itu, atau, kalau Pelayan tidak ada, tanpa izin Konsistori.

18. Orang yang menyusup masuk dalam pelayanan pendeta dengan cara yang tidak sah di tempat yang sudah ada Pelayannya, akan dinasihati oleh Konsistori agar menghindarkan diri. Jika mereka bersikeras terus berbuat begitu, haruslah segera dikumpulkan tiga empat atau, kalau bisa, lebih banyak lagi Pelayan yang tinggal dekat, dari Klasis Gereja itu, lalu di sana ia akan dinyatakan telah menyebabkan keretakan dalam Gereja. Adapun para pendengarnya akan ditindak oleh Konsistori menurut ketentuan disiplin gereja, kalau mereka tidak menghiraukan peringatan-peringatan dan bersikeras pergi mendengarkan orang yang telah dinyatakan menyebabkan keretakan itu.

19. Soal apakah dalam pembaptisan orang diperciki air satu atau tiga kali, dianggap termasuk hal-hal yang tidak penting. Karena itu, kami membiarkan Gereja-gereja bebas mempertahankan cara yang lazim mereka pakai, hingga Sinode Am mengeluarkan ketentuan lain.

20. Hal menghadirkan saksi-saksi pada pembaptisan kami nilai termasuk hal-hal yang tidak penting. Karena itu, cara yang lazim dipakai dalam Gereja-gereja boleh dipertahankan sesuai dengan kebebasan masing-masing, hingga Sinode Am mengeluarkan ketentuan lain.

21. Bila kita diberi peluang mendirikan salah satu Gereja, pada hemat kami dalam Gereja itu seharusnya dipakai roti biasa, yang dipecah-pecahkan pada saat Perjamuan Kudus dilayankan. Sebaliknya, menerima Perjamuan Kudus sambil berjalan, duduk, atau berdiri kami nilai sama saja. Karena itu, Gereja-gereja akan memakai cara yang dianggapnya paling cocok. Hal menyanyikan mazmur atau membacakan sebagian Kitab Suci sementara Perjamuan Kudus dilayankan termasuk kebebasan Gereja-gereja, begitu pula memakai kata-kata Kristus atau Paulus ketika roti dan anggur disuguhkan. Dalam hal ini orang harus menjaga, jangan-jangan lama-kelamaan orang mengubah arti pengucapan kata-kata sehingga mereka mengira dan mengkhayalkan kata-kata itu mengerjakan konsekrasi.

22. Tidak seorang pun yang masih di bawah kuasa orangtua atau mereka yang mengambil tempat orangtua, boleh mengikat perkawinan tanpa persetujuan mereka, dan perjanjian kawin yang diberikan tanpa persetujuan mereka sama sekali tidak sah. Akan tetapi, jika ada orangtua yang dalam hal ini bersikap tidak adil dan sulit untuk diajak berbicara, sehingga mereka sama sekali menolak memberi persetujuan (hal ini kadang-kadang terjadi disebabkan kebencian terhadap agama atau karena alasan lain), Konsistori berwenang menilai apakah ada alasan yang wajar untuk merintangi penyelenggaraan pranata yang begitu suci.

23. Pertunangan yang telah diikat secara sah tidak boleh dibubarkan, bahkan tidak juga dengan persetujuan kedua belah pihak. Karena itu, sebaiknya pelaksanaan pertunangan itu dihadiri seorang Pelayan atau Penatua Gereja, untuk mendapat tahu, sebelum kedua belah pihak saling memberi janji, apakah keduanya mengenut agama yang murni dan apakah orangtua setuju; juga, jika salah satu pihak atau kedua belah pihaknya telah kawin lebih dulu, apakah kematian suami/istri yang terdahulu telah dipastikan melalui kesaksian yang sah.

24. Nama orang yang hendak dinikahkan harusa diumumkan di depan kumpulan Gereja pada tiga hari Minggu berturut-turut, ataupun tiga kali dengan diselingi jangka waktu yang wajar.

25. Kami berpendapat, disiplin gereja perlu dipertahankan di tiap-tiap jemaat. Oleh karena itu, yang termasuk tugas para Pelayan bukan hanya mengajar, menasihati, dan menghukum di depan umum, melainkan juga memperingatkan tiap-tiap orang di bawah empat mata agar menunaikan tugas kewajibannya; sendiri-sendiri; dan seharusnya para Penatua pun berupaya dalam hal ini.

26. Bila seseorang telah keliru dalam hal kemurnian ajaran, atau telah berdosa dalam hal kesucian tingkah laku, asal saja hal itu sembunyi dan tidak menimbulkan kehebohan, orang akan mematuhi aturan yang telah ditetapkan dengan tegas oleh Kristus dalam Mat18.

27. Maka itu, dosa-dosa tersembunyi, asal saja pelakunya ternyata menyesal setelah diperingatkan di bawah empat mata atau dengan dihadiri satu atau dua orang saksi, tidak perlu diadukan kepada Konsistori. Sebaliknya, dosa-dosa yang memang tersembunyi, namun membawa kerugian besar untuk Negara atau Gereja, misalnya perbuatan mengkhianati atau menyesatkan jiwa orang, harus diberitahukan kepada Pelayan, agar berdasarkan nasihatnya orang dapat mempertimbangkan apa yang perlu dilakukan dalam perkara itu.

28. Jika seseorang yang telah melakukan dosa tersembunyi tidak mendengarkan peringatan oleh dua atau tiga orang, atau jika orang melakukan dosa yang diketahui umum, hal itu perlu diadukan kepada Konsistori.

29. Dosa-dosa yang pada hakikatnya diketahui umum, atau yang diberitahukan kepada gereja sebab pelakunya tidak menghiraukan peringatan, patut didamaikan pula di depan umum, berdasarkan pendapat bukan salah seorang pribadi, melainkan Konsistori lengkap, dan dengan memakai cara serta bentuk yang dianggap paling cocok untuk pembinaan Gereja yang bersangkutan.

30. Orang yang bersikeras menolak peringatan-peringatan Konsistori harus untuk sementara waktu dilarang ikut merayakan Perjamuan. Jika ia, sesudah larangan itu dan setalah diperingatkan berkali-kali, sama sekali tidak menunjukkan tanda penyesalan, orang harus melangkah maju ke tindakan pengucilan.

31. Pelayan harus memperingatkan orang berdosa yang tegar itu di depan umum, dari atas mimbar, dengan menjelaskan dosanya dan memaparkan upaya yang telah dilakukan berupa peringatan, larangan merayakan Perjamuan, serta nasihat-nasihat yang giat diajukan kepadanya sesudah itu. Lalu Pelayan harus mendorong Gereja agar rajin mendoakan orang berdosa yang tidak mau menyesal itu, sebelum Gereja terpaksa memakai sarana terakhir, yaitu pengucilan. Peringatan yang demikian harus dilakukantiga kali. Dalam yang pertama, orang tidak usah menyebut nama orang berdosa itu, untuk menenggang perasaannya; dalam yang kedua namanya diumumkan; dalam yang ketiga Gereja harus diberi tahu bahwa ia akan dikucilkan kalau ia tidak bertobat, agar Gereja tidak usah dimintai pendapat bila ia dikucilkan karena tetap bersikeras. Lamanya sela waktu antara peringatan yang satu dengan yang lain boleh ditentukan oleh Konsistori. Jika memalui upaya itu pun yang bersangkutan tidak berhasil dibawa ke pertobatan, maka haruslah diberitahukan di depan Gereja bahwa orang berdosa yang begitu keras kepala itu dikucilkan dan dipisahkan dari umat Gereja. Pelayan harus menjelaskan dengan panjang lebar cara dan tujuan tindakan pengucilan, dan ia harus mengajak orang-orang percaya agar tidak bergaul ramah dengan orang yang telah dikucilkan itu dan tidak memelihara hubungan dengannya di luar yang perlu. Sebaliknya, mereka harus menghindari dia, terutama dengan maksud supaya yang dikucilkan itu merasa malu dan sungguh-sungguh mempertimbangkan untuk bertobat.

32. Bila orang telah melakukan dosa yang mendatangkan malu atas Gereja atau yang layak dihukum oleh kuasa Pemerintah, mereka harus juga dilarang ikut merayakan Perjamuan, kendati mereka telah menyatakan penyesalannya dengan kata-kata. Tetapi, Konsistori boleh menentukan berapa kali larangan itu berlaku.

33. Bila Pelayan, Penatua, atau Diaken telah melakukan dosa yang diketahui umum, yang mendatangkan malu atas Gereja atau layak dihukum oleh kuasa Pemerintah, maka atas wewenang Konsistori para Penatua dan Diaken harus segera diberhentikan dari jabatannya, sedangkan para Pelayan diskors saja. Yang berwenang menilai apakah mereka harus meletakkan pelayanannya ialah rapat Klasis. Jika yang bersangkutan tidak menerima putusan rapat itu, ia boleh naik banding ke Sinode se-provinsi.

34. Bila para Pelayan, Penatua, dan Diaken yang telah diberhentikan dari jabatannya, tetapi sesudah itu memberi kepuasan kepada Gereja karena menyesal, dipilih lagi, maka yang berwenang menilai apakah mereka harus diterima kembali ialah KOnsistori sejauh mengangkut Penatus dan Diaken, sedangkan dalam hal para Pelayan rapat Klasis-lah yang berwenang.

35. Para Pelayan kelahiran Belanda, yang telah menerima tugas dalam Gereja-gereja di luarnegeri, lalu dipanggil kembali oleh Gereja-gereja di Negeri Belanda sendiri, harus berupaya agar dapat mematuhi panggilan itu, dengan menyediakan jangka waktu yang wajar kepada gerejanya untuk mencari bagi dirinyaseorang Pelayan baru dari antara Pelayan-pelayan yang lain. Akan tetapi, jika Gereja-gereja asing itu tidak bersedia melepaskan mereka maka orang harus mencari lagi di Gereja-gereja lain, yang tidak dicurigai. Dalam pada itu, mereka yang belum menerima tugas di salah satu Gereja harus diajak mempertahankan kebebasannya agar dapat mematuhi panggilan.

36. Anggota-anggota Gereja yang memakai jasa seorang Pelayan pada masa Gereja masih bebas, akan diajak menyediakan nafkahnya, jika ia berkekurangan.

37. Mereka yang hidup berserak-serak lalu berkumpul di salah satu kota hendaknya menyediakan nafkah kepada beberapa mahasiswa [teologi]. Mahasiswa itu akan terikat kepadanya, dan jika mereka tidak memerlukan jasa para alumni itu dan membiarkan salah satu Gereja lain mengadakan hubungan dinas resmi dengan mereka maka mereka boleh meminta agar uang yang telah keluar itu dikembalikan, kecuali kalau mereka membiarkannya pergi untuk sementara waktu saja.

38. Telah disusun daftar nama para Pelayan yang kini tidak melayani dan orang-orang lain yang cocok untuk menyelenggarakan pelayanan Firman. Lagi pula, dari antara para Pelayan yang hadir di sini dipilih satu orang dari tiap-tiap Klasis, dengan tugas mendorong para Pelayan Klasisnya ats nama Sinode ini agar mereka rajin mengusut apakah dalam lingkungan Klasisnya ada Gereja yang tidak mempunyai seorang Pelayan, dan mengemukakan beberapa orang yang dimuat dalam daftar tersebut, agar salah seorang di antaranya dipanggil dengan kata sepakat.

[39. Disebut nama enam orang pendeta yang dipilih agar melaksanakan tugas tersebut dalam pasal 38.]

40. Bila salah satu Gereja mengalami kekurangan yang begitu besar, sehingga tidak mampu menyediakan nafkah Pelayan yang dipanggilnya, maka Klasis harus melihat lebih dulu apakah beberapa Gereja yang berdekatan dapat digabungkan. DI samping itu, para Pelayan Gereja-gereja yang terserak-serak harus diajak mendorong para anggota Gereja agar memberi bantuan. Mereka harus terutama mengajak para anggota yang tinggal di provinsi yang sama dengan Gereja itu. Dalam hal ini, seharusnya para Pelayan sendiri pun menjadi teladan bagi orang-orang lain.

41. Bila di tempat-tempat yang tertentu tidak mungkin menegakkan pelayanan Firman, para Pelayan Klasis harus melantik Penatua dan Diaken di sana, sebagai sarana pengumpulan Gereja-gereja.

42. Para Pelayan dan Penatua Klasis-klasis di bawah salib harus rajin mencari orang-orang yang condong ke agama yang murni di semua kota dan desa dalam lingkungan Klasis mereka dan yang berdekatan, serta mendorong mereka agar melaksanakan kewajiban mereka. Karena itu, mereka harus berupaya untuk mengumpulkan gereja-gereja atau paling tidak asas-asas Gereja. Agar hal itu diselenggarakandengan sebaik mungkin, hendaklah Klasis-klasis itu membagi-bagikan kota-kota dan desa-desa yang berdekatan, supaya tidak ada yang serupa berhubung dengan dengan kota-kota dan tempat-tempat lain yang berdekatan, khususnya yang terletak agk jauh dari Klasis. Orang-orang percaya yang telah dibuang atau melarikan diri dari tempat huniammua dan yang kini hidup berserak-serak harus membantu para Pelayan Klasis-klasis di bawah salib dalam hal ini, dengan cara menyebut nama orang yang diketahuinya condong ke agama di tempat itu - tetapi dengan hati-hati.

43. Berguna sekali kalau Gereja-gereja memelihara hubungan yang satu dengan yang lain dengan sering kirim-mrngirim surat untuk memberitahukan hal-hal yang dianggap berkenaan dengan pemeliharaan dan perluasan Gereja-gereja pada umumnya atau Gereja-gereja tertentu, dan khususnya menyebut nama orang-orang bidat, penyebab keretakan gereja, orang-orag upahan, petualang, dan perusak yang sejenis, agar gereja-gereja waspada terhadapnya.

44. Gereja-gereja memikul beban semakin berat disebabkan kesembronoan orang yang berpindah-pindah tempat dengan seenaknya, dan orang yang dengan berdalih bahwa mereka orang percaya yang berkebutuhan merampas derma yang sesungguhnya diperlukan dan menjadi hak kawan-kawan seiman di jemaat sendiri. Untuk mengurangi beban itu, kami menilai baik agar di tiap-tiap Gereja diumumkan, bahwa untuk seterusnya orang-orang yang berangkat dari situ ke tempat lain tidak akan mendapat tunjangan di Gereja-gereja lain selaku kawan-kawan seiman, kecuali kalau mereka memiliki surat kesaksian mengenai tingkah laku dan ajarannya pada waktu mereka masih berada dalam gereja yang telah mereka tinggalkan.

45. Akan tetapi, para Pelayan harus menanyai semua orang yang meminta surat kesaksian itu mengenai alasan keberangkatan mereka. Jika mereka mendapat kesan, orang itu berangkat karena alasan yang kurang meyakinkan, mereka harus menolak dengan tegas memberi surat tersebut. Begitu pula, janganlah hendaknya para Pelayan dan Diaken cenderung untuk mengurangi beban Gerejanya dengan mengirim saja orang-orang miskin setempat ke Gereja lain sehingga menjadi beban baginya dengan tidak seharusnya. Dan bila ada yang mereka anggap perlu diberi surat kesaksian itu, mereka harus mencatat di dalamnya nama dan nama keduanya, tempat asalnya, pekerjaannya, alasan perpindahannya, lamanya masa waktu ia berada di tengah Gerejanya, bagaimana tingkah lakunya, waktu keberangkatannya, tempat tujuannya, dan hal-hal yang sejenis.

46. Kepada yang berangkat harus diberikan sebanyak dianggap cukup untuk perjalanan sampai ke Gereja terdekat di rute mereka, tetapi jumlahnya harus dicatat dalam surat kesaksian. Begitu juga seharusnya dilakukan oleh Gereja-gereja lain di rute perjalanan mereka, masing-masing menurut kemampuannya. Setelah surat kesaksian ditunjukkan dan keabsahannya dipastikan, dan setelah juga hal-hal lain diperiksa, mereka harus memberikan sebanyak mereka anggap perlu untuk perjalanan ke Gereja berikutnya. Jumlahnya harus mereka catat pada surat kesaksian dan hari keberangkatan pun harus mereka rekam. Gereja-gereja lain juga harus berbuat demikian, hingga mereka sampai ke tempat tujuan. Di sana mereka harus memperlihatkan surat kesaksian itu, lalu suratnya harus disobek.

47. Mereka yang berangkat dari Gerejanya sesudah bulan November yang akan datang tanpa membaw surat kesaksian, atau dengan surat yang tidak disusun sesuai dengan aturan tadi, tidak akan dipandang sebagai kawan-kawan seiman, yang kepadanya, sebagaimana diajarkan Paulus, kita terutama harus berbuat baik. Akan tetapi, bila ada yang datang dari Gereja-gereja yang hidup di bawah salib, yang belum memiliki pelayanan yang teratur, mereka itu oerlu diperiksa: apakah mereka dapat berdoa dan mempertanggungjawabkan iman mereka; apa alasan keberagkatan mereka, dan hal-hal lain sebagainya. Para Diaken bebas menentukan jumlah bantuan yang hendak diberikan kepada mereka.

[48-50. Marnix van Sint Aldegonde akan diminta menyusun risalah kejadian-kejadian yang telah berlangsung dalam tahun-tahun terakhir. Para Pelayan dan anggota Gereja disuruh mengumpulkan bahan-bahan sejarah. Sejumlah orang diminta secara khusus agar melakukan penelitian demi tujuan tersebut.]

51. Tidak seorang pun boleh menyuruh atau membiarkan orang lain menyuruh mencetak atau menerbitkan dengan cara lain buku karangannya sendiri atau karangan orang lain mengenai agama, kecuali setelah buku itu diperiksa dan dibenarkan oleh para Pelayan Klasis atau oleh para Gurubesar Teologi di lembaga umum yang menganut pengakuan iman kita.

52. Dalam Gereja-gereja besar sebaiknya diadakan latihan berkhotbah di tempat tertutup, agar mereka yang memberi harapan bisa melayani Gereja di masa depan mendapat latihan beriwayat. Agar ketertiban terjaga, seorang Pelayan akan mengetuai kegiatan itu.

53. Pasal-pasal ini, yang berkenaan dengan tata tertib Gereja, ditetapkan dengan kata sepakat, dengan pengertian dapat dan harus diubah-ubah, ditambah,atau dikurangi jika hal itu diperlukan demi kepentingan Gereja-gereja. Namun, hal itu tidak boleh dilakukan oleh salah satu Gereja tersendiri. Di pihak lain, semua Gereja harus sedapat-dapatnya mematuhinya sampai Sinode menetapkan lain.

Emden, tanggal 12 Oktober 1571,
dari keempat sampai dengan yang kedua belas.

MENGENAI RAPAT-RAPAT KLASIS

54 (1). Dalam rapat-rapat Klasis salah seorang Pelayan akan berkhotbah di dalam gereja. Rekan-rekannya akan memberitahukannya. Yang lain-lain akan berbuat begitu juga, masing-masing pada gilirannya, dalam rapat-rapat Klasis yang menyusul.

55 (2). Sesudah itu akan dipilih seorang Ketua, dengan suara umum rekan-rekannya. Setelah ia mengucapkan doa, ia akan menanyai tiap-tiap orang apakah dalam Gereja-gereja mereka diadakan sidang-sidang Konsistori, apakah disiplin gereja dipertahankan, apakah ada pertikaian dengan orang bidat, apakah mereka ragu-ragu mengenai salah satu pokok ajaran, apakah orang miskin diasuh dan sekolah-sekolah dipelihara, apakah mereka membutuhkan nasihat dan bantuan rekan-rekannya dalam hal pemerintahan Gereja, dan hal-hal lain sebagainya.

56 (3). Jika dalam salah satu Gereja di Klasis itu berlangsung kejadian yang tidak mungkin diselesaikan dalam Konsistori Gereja itu, halnya akan dirundingkan dan diputuskan dalam rapat Klasis. yang bersangkutan dapat naik banding lagi ke Sinode se-provinsi. Selain itu, dalam rapat-rapat Klasis orang akan membahas urusan-urusan yang menyangkut Gereja-gereja yang termasuk Klasis itu.

57 (4). Seusai itu, Ketua akan mengemukakan salah satu masalah dari pokok-pokok ajaran agama yang menjadi bahan perdebatan antara kita, orang Katolik, dan aliran lain lagi. Agar dengan cara itu orang saling mengasah dan mendorong untuk studi.

58 (5). Dalam rapat Klasis menjelang rapat Sinode se-provinsi, orang akan memilih mereka yang akan diutus untuk mewakili Klasisnya di Sinode itu.

59 (6). Dari tiap-tiap Klasis akan diutus dua Pelayan bersama Penatua dan Diaken sebanyak itu juga, atau setidak-tidaknya satu orang Pelayan bersama satu orang Penatua atau Diaken.

60 (7). Sebelum mencatat pokok-pokok yang hendak diajukan dalam Sinode se-provinsi, orang sebaiknya membaca dengan teliti notula atau keputusan-keputusan Sinode-sinode yang terdahulu, agar dalam Sinode se-provinsi dan khususnya dalam Sinode Am, hal-hal yang telah dirundingkan dan diputuskan dengan kata sepakat tidak dikemukakan sekali lagi, kecuali jika terdapat alasan baru untuk meragukan keputusan yang telah diambil lebih dulu.

61 (8). Akhirnya orang akan menentukan tempat dan waktu rapat berikut, dan mengucapkan syukur kepada Allah. Pengucapan syukur itu akan dilakukan oleh Ketua.

MENGENAI SINODE-SINODE SE-PROVINSI

62 (1). Para utusan ke rapat Sinode se-provinsi harus membawa surat pengutusan dan catatan tertulis mengenai pokok-pokok yang hendak diajukan. Tidak boleh didaftarkan pokok-pokok selain yang tidak berhasil diputuskan dalam Konsistori-konsistori dan dalam rapat Klasis, atau yang menyangkut semua Gereja provinsinya, agar rapat se-provinsi tidak diperpanjang oleh mesalah-masalah yang tidak perlu.

63 (2). Setelah mereka berkumpul, Pelayan setempat, atau, kalau tidak ada, tokoh yang telah mengetuai rapat yang terdahulu, akan mengangkat doa mendahului pemilihan seorang ketua, Asesor, dan Panitera. Setelah Ketua dipilih, ia akan memanjatkan doa yang berkenaan dengan seluruh urusan sidang. Sesudah itu, ia akan mengusahakan supaya nama semua hadirindidaftarkan dan nama orang yang tidak hadir dicatat, agar mereka diminta mempertanggungjawabkan ketidakhadirannya.

64 (3). Ia akan menyuruh hadirin menyerahkan surat pengutusan atau surat kesaksian mereka, agar dibacakan, begitu pula surat instruksi atau pesan tertulis tiap-tiap orang, bersama tanda tangan dan meterainya. Ia harus mengajukan masing-masing instruksi menurut urutannya, dan meminta pendapat seluruh kumpulan, lalu mengumpulkan suara orang yang berhak memberi suara, dengan mengumumkan apa pendapat bagian yang paling besar dan paling sehat. Panitera harus mencatat semua itu, lalu membacakannya, agar disetujui dengan suara bulat.

65 (4). Hal-hal yang menyangkut ajaran akan dibacakan dan dicatat lebih dulu, sesudah itu hal-hal yang menyangkut disiplin Gereja, akhirnya urusan-urusan khusus.

66 (5). Ketua bertugas menyuruh orang mengangkat bicara pada gilirannya, memerintahkan orang yang bernada tajam dan yang suka bertengkar agar bungkam, dan kalau mereka tidak berdiam diri, memerintahkan mereka keluar dari kumpulan, supaya mereka kena tindakan disiplin yang patut, menurut penilaian saudara-saudara. Jabatan Ketua berakhir bersama Sinode. Tetapi, rapat se-provinsi berikutnya bebas memilih orang yang sama atau seorang lain sebagai Ketua.

67 (6). Para Penatua atau Diaken yang diutus ke rapat-rapat ini harus memberi suara dalam semua sidang bersama dengan para Pelayan Gereja-gerejanya. Akan tetapi, di antara Penatua tempat sinode berkumpul hanya dua orang yang mendapat hak memberi suara, kendati Penatua lainnya boleh hadir dan mengeluarkan pendapat.

68 (7). Ketua akan membuka semua sidang dengan doa, dan menutupnya dengan pengucapan syukur. Semua pasal yang telah ditetapkan dan dicatat secara tertulis akan dibacakan sekali lagi, agar dibenarkan dan ditandatangani oleh semua orang. Tiap-tiap orang akan membawa satu eksemplar, yang ditandatangani oleh Ketua dan Panitera, untuk dibacakan dalam Konsistori tiap-tiap Gereja.

69 (8). Dengan suara bulat seluruh rapat se-provinsi haruslah dipilih Gereja yang diserahi wewenang dan tugas menetapkan tempat dan waktu rapat se-provinsi yang berikut, dengan meminta pendapat Pelayan-pelayan lain dalam Klasisnya.

70 (9). Semua perkara rumit yang muncul dalam Gereja-gereja lain dan yang tidak berhasil diputuskan dalam Konsistori dan dalam rapat-rapat Klasis, atau yang begitu berat sehingga menyangkut seluruh provinsi, haruslah dikirim kepada Gereja itu secara teratur dan pada waktu yang cukup dini.

71 (10). Setelah tempat dan waktu rapat se-provinsi yang berikut ditentukan, Gereja tersebut harus memberitahukannya kepada Gereja-gereja lainnya tiga bulan sebelumnya, sambil mengirimkan sati eksemplar semua pokok atau pasal yang telah dikirim kepadanya. Dengan demikian, tiap-tiap Gereja sempat memikirkannya matang-matang dan mengeluarkan pendapat tentangnya dalam rapat Klasis, agar orang-orang yang diutus atas nama Klasis itu mengemukakannya setelah dipertimbangkan matang-matang dan dirundingkan oleh semua Gereja anggota Klasis itu.

72 (11). Akan tetapi, Gereja yang diberi tugas menentukan tempat dan waktu pengumpulan Sinode se-provinsi yang berikut, tidak boleh dibebani lebih daripada yang wajar dengan pekerjaan berat menulis surat-surat kepada tiap-tiap Gereja dalam semua Klasis provinsi itu. Karena itu, di tiap-tiap Klasis harus dipilih satu Gereja, lalu kepada Gereja itu harus ditulisnya, dengan maksud supaya gereja itu meneruskan apa yang diterimanya kepada para Pelayan se-Klasisnya.

73 (12). Orang-orang yang diutus ke Sinode akan menghadiri Sinode itu atas biaya bersama Klasisnya masing-masing.

74 (13). Seusai urusan Sinode orang akan merayakan Perjamuan Kudus, yaitu para Pelayan dan Penatua yang telah berkumpul dalam Sinode itu, bersama warga gereja tempat Sinode diadakan, sejauh keadaan tempat itu membiarkannya.

75 (14). Gereja tempat Sinode diadakan bertugas membawa atau mengirim notula atau ketetapan-ketetapan Sinode itu ke Sinode yang berikut.

MENGENAI SINODE-SINODE AM

76. Hal-hal yang sama harus dipatuhi dalam Sinode-sinode Am. Sinode-sinode ini akan dihadiri oleh Pelayan-pelayan dan Penatua yang diutus bukan oleh Klasis-klasis, melainkan oleh provinsi-provinsi, dengan dilengkapi surat-surat kesaksian dan pesan-pesan yang menyangkut hal ajaran, disiplin gereja, dan urusan-urusan khusus, yang tidak berhasil diputuskan dalam rapat-rapat se-provinsi atau yang menyangkut semua Gereja.

Tata Gereja Belanda (Dordrecht 1619)

Setelah Sinode Dordrecht (1618-1619) berhasil menyelesaikan masalah perselisihan dengan kaum Remonstran dalam hal ajaran, para utusan gereja-gereja tetangga berangkat pulang ke negerinya masing-masing. Maka dalam tahapnya yang terakhir, Sinode merupakan sidang nasional Belanda, yang mengatur berbagai urusan gereja Belanda. Salah satu di antaranya ialah urusan tata gereja. Sinode Dordrecht menyesuaikan dan memperluas tata gereja yang berlaku sejak Sinode 's-Gravenhage (1586) dalam beberapa hal. Yang ditambahkan antara lain pasal 8-9 (mengenai pengangkatan pendeta yang tidak berpendidikan akademis), 28 (mengenai hubungan antara gereja dengan pemerintah negara), 44 (mengenai visitasi, yang oleh sinode tahun 1586 diatur dalam pasal-pasal tersendiri di luar tata gereja), dan 59 (mengenai kewajiban turut merayakan Perjamuan Kudus). Yang diperluas antara lain pasal 69, mengenai pemakaian nyanyian rohani dalam ibadah gerejawi.

Mukadimah

1. Untuk memelihara tata tertib di jemaat Kristus, di dalamnya diperlukan pelayanan-pelayanan, sidang-sidang, pengawasan ajaran, sakramen-sakramen dan upacara-upacara, serta hukuman Kristen. Semua hal tersebut akan diuraikan di bawah ini.

Pelayanan pelayanan

2. Ada empat jenis pelayanan, yaitu pelayanan para Pelayan Firman, para Pengajar,' para Penatua, dan para Diaken.

3. Tak seorang pun, sekalipun ia seorang Pengajar, Penatua atau Diaken, diperkenankan memasuki pelayanan Firman dan sakramen-sakramen tanpa pemanggilan yang sah. Bila seseorang bertindak berlawanan dengan aturan ini dan tidak menghentikan perbuatannya meski telah diperingatkan berkali-kali maka Klasis harus memutuskan apakah ia akan dinyatakan sebagai penyebab perpecahan atau harus dihukum dengan cara lain.

4. Pemanggilan sah mereka yang belum pernah memegang pelayanan, baik di kota- kota maupun di pedesaan, terdiri atas tahap-tahap berikut. Pertama, pemilihan, yang harus dilakukan oleh Majelis Gereja dan para Diaken, didahului dengan acara berpuasa dan berdoa. Pemilihan ini tidak boleh dilakukan tanpa mengadakan hubungan yang sepantasnya dengan Pemerintah Kristen setempat dan tanpa sepengetahuan atau nasihat Klasis kalau hal itu sudah merupakan kebiasaan. Kedua, ujian atau pemeriksaan perihal ajaran dan kehidupan. Ujian ini harus diadakan oleh Klasis dengan dihadiri para Deputat Sinode atau beberapa orang di antaranya. Ketiga, persetujuan atau aprobasi oleh Pemerintah, dan sesudah itu juga oleh para anggota jemaat Gereformeerd setempat, yaitu kalau tidak timbul halangan setelah nama Pelayan itu diumumkan dalam Gereja-gereja selama empat belas hari. Akhirnya, peneguhan resmi di depan jemaat, yang harus dilakukan dengan cara yang layak, sesuai dengan formulir yang bersangkutan, dengan janji- janji dan pertanyaan-pertanyaan, nasihat-nasihat, doa, dan peletakan tangan oleh Pelayan yang melaksanakan peneguhan itu (atau juga oleh beberapa Pelayan lain, kalau hadir). Hal ini dengan pengertian bahwa penumpangan tangan kepada seorang Pelayan yang baru saja diangkat, yang hendak diutus ke Gereja-gereja di bawah Salib' boleh dilakukan dalam rapat Klasis.

5. Dalam hal para Pelayan yang sudah berkecimpung dalam pelayanan Firman, yang dipanggil ke jemaat yang lain, pemanggilan itu harus dilakukan juga oleh Majelis Gereja dan para Diaken dengan nasihat atau persetujuan Klasis, dengan mengadakan hubungan seperti disebut di atas, baik di kota-kota maupun di pedesaan. Mereka yang dipanggil harus memperlihatkan surat dari gerejanya berisi kesaksian baik mengenai ajaran dan kehidupan mereka; dan setelah disetujui juga oleh Pemerintah setempat dan setelah namanya diumumkan kepada jemaat selama empat belas hari, sama seperti di atas, mereka harus diteguhkan dengan didahului janji-janji dan doa-doa. Apa yang dikatakan di atas tidak mengurangi hak tokoh tertentu yang benar-benar berwenang untuk mengemukakan nama calon,2 atau hak apa pun yang lain, sejauh hak itu dapat diselenggarakan secara membangun, tanpa merugikan Gereja Allah dan tata tertib Gereja. Hendaklah Pemerintah dan Sinode Propinsi- propinsi memperhatikan hal ini dan mengaturnya demi kebaikan Gereja-gereja.

6. Tidak seorang Pelayan pun boleh menerima tugas pelayanan dalam salah satu wilayah berdaulat swasta,' rumah sakit atau tempat lain, kalau ia tidak diterima dan diangkat sebelumnya dengan cara yang ditetapkan dalam pasal-pasal yang terdahulu, dan ia pun harus tunduk pada Tata Gereja sama seperti yang lain.

7. Seorang hanya boleh dipanggil untuk pelayanan Firman kalau ia diangkat menjadi pelayan di tempat tertentu, kecuali kalau ia diutus untuk memberitakan Firman dalam Gereja-gereja di bawah Salib, atau dengan cara lain, untuk mengumpulkan Gereja-gereja.

8. Seorang guru sekolah, orang berketrampilan atau orang lain yang tidak berpendidikan akademis tidak boleh diterima dalam jabatan pemberitaan Firman kecuali kalau ada kepastian bahwa orang itu memiliki bakat-bakat istimewa, yaitu kesalehan, kerendahan hati, kesopanan, kecerdasan, dan kebijaksanaan, serta kepandaian bertutur-kata. Bila orang seperti itu melamar untuk pelayanan tersebut maka Klasis (kalau disetujui Sinode) harus menguji dia lebih dulu. Tergantung dari hasil ujiannya, apakah ia akan diizinkan atau tidak untuk selama beberapa waktu berkhotbah di hadapan kelompok kecil. Kemudian Klasis akan mengambil keputusan terhadap dia dengan cara yang dianggapnya membangun Gereja.

9. Orang-orang baru, imam-imam, biarawan-biarawan, dan orang yang dengan cara lain telah keluar dari sekte apa pun hanya boleh diizinkan mengemban pelayanan gerejawi dengan pemeriksaan sangat saksama dan hati-hati. Mereka juga harus terlebih dahulu menjalani masa percobaan tertentu.

10. Seorang Pelayan yang telah dipanggil dengan cara yang sah tidak boleh meninggalkan jemaat yang telah menerimanya tanpa syarat untuk menerima panggilan ke tempat lain, tanpa persetujuan Majelis Gereja dan para Diaken bersama mereka yang pernah melayani sebagai Penatua dan Diaken, serta Pemerintah, dan tanpa sepengetahuan Klasis. Begitu juga Gereja lain tidak boleh menerimanya sebelum ia memperlihatkan pernyataan sah tentang perpisahannya dari Gereja dan Klasis tempat pelayanan sebelumnya.

11. Di pihak lain, Majelis Gereja, selaku wakil jemaat, wajib memberi para pelayannya jaminan hidup yang laYak Majelis tidak boleh melepaskannya tanpa sepengetahuan dan pertimbangan Klasis. Kalau tidak ada penghidupan, Klasis juga yang akan menilai apakah Pelayan tersebut perlu dipindahkan atau tidak.

12. Karena seorang Pelayan Firman, setelah dipanggil secara sah, dengan cara tersebut di atas, terikat pada pelayanan gerejawi selama hidupnya maka ia tidak diperbolehkan beralih ke kedudukan lain kecuali karena alasan-alasan yang kuat dan berbobot, yang akan dipelajari dan dinilai oleh Klasis.

13. Bilamana Pelayan-pelayan tertentu tidak sanggup lagi menjalankan pelayanannya disebabkan umur lanjut, penyakit atau karena sebab yang lain, maka mereka akan tetap menyandang kehormatan dan gelar seorang Pelayan. Kebutuhan mereka (sama seperti kebutuhan para janda dan anak yatim para Pelayan pada umumnya) akan dipenuhi secara ikhlas oleh Gereja-gereja yang pernah mereka layani.

14. Kalau Pelayan-pelayan tertentu, karena alasan tersebut atau karena alasan apa pun yang lain, terpaksa menghentikan pelayanannya untuk beberapa waktu lamanya (hal ini tidak boleh terjadi tanpa perundingan dengan Majelis Gereja), mereka akan tetap tunduk pada panggilan jemaat.

15. Tidak seorang pun diperbolehkan pergi berkhotbah di sana sini kalau tidak mendapat izin dan wewenang dari Sinode atau Klasis, dengan mengabaikan pelayanan Gerejanya atau berada di luar pelayanan tertentu. Begitu pula tidak seorang pun boleh berkhotbah atau melayankan sakramen-sakramen di Gereja lain tanpa persetujuan Majelis Gereja.

16. Tugas jabatan para Pelayan adalah memimpin doa-doa dan melayankan Firman dengan tekun, membagikan sakramen-sakramen, memperhatikan rekan-rekannya, para Penatua dan Diaken, serta jemaat jemaat, dan akhirnya bersama para Penatua menyelenggarakan disiplin gereja serta mengusahakan supaya segala hal berlangsung dengan sopan dan teratur.

17. Tugas-tugas pelayanan harus sedapat mungkin dibagi rata antara para Pelayan Firman, begitu pula hal-hal lain, menurut penilaian Majelis Gereja dan (kalau perlu) penilaian Klasis. Hal ini juga perlu diperhatikan pada para Penatua dan Diaken.

18. Tugas jabatan para Pengajar atau Mahaguru Teologi adalah menerangkan Kitab Suci dan mempertahankan ajaran murni melawan ajaran sesat dan keliru.

19. Jemaat-jemaat harus berupaya supaya ada mahasiswa Teologi, yang mendapat biaya dari harta milik umum.'

20. Di Gereja-gereja yang memiliki sejumlah pendeta yang cakap, harus diadakan latihan khotbah, supaya melalui latihan latihan itu dipersiapkan beberapa orang untuk pelayanan Firman. Dalam hal ini peraturan yang telah ditetapkan secara khusus oleh Sinode ini harus dipegang. 2

21. Di semua tempat Majelis-majelis Gereja harus memberi perhatian pada pengadaan guru-guru sekolah yang baik, yang tidak hanya mengajar anak-anak membaca, menulis, bahasa-bahasa, dan ilmu-ilmu umum, tetapi juga mengajar mereka kesalehan dan Katekismus.'

22. Para Penatua harus dipilih melalui keputusan Majelis Gereja dan para Diaken. Caranya sebagai berikut. Orang dapat mengajukan kepada jemaat calon Penatua sebanyak yang dibutuhkan, sesuai dengan keadaan tiap-tiap Gereja. Setelah mendapat aprobasi atau persetujuan dari pihak jemaat maka mereka akan diteguhkan dengan doa dan janji janji secara resmi (kecuali kalau timbul halangan tertentu). Tetapi orang juga dapat mengajukan sejumlah calon dua kali lipat, supaya setengah dari jumlah mereka dipilih oleh jemaat dan diteguhkan dalam pelayanannya dengan cara yang sama, menurut formulir yang bersangkutan.

23. Tugas jabatan para Penatua adalah, selain apa yang menurut pasal 16 di atas merupakan tugas bersama dengan Pelayan Firman, untuk memperhatikan agar para Pelayan Firman bersama para pembantu mereka yang lain dan para Diaken menyelenggarakan tugas jabatannya dengan setia, untuk melakukan kunjungan ke rumah demi pembinaan jemaat, baik sebelum Perjamuan maupun sesudahnya, sesuai dengan kesempatan yang tersedia berhubungan dengan waktu dan tempat, untuk menghibur dan mengajar para anggota jemaat pada khususnya, serta mengajak juga orang-orang lain agar menganut agama Kristen.

24. Dalam hal pemilihan, aprobasi, dan peneguhan para Diaken, harus dipakai cara yang sama seperti yang telah disebut sehubungan dengan para Penatua.

25. Tugas jabatan khusus para Diaken adalah untuk mengumpulkan dengan giat pemberian berupa uang dan barang-barang lain untuk orang miskin dengan giat dan membagikannya dengan setia dan rajin atas kesepakatan bersama, baik kepada penduduk maupun kepada orang asing, sesuai dengan kebutuhan orang yang berkekurangan, untuk mengunjungi dan menghibur orang-orang yang sedang susah, dan melakukan pengawasan supaya pemberian itu tidak disalahgunakan. Mereka harus memberi pertanggungjawaban kepada Majelis Gereja dan juga di hadapan jemaat (kalau ada yang ingin menghadiri acara itu), pada waktu yang dinilai baik oleh Majelis.

26. Kalau di tempat tertentu ada juga wali orang miskin atau petugas lain yang mengelola dana orang miskin, yang ingin mengadakan hubungan dengan para diaken, mereka ini harus memelihara hubungan dengan petugas tersebut supaya pemberian untuk orang miskin dibagi dengan sebaik-baiknya kepada mereka yang paling berkekurangan.

27. Para Penatua dan Diaken harus melayani selama dua tahun, dan tiap tahun setengah dari mereka harus turun dan orang lain diangkat sebagai ganti mereka, kecuali kalau diperlukan cara lain karena keadaan atau kebutuhan Gereja-gereja tertentu.

28. Tugas jabatan Pemerintah Kristen adalah, berusaha dengan segala cara untuk mengembangkan pelayanan gereja yang kudus, menganjurkannya kepada rakyat melalui teladannya, dan mengulurkan bantuan kepada para Pendeta, Penatua, serta Diaken dalam semua kebutuhan dan menjaga supaya tatanannya jangan terganggu. Begitu pula para Pendeta, Penatua, dan Diaken harus berupaya dengan hati yang tulus untuk menegaskan kepada seluruh jemaat kewajiban menaati, mencintai, dan menghormati tokoh-tokoh pemerintahan. Dalam hal ini semua tokoh gereja harus memberi teladan kepada jemaat; mereka harus berusaha untuk, dengan cara memberi hormat dan mengadakan hubungan yang patut, menciptakan dan memelihara sikap baik Pemerintah terhadap Gereja. Maksudnya supaya kedua belah pihak menunaikan tugasnya masing-masing, dengan takut akan Tuhan, sehingga rasa curiga dan kurang percaya apa pun dapat dicegah dan kerukunan terpelihara, demi kesejahteraan Gereja-gereja.

Sidang-sidang gerejawi

29. Ada empat jenis sidang gerejawi yang harus diadakan secara teratur, yaitu Majelis Gereja, rapat-rapat Klasis, Sinode Wilayah, dan Sinode Am atau Nasional.

30. Dalam sidang-sidang ini tidak akan dibahas perkara apa pun selain yang bersifat gerejawi, dan dengan cara gerejawi. Dalam rapat yang lebih luas hanya akan dibahas perkara-perkara yang tidak berhasil diselesaikan dalam rapat-rapat yang kurang luas atau yang menyangkut Gereja-gereja yang berkumpul dalam rapat yang lebih luas itu pada umumnya.

31. Bila seseorang mengeluh karena merasa diperlakukan tidak adil oleh keputusan rapat yang kurang luas maka orang itu boleh naik banding ke rapat gerejawi yang lebih luas, lalu apa yang dengan mayoritas suara dipandang baik akan dianggap pasti dan mengikat, kecuali kalau hal itu terbukti bertentangan dengan Firman Allah atau dengan pasal-pasal yang telah ditetapkan dalam Sinode Am ini, selama pasal-pasal tersebut tidak diubah oleh Sinode Am yang lain.

32. Acara semua sidang harus dimulai dengan menyeru Nama Allah dan ditutup dengan pengucapan syukur.

33. Orang-orang yang diutus ke sidang-sidang itu harus membawa surat-surat kredensi dan instruksi-instruksi yang dibubuhi tanda tangan mereka yang mengutusnya. Hanya para utusan ini yang mempunyai suara yang menentukan.

34. Dalam semua sidang, Ketua akan didampingi seorang Panitera, yang bertugas mencatat dengan cermat semua hal yang layak dicatat.

35. Tugas jabatan Ketua adalah mengemukakan dan menerangkan apa yang perlu dibahas, mengawasi supaya tiap-tiap orang bila berbicara menjaga ketertiban, menyuruh berdiam mereka yang bertengkar dan yang bicaranya sengit, dan melaksanakan disiplin yang sepatutnya terhadap mereka kalau mereka tidak patuh. Selanjutnya, jabatannya akan berakhir pada waktu sidang bubar.

36. Klasis mempunyai wewenang yang sama terhadap Majelis Gereja seperti yang dimiliki Sinode Wilayah terhadap Klasis dan Sinode Am terhadap Sinode Wilayah.

37. Di semua Gereja harus ada Majelis Gereja, yang beranggotakan para Pelayan Firman dan Penatua. Mereka ini akan bersidang paling sedikit seminggu sekali. Sidang itu harus diketuai dan acaranya harus dipimpin oleh Pelayan Firman (atau para Pelayan Firman secara bergiliran, kalau ada beberapa orang). Juga Pemerintahan setempat, kalau berkehendak, boleh mewakilkan satu atau dua orang dari antara mereka, yang juga anggota Gereja, untuk menghadiri rapat Majelis Gereja, agar mendengarkan dan turut membicarakan perkara-perkara yang menjadi pokok pembahasan.

38. Hanya saja, bila di salah satu tempat hendak dibentuk Majelis Gereja baru maka hal itu tidak boleh dilakukan kecuali dengan pertimbangan Klasis. Bila jumlah Penatua sangat kecil maka para Diaken harus dimasukkan menjadi anggota Majelis Gereja.

39. Bila di salah satu tempat belum ada Majelis Gereja, untuk sementara waktu Klasis akan melakukan apa yang menurut Tata Gereja ini menjadi tugas Majelis.

40. Begitu pula para Diaken harus bersidang tiap-tiap minggu untuk membahas perkara-perkara yang menyangkut jabatan mereka, dengan menyeru Nama Allah. Para Pelayan harus melakukan pengawasan dan, kalau perlu, menghadiri sidang tersebut.

41. Rapat-rapat Klasis harus terdiri atas Gereja-gereja yang berdekatan. Tiap- tiap Gereja harus mewakilkan seorang Pelayan dan seorang Penatua, dengan surat kredensi yang layak, ke sidang yang waktu dan tempatnya telah disepakati oleh Gereja-gereja pada saat rapat sebelumnya bubar (tetapi begitu rupa, sehingga waktunya tidak ditunda lebih dari tiga bulan). Sidang-sidang itu harus diketuai oleh para Pelayan secara bergiliran atau oleh dia yang dipilih oleh rapat yang bersangkutan, tetapi begitu rupa sehingga satu orang tidak boleh dipilih dua kali berturut-turut. Selanjutnya Ketua harus antara lain bertanya kepada tiap- tiap orang apakah mereka, di Gereja-gereja mereka, mengadakan rapat Majelis Gereja; apakah disiplin gereja dijalankan; apakah orang miskin dan sekolah- sekolah dipelihara; akhirnya apakah dalam salah satu hal mereka memerlukan nasihat dan bantuan Klasis supaya Gerejanya berjalan dengan baik. Pelayan yang diberi tugas dalam rapat Klasis yang terdahulu harus menyampaikan khotbah singkat dari Firman Allah, yang akan dinilai oleh pesertapeserta lainnya, dan kalau ada yang kurang di dalamnya akan mereka tunjukkan. Akhirnya, dalam rapat terakhir menjelang Sinode Wilayah haruslah dipilih mereka yang akan menghadiri Sinode tersebut.

42. Kalau di salah satu tempat para Pelayan berjumlah lebih dari satu maka mereka semua boleh menghadiri rapat Klasis dengan suara yang menentukan, kecuali dalam perkara-perkara yang secara khusus menyangkut diri mereka atau Gereja mereka.

43. Pada akhir sidang-sidang Klasis dan sidang-sidang yang lebih luas lainnya harus dijalankan disiplin terhadap mereka yang dalam rapat telah melakukan perbuatan yang patut dihukum, atau yang telah menganggap sepele teguran dari Sidang yang kurang luas.

44. Klasis harus juga memberi kuasa kepada beberapa Pelayan dalam lingkungannya, paling tidak dua orang dari yang paling berumur, berpengalaman, dan cakap, untuk tiap-tiap tahun melakukan visitasi ke semua Gereja, baik di kota-kota maupun di pedesaan. Mereka harus memeriksa apakah para Pengajar, Majelis-majelis Gereja dan guru-guru sekolah melakukan tugas jabatannya dengan setia, tetap berpegang pada ajaran yang murni, dalam segala hal mempertahankan tata tertib yang sudah diterima umum, dan sedapat mungkin mengupayakan pembinaan jemaat serta anak-anak muda dengan sepatutnya, dengan perkataan dan dengan perbuatan. Maksudnya supaya orang-orang yang ternyata lalai dalam salah satu hal dapat mereka tegur secara persaudaraan sebelum terlambat, dan supaya mereka, dengan nasihat dan tindakan, dapat turut mengarahkan segala sesuatu ke perdamaian, pembinaan, dan manfaat yang sebesar-besarnya untuk Gereja-gereja dan Sekolah-sekolah. Setiap Klasis dapat memperbolehkan para Visitator ini memegang tugas pelayanan mereka terus selama dianggap baik, kecuali kalau para Visitator sendiri minta dibebaskan dari pelayanannya, karena alasan yang harus dinilai oleh Klasis.

45. Gereja-gereja tempat Klasis, Sinode Wilayah atau Sinode Am bersidang harus mengusahakan supaya notula rapat sebelumnya tersedia pada rapat berikutnya.

46. Instruksi-instruksi tentang hal-hal yang perlu dibahas dalam rapat-rapat yang lebih luas tidak boleh disusun sebelum keputusan-keputusan Sinode-sinode yang terdahulu dibaca, untuk mencegah perkara yang sudah dibahas secara tuntas dikemukakan kembali, kecuali kalau orang beranggapan ada yang perlu diubah.

47. Tiap-tiap tahun (kecuali kalau timbul keadaan darurat yang memerlukan tenggang waktu yang lebih singkat) haruslah bersidang empat, lima atau lebih Klasis yang berdekatan. Setiap Klasis harus mewakilkan dua Pelayan dan dua Penatua ke Sinode Wilayah itu. Pada waktu Sinode Wilayah dan Sinode Am bubar, harus ditunjuk salah satu Gereja yang ditugaskan untuk, setelah meminta pendapat Klasis, menetapkan waktu dan tempat Sinode yang berikut.

48. Tiap-tiap Sinode akan bebas mencari dan memelihara hubungan dengan Sinode atau Sinode-sinode tetangga, dengan cara yang dianggapnya paling bermanfaat bagi kebaikan umum.

49. Tiap-tiap Sinode harus menunjuk pula beberapa orang deputat yang bertugas untuk melaksanakan segala hal yang telah ditetapkan oleh Sinode, baik pada Pemerintah Pusat maupun pada Klasis-klasis yang termasuk lingkungannya; juga untuk bersama-sama atau dengan jumlah yang kurang mengawasi ujian para calon Pendeta; dan selanjutnya untuk dalam semua kesulitan lain yang timbul mengulurkan bantuan kepada Klasis-klasis, supaya persatuan dan ketertiban yang baik serta kemurnian ajaran dipertahankan dan ditegakkan. Mereka harus membuat catatan saksama tentang semua tindakannya untuk melaporkannya kepada Sinode dan memberi pertanggungjawaban kalau diminta. Mereka juga tidak akan bebas dari pelayanannya sebelum Sinode sendiri membebaskan mereka.

50. Sinode Nasional biasanya harus diadakan tiga tahun sekali, kecuali kalau ada keadaan mendesak sehingga tenggang waktunya perlu dipersingkat. Dari setiap Sinode Wilayah, baik yang berbahasa Belanda maupun yang berbahasa Perancis,' dua Pelayan dan dua Penatua harus diutus ke Sinode itu. Selanjutnya (yaitu kalau Sinode itu harus diadakan dalam waktu lebih singkat dari tiga tahun) Gereja yang telah diberi tugas untuk menetapkan waktu dan tempat Sinode Am harus mengumpulkan Sinode Wilayahnya, juga memberitahukan hal itu kepada Gereja tetangga yang berbahasa lain. Gereja itu harus mengutus empat orang ke Sinode itu untuk atas kesepakatan bersama memutuskan waktu dan tempatnya. Bila Gereja yang telah dipilih untuk menghimpun Sinode Am hendak berunding dengan Klasis tentang waktu dan tempatnya maka hal itu harus diberitahukannya kepada Pemerintah Pusat pada waktu yang cukup dini, supaya hal itu dapat diputuskan dengan sepengetahuannya dan (kalau Pemerintah berkenan mengutus juga beberapa orang ke Klasis) dengan dihadiri para wakilnya dan dengan nasihat mereka.

51. Karena di Negeri Belanda orang memakai dua bahasa,' dianggap baik bahwa Gereja-gereja berbahasa Belanda dan Perancis masing-masing memiliki Majelis Gereja, rapat-rapat Klasis dan Sinode-sinode Wilayah tersendiri.

52. Namun, dianggap baik bila di kota-kota di mana ada Gereja-gereja berbahasa Perancis tersebut, beberapa Pelayan dan Penatua dari kedua belah pihak berkumpul tiap- tiap bulan untuk memelihara kerukunan dan hubungan baik satu sama lain dan untuk sebanyak mungkin saling memberi nasihat sesuai dengan kebutuhan.

Ajaran gereja, sakramen-sakramen, dan upacara-upacara yang lain

53. Para Pelayan Firman Allah, begitu juga para Mahaguru Teologi (dan sepatutnya juga para Mahaguru lain) harus menandatangani Pengakuan Iman Gereja-gereja Belanda.2 Para Pelayan yang menolak harus diskors de facto dari pelayanannya oleh Majelis Gereja atau Klasis, hingga mereka memberi penjelasan secara tuntas mengenai hal itu. Kalau mereka bersikeras menolak maka mereka akan diberhentikan seterusnya dari pelayanan mereka.

54. Begitu pula para guru sekolah wajib menandatangani Pasal-pasal tersebut, atau Katekismus Kristen' sebagai gantinya.

55. Tak seorang penganut agama Gereformeerd pun boleh memberanikan diri untuk menyuruh mencetak atau menerbitkan dengan cara lain buku atau karangan apa pun perihal agama, yang ia sendiri atau orang lain susun atau terjemahkan, kecuali setelah karangan itu diperiksa dan disetujui oleh para Pelayan Firman dalam Klasisnya, atau - asalkan dengan sepengetahuan Klasisnya - oleh Sinode Wilayah, atau para Mahaguru Teologi di propinsi-propinsi ini.'

Baptisan

56. Perjanjian Allah harus dimeteraikan kepada anak-anak orang Kristen melalui Baptisan, begitu ada kesempatan menerimanya. Hal itu harus dilakukan perkumpulan umum, pada waktu Firman Allah diberitakan. Tetapi bila di tempat tertentu pemberitaan Firman itu agak jarang terjadi maka harus ditetapkan hari tertentu di luar Hari Minggu untuk pelayanan baptisan yang istimewa. Namun, hal itu tidak boleh dilakukan tanpa pemberitaan Firman.

57. Para Pelayan harus mengusahakan sedapat mungkin supaya seorang anak dibawa ayahnya untuk dibaptis. Dan bila dalam jemaat tertentu orang biasa mengundang wali atau saksi pada baptisan selain ayahnya sendiri (kebiasaan itu sendiri bebas dan tidak dapat diubah dengan mudah), yang layak diundang ialah orang- orang yang menganut ajaran yang murni dan yang menempuh hidup yang saleh.

58. Bila melayankan Baptisan, baik kepada anak-anak kecil maupun kepada orang dewasa, para Pelayan Firman harus menggunakan formulir-formulir mengenai penetapan dan pelaksanaan Baptisan, yang disusun khususnya untuk itu.

59. Melalui Baptisan, orang dewasa dimasukkan dalam jemaat Kristen dan diterima menjadi anggota sidi jemaat itu. Karena itu, mereka wajib turut merayakan Perjamuan Tuhan, sebagaimana harus mereka janjikan pada waktu dibaptis.

60. Nama mereka yang dibaptis, termasuk nama orangtua dan para saksi harus dicatat, begitu juga waktu pembaptisan.'

Perjamuan

61. Tidak seorang pun boleh diterima turut merayakan Perjamuan Tuhan kecuali mereka yang, sesuai dengan kebiasaan Gereja-gereja yang dengannya mereka bergabung, telah mengakui agama Gereformeerd,2 dan yang menurut kesaksian orang lain menempuh kehidupan yang saleh. Tanpa itu, juga mereka yang berasal dari Gereja-gereja lain tidak boleh diterima.

62. Tiap-tiap Gereja boleh melayankan Perjamuan dengan cara yang dinilainya paling berguna bagi pembinaan para anggota, dengan pengertian bahwa upacara- upacara lahiriah yang diperintahkan dalam Firman Allah tidak boleh diubah dan bahwa takhayul apa pun perlu dicegah. Begitu pula, seusai khotbah dan doa-doa umum di mimbar, formulir Perjamuan dan doa untuk Perjamuan harus dibacakan di depan meja.

63. Perjamuan Tuhan harus diadakan sedapat mungkin dua bulan sekali. Bila keadaan gereja memungkinkan, akan mendatangkan kebaikan jika Perjamuan diadakan pada Hari Paskah, Hari Pentakosta dan Hari Natal. Tetapi bila di salah satu tempat belum ada Gereja yang teratur maka untuk sementara waktu harus lebih dulu diangkat Penatua-penatua dan Diaken-diaken.

Aturan waktu kebaktian

64. Karena di banyak tempat perkumpulan-perkumpulan doa pada malam hari ternyata berguna sekali maka dalam pelaksanaannya tiap-tiap Gereja boleh memakai cara yang dinilainya paling bermanfaat bagi pembinaan para anggota. Akan tetapi, kalau orang ingin menghapuskannya hal itu tidak boleh dilakukan tanpa pertimbangan Klasis dan Pemerintah yang menganut agama Gereformeerd.

65. Bila di salah satu tempat tidak diadakan kebaktian jenazah, orang tidak boleh membiasakannya. Bila khotbah itu sudah menjadi kebiasaan, orang harus berupaya untuk menghapuskannya dengan cara yang patut.

66. Pada masa perang, wabah penyakit, paceklik, penganiayaan Gereja-gereja, dan bencana umum lainnya, para Pelayan Gereja-gereja harus mengajukan permohonan kepada Pemerintah agar dengan wewenang dan perintahnya ditetapkan dan dikuduskan hari-hari puasa serta doa umum.

67. Jemaat-jemaat harus merayakan, selain Hari Minggu, juga Hari Natal, Hari Paskah, dan Hari Pentakosta, bersama hari berikutnya. Dan karena di sebagian terbesar kota-kota dan propinsi-propinsi Negeri Belanda di samping hari-hari tersebut dirayakan juga Hari Penyunatan Kristus' dan Hari Kenaikan maka di mana kebiasaan itu belum berlaku, para Pelayan harus mendorong Pemerintah agar menyesuaikan diri dengan yang lain-lain.

68. Pada hari Minggu, biasanya dalam kebaktian sore, di mana pun para Pelayan harus menerangkan secara singkat ikhtisar Ajaran Kristen yang tercantum dalam Katekismus yang dewasa ini diterima umum dalam Gereja-gereja di negeri Belanda.2 Begitu rupa caranya sehingga Katekismus itu dibahas seluruhnya dalam waktu satu tahun, sesuai dengan pembagian dalam Katekismus sendiri.

69. Di Gereja-gereja hanya boleh dinyanyikan ke-150 Mazmur Daud, Kesepuluh Perintah, Doa Bapa Kami, Kedua belas Pasal Iman, Nyanyian Pujian Maria, Zakharia, dan Simeon. Gereja-gereja bebas menggunakan atau tidak nyanyian O God, die onze Vader zijt. Semua nyanyian rohani lainnya tidak diizinkan dalam Gereja- gereja. Bila di salah satu tempat ada yang sudah dimasukkan, nyanyian itu harus dihapuskan dengan cara yang patut.'

70. Ternyata di mana-mana orang memelihara kelaziman yang berbeda-beda dalam hal pernikahan. Namun, sepantasnya dalam hal ini dipakai cara yang seragam. Karena itu Gereja-gereja harus mempertahankan kelaziman yang telah dipeliharanya selama ini karena mereka menganggapnya sesuai dengan Firman Allah dan dengan peraturan- peraturan gereja yang telah berlaku sebelumnya, hingga Pemerintah Pusat (yang secepat mungkin harus diminta melakukan hal ini) menyusun Peraturan Umum, dengan meminta pendapat para Pelayan Gereja. Peraturan Umum itulah yang menjadi acuan Tata Gereja dalam urusan ini.

Disiplin gereja dan teguran-teguran gerejawi

71. Sebagaimana hukuman Kristen bersifat rohani dan tidak membebaskan seorang pun dari pengadilan negara serta hukuman dari pihak Pemerintah, begitu pula disiplin gereja mutlak perlu di samping hukuman sipil, untuk mendamaikan orang berdosa dengan Gereja dan dengan sesamanya manusia dan untuk menghilangkan penyebab dosa dari dalam jemaat Kristus.

72. Kalau ada yang berdosa melawan ajaran yang murni atau kehidupan yang saleh maka, sejauh hal itu tersembunyi dan tidak menimbulkan keresahan umum, orang harus memegang aturan yang telah Kristus tetapkan dengan jelas dalam Matius 18.

73. Dosa-dosa tersembunyi tidak usah diadukan kepada Majelis Gereja, kalau orang berdosa menyesalinya setelah ditegur oleh satu orang secara pribadi atau di hadapan dua atau tiga orang saksi.

74. Kalau seseorang telah ditegur dalam suasana kasih oleh dua tiga orang karena dosa yang tersembunyi, dan tidak menghiraukannya, atau kalau orang itu telah melakukan dosa yang diketahui umum, maka hal itu harus diadukan kepada Majelis Gereja.

75. Berkenaan dengan semua dosa yang pada hakikatnya bersifat umum atau yang diketahui umum karena teguran gerejawi tidak dihiraukan, pendamaiannya harus terjadi (kalau dilihat tanda-tanda penyesalan yang pasti) di depan umum, menurut keputusan Majelis Gereja, dengan bentuk dan cara yang dinilai tepat demi pembinaan para anggota tiap-tiap Gereja. Di pedesaan dan di kota-kota kecil di mana hanya ada satu orang Pelayan, pendamaian itu harus berlangsung dengan meminta nasihat dua Gereja tetangga.

76. Barang siapa bersikeras menolak teguran Majelis, dan barang siapa telah melakukan dosa yang bersifat umum atau yang berat karena alasan lain, akan dilarang turut merayakan Perjamuan Tuhan. Kalau ia, sesudah larangan itu dan sesudah ditegur berkali-kali, tidak memperlihatkan tanda-tanda penyesalan maka akhirnya orang akan memakai tindakan terakhir, yaitu pengucilan, menurut acara yang ditetapkan untuk itu sesuai dengan Firman Allah. Akan tetapi, tidak seorang pun boleh dikucilkan kecuali sesudah meminta pendapat Klasis.

77. Sebelum sampai melakukan pengucilan, orang harus mengumumkan kekerasan hati pendosa itu kepada jemaat, sambil memberi keterangan mengenai dosa-dosa itu dan mengenai upaya mengecam dia, melarang dia turut merayakan Perjamuan, dan menegur dia berkali- kali. Jemaat harus diajak menyapa dan mendoakan dia. Ajakan demikian akan terjadi tiga kali. Pada ajakan pertama, nama orang berdosa itu tidak akan disebut, supaya agak ditenggangkan perasaannya. Pada ajakan kedua, sesudah meminta pendapat Klasis, namanya harus disebut. Pada yang ketiga, jemaat harus diberi tahu bahwa ia hendak dikeluarkan dari persekutuan Gereja, kecuali kalau ia bertobat, supaya pengucilannya, kalau ia bersikeras, terjadi dengan persetujuan Gereja yang tidak usah diungkapkan secara khusus. Tenggang waktu antara ajakan-ajakan itu diserahkan kepada kebijaksanaan Majelis Gereja.

78. Kalau seseorang yang telah diekskomunikasikan ingin berdamai kembali dengan jemaat dengan jalan menyesal, hal itu harus diberitahukan sebelumnya kepada jemaat, menjelang perayaan Perjamuan atau pada kesempatan lain, sesuai dengan keadaan, supaya ia dapat diterima kembali pada waktu perayaan Perjamuan yang berikut (sejauh tidak ada yang dapat mengajukan keberatan), di depan umum, dengan menyatakan pertobatannya, menurut formulir yang bersangkutan.

79. Bila Pelayan Firman Allah, Penatua atau Diaken melakukan dosa berat yang diketahui umum, yang merupakan keaiban dalam Gereja atau patut dihukum oleh pemerintah, Penatua dan Diaken harus langsung diberhentikan dari pelayanannya, dengan keputusan Majelis Gereja jemaat itu dan jemaat tetangga. Akan tetapi, para Pelayan hanya diskors. Klasis yang harus memutuskan apakah mereka perlu diberhentikan untuk seterusnya dari pelayanan mereka.

80. Yang utama di antara dosa-dosa berat yang patut dihukum dengan skorsing atau penghentian dari pelayanan adalah: Ajaran sesat atau bidat, memecah belah Gereja, hujat di depan umum, memperdagangkan jabatan gerejawi, meninggalkan pelayanan atau menyusup masuk dalam pelayanan orang lain, sumpah palsu, perzinaan, percabulan, pencurian, kekerasan, mabuk biasa, perkelahian, keuntungan yang tidak pantas, pendeknya, semua dosa dan perbuatan tidak senonoh yang menyebabkan pelakunya tidak terhormat dalam masyarakat dan yang bagi anggota gereja yang lain akan dianggap layak mendapat ganjaran hukuman pengucilan.

81. Para Pelayan Firman, Penatua, dan Diaken harus saling menjalankan disiplin gereja dan saling memperingatkan dengan ramah berhubung dengan pelayanan jabatan mereka.

82. Mereka yang meninggalkan jemaat karena pindah ke tempat lain harus diberi surat atestasi atau kesaksian tentang perikehidupan mereka, atas pertimbangan Majelis Gereja, dengan dibubuhi meterai Gereja, dan bila tidak ada meterai, dengan tanda tangan dua orang.

83. Selanjutnya, para Diaken harus memberi bantuan kepada orang-orang miskin yang berpindah dengan alasan yang memadai, sebanyak yang dianggap bijaksana, tetapi dengan mencatat di sebelah belakang atestasi mereka tempat tujuan dan sokongan yang telah diberikan.

84. Tidak satu pun Gereja boleh berkuasa atas Gereja-gereja lain, tidak seorang Pelayan pun boleh berkuasa atas Pelayan- pelayan lain, tidak seorang Penatua atau Diaken pun boleh berkuasa atas Penatua- penatua atau Diaken-diaken lain, dengan cara apa pun.

85. Dalam hal-hal yang bukan hal pokok orang tidak boleh menolak Gereja-gereja di luar negeri yang mempunyai kebiasaan lain dari kita.

86. Pasal-pasal ini mengenai tata tertib Gereja-gereja yang sah telah ditetapkan dan diterima secara bulat, sedemikian rupa hingga (bila diperlukan perubahan demi manfaat Gereja-gereja) pasal-pasal ini boleh dan patut diubah, ditambah, atau dikurangi. Namun, hal ini tidak boleh dilakukan salah satu Gereja, Klasis atau Sinode' sendiri. Sebaliknya, badan-badan ini wajib memeliharanya dengan tekun, hingga Sinode Am atau Nasional menetapkan lain.

Demikianlah dilakukan dan diputuskan dalam Sinode Nasional di Dordrecht, pada tanggal 28 Mei 1619.

Yang menandatangani:
Johannes Bogermannus, Ketua Sinode,
Jacobus Rolandus, Pendamping
Hermanus Faukelius, Wakil Ketua
Sebastianus Damman, Panitera Sinode
Festus Hommius, Panitera Sinode Sinode

Pernyataan Savoy (1658)

Pada masa 1649-1660 Inggris merupakan republik yang dikuasai kaum Independen di bawah pimpinan Oliver Cromwell, panglima tentara yang telah mengalahkan Raja Charles I. Pada masa itu Gereja Anglikan kehilangan kedudukan istimewa yang dimilikinya pada masa pemerintahan raja-raja Stuart (dan yang diperolehnya kembali pada tahun 1660, ketika dinasti Stuart kembali menduduki takhta Inggris). Untuk sementara waktu, semua aliran Protestan menikmati kebebasan penuh dan bisa tampil di depan umum. Kaum Presbyterian telah menyusun pengakuan iman sendiri pada tahun 1647 (Westminster Confession). Akan tetapi, sebagian kaum Puritan, meski menerima ajaran Calvinis, tidak dapat menyetujui tata gereja Presbyterian. Asas yang khas Presbyterian, yaitu bahwa tidak ada jabatan atau jemaat yang boleh berkuasa atas jabatan atau jemaat lain, mereka tafsirkan secara lebih radikal. Bagi mereka, jemaat setempat merupakan pewujudan sepenuhnya Gereja Kristus. Lagi pula, mereka menolak wewenang negara di bidang gerejawi, dan karena itu menghapuskan pasal XX, 4 Westminster Confession, yang menyatakan negara wajib memberantas ajaran sesat. Aliran ini biasanya disebut dengan nama kongregasionalisme (Inggris congregation = jemaat setempat). Pada tahun 1658 para wakil 120 jemaat, yang termasuk kaum kongregasionalis moderat, berkumpul selama dua minggu dalam kapel salah satu istana di kota London, yaitu Savoy Palace, dan menyusun

iman serta tata gereja tersendiri. Ternyata dalam hal

iman mereka dapat menerima Westminster Confession dengan mencoret, mengubah, dan menambahkan beberapa bab dan pasal. Sebaliknya, mereka menyusun tata gereja tersendiri, 'On the institution of Churches, and the Order appointed in them by Jesus Christ', 'Mengenai pengadaan Gereja-gereja, dan tata tertib yang ditetapkan di dalamnya oleh Yesus Kristus'. Dalam karangan pendahuluannya mereka menekankan kebebasan beragama, paling tidak bagi mereka yang berpegang pada asas-asas iman Kristen.
Dari perubahan yang oleh Sidang di Savoy Palace itu diadakan terhadap Westminster Confession, kami hanya memuat fragmen-fragmen yang menyangkut tata gereja dan hubungan gereja dengan masyarakat serta negara. Bagian-bagian yang menyimpang dari naskah Westminster dicetak miring.

Pernyataan tentang Iman dan Tata Gereja yang dianut dan diselenggarakan dalam Gereja-gereja Kongregasionalis di Inggris, yang disepakati dan disetujui oleh penatua-penatua dan utusan-utusan mereka dalam pertemuan di Istana Savoy pada tanggal 12 Oktober 1658 (1)

Penyataan Iman

Pasal XX, 4 Westminster Confession, yang melimpahkan kepada pemerintahan duniawi wewenang menghukum orang bidat, dihapuskan. Dalam Bab XXIII Westminster Confession, pasal 3 mengalami perubahan.

XXIV (WC XXIII)2 3. Pemerintah wajib mendorong, memajukan, dan melindungi para penganut Injil serta

Injil itu, dan menyelenggarakan serta mengatur pemerintahan sipil begitu rupa, sehingga tunduk pada hak kepunyaan Kristus di dunia ini. Demi tujuan itu, pemerintah hendaknya menjaga agar orang yang rusak akal dan kelakuannya jangan menerbitkan dan menyiarkan dengan seenaknya hujat serta ajaran sesat, yang dengan sendirinya menumbangkan iman dan tidak bisa tidak merusak jiwa orang yang menerimanya. Kendati demikian, bila timbul perselisihan paham perihal ajaran Injil atau cara menyembah Allah, yang dapat saja terjadi di lingkungan orang yang memiliki hati nurani yang murni] dan menunjukkan hal itu dalam kelakuan mereka dan yang tetap berdiri di atas dasar" serta tidak mengganggu orang lain dalam cara beribadah, yang berbeda dari cara mereka sendiri, maka pada zaman Injil ini pemerintah tidak berwenang membatasi kebebasan mereka.

Dalam Bab XXV, 'Perkawinan', Savoy Declaration menghapuskan pasal 5 dan 6, serta kalimat terakhir pasal 4 Bab XXIV Westminster Confession. Pasal XXV Westminster Confession dirombak juga: pasal 3 dan 4 dihapuskan, pasal 2, 5, dan 6 WC !!(= 2, 3, dan 4 SD) diperluas, sedangkan ditambahkan pasal 5 yang baru.

XXVI (WC XXV). Gereja

1. Gereja yang katolik atau am, yang tidak kelihatan, terdiri atas seluruh jumlah orang terpilih, yang telah, sedang, dan akan dihimpun menjadi satu di bawah Kristus, Kepala mereka. Gereja itu adalah mempelai perempuan, tubuh, kepenuhan Dia yang memenuhi semua dalam segala sesuatu.

2. Seluruh badan orang, di seluruh dunia, yang menganut kepercayaan yang terdapat dalam Injil dan menaati Allah melalui Kristus seturut Injil itu, dan yang tidak merusak

nya sendiri dengan ajaran sesat apa pun yang menumbangkan dasar, atau dengan kelakuan yang tidak suci, adalah dan boleh disebut Gereja am Kristus yang kelihatan. Meskipun demikian, kepada Gereja itu tidak dipercayakan penyelenggaraan aturan-aturan apa pun, dan Gereja itu tidak memiliki pejabat- pejabat Yang harus menjalankan pemerintahan atau kuasa di dalam dan atas seluruh badan itu.

3. Semurni apa pun gereja-gereja di kolong langit, bisa saja mereka bersifat campuran' dan kena ajaran sesat. Bahkan, ada yang begitu merosot, sehingga bukan Gereja Kristus lagi, melainkan jemaah iblis.2 Meskipun demikian, Kristus dari semula dan sampai selama-lamanya memiliki Kerajaan yang kelihatan di dunia ini, sampai akhir dunia, yang terdiri dari mereka yang percaya kepada-Nya dan mengaku nama-Nya.

4. Tidak ada kepala Gereja selain Tuhan Yesus Kristus. Paus di Roma pun tidak bisa menjadi kepalanya dalam arti apa pun. Sebaliknya, ia adalah AntiKristus, manusia durhaka yang harus binasa,' yang meninggikan diri di dalam Gereja melawan Kristus dan melawan segala yang disebut Allah. Tuhan akan memusnahkannya dengan terang cahaya kedatangan-Nya.

5. Tuhan mengasuh dan mengasihi Gereja-Nya, dan menurut pemeliharaan-Nya yang penuh hikmat tak terhingga menyatakan hal itu dengan berbagai cara di segala zaman, demi kebaikan mereka yang mengasihi Dia dan demi kemuliaan-Nya sendiri. Maka sesuai dengan janji-Nya kita menanti-nanti saat pada akhir zaman, ketika Anti-Kristus dimusnahkan, orang Yahudi dipanggil, para lawan kerajaan Anak-Nya yang kekasih dihancurkan. Pada saat itu, gereja- gereja Kristus, yang diperluas dan dibangun melalui pengaruniaan terang dan anugerah yang bebas dan berlimpah- limpah, akan menikmati di dunia ini keadaan yang lebih tenang, damai, dan mulia daripada yang mereka nikmati sebelumnya.

Savoy Declaration tidak memuat Bab XXX (Disiplin Gereja) dan XXXI (Sinode-sinode dan Konsili-konsili) Westminster Confession. Sebagai gantinya, Sidang menetapkan peraturan yang tercantum di depan.

Mengenai pengadaan Gereja-gereja, dan tata tertib yang ditetapkan di dalamnya oleh Yesus Kristus

I. Oleh penetapan Sang Bapa, seluruh kuasa memanggil, mengadakan, mengatur, atau memerintah Gereja dilimpahkan dengan cara tertinggi dan berdaulat kepada Tuhan Yesus Kristus, sebagai Raja dan Kepala Gereja itu.

II. Dalam melaksanakan kuasa yang telah dipercayakan kepada-Nya, Tuhan Yesus memanggil mereka yang telah diberikan kepada-Nya oleh Bapa-Nya dari dalam dunia kepada persekutuan dengan diri-Nya, agar mereka berjalan di hadapan-Nya dalam segala ketaatan yang diperintahkan-Nya kepada mereka dalam Firman-Nya.

III. Mereka yang dipanggil dengan cara itu (melalui pelayanan Firman, oleh Roh- Nya) disuruh-Nya menempuh kehidupan bersama dalam Perkumpulanperkumpulan atau Gereja-gereja tersendiri, agar mereka saling membangun dan menyelenggarakan ibadah umum yang Dia tuntut dari mereka dalam dunia ini.

IV. Kepada tiap-tiap Gereja yang dihimpun dengan cara itu, sesuai dengan kehendak-Nya yang telah dinyatakan-Nya dalam Firman-Nya, diberikan-Nya seluruh kuasa dan wewenang yang dengan cara bagaimanapun diperlukan untuk menjalankan tata ibadah dan tata disiplin yang telah ditetapkan-Nya agar mereka patuhi bersama perintah-perintah dan aturan-aturan untuk pelaksanaan serta penyelenggaraan kuasa itu dengan cara yang patut dan benar.

V. Gereja-gereja tersendiri yang ditetapkan dengan demikian oleh wewenang Kristus, dan yang diberi kuasa yang berasal dari-Nya untuk maksud dan tujuan yang diungkapkan tadi, masing-masing merupakan tempat kedudukan kuasa yang menurut perkenan-Nya diserahkan-Nya kepada orang-orang kudus-Nya atau rakyat-Nya di dunia ini, sehingga mereka menerimanya langsung dari Dia.

VI. Selain Gereja-gereja tersendiri itu, Kristus tidak mengadakan Gereja apa pun yang lebih luas atau Am, yang diberi kuasa untuk menyelenggarakan aturan aturan- Nya atau bertindak dengan wewenang apa pun dalam Nama-Nya.

VII. Gereja tersendiri, yang dihimpun dan diperlengkapi sesuai dengan kehendak Kristus, terdiri dari Pejabat-pejabat' dan Anggota-anggota. Tuhan Kristus telah memberi mereka yang terpanggil oleh-Nya (yang sesuai dengan penetapan-Nya bersatu di dalam Gereja yang diatur baik) kebebasan dan kuasa untuk memilih orang-orang yang oleh Roh Kudus dipersiapkan untuk tujuan itu, agar menjadi atasan dan pelayan mereka dalam Tuhan.

VIII. Anggota Gereja-Gereja itu ialah orang-orang Kudus yang terpanggil, yang menyatakan dan memperlihatkan (dalam dan melalui

iman serta cara hidup mereka) ketaatan mereka pada panggilan Kristus itu. Mereka saling mengenal lebih jauh melalui

iman mereka, yang dikerjakan dalam diri mereka oleh kuasa Allah, dan yang diikrarkan, atau dinyatakan dengan cara lain, oleh mereka sendiri. Dan mereka dengan sukarela sepakat untuk menempuh kehidupan bersama sesuai dengan penetapan Kristus, seraya berserah diri kepada Tuhan dan kepada sesamanya oleh kehendak Allah, dan nyata-nyata tunduk pada aturan-aturan Injil.

IX. Para Pejabat yang menurut penetapan Kristus dipilih dan dikhususkan oleh Gereja yang terpanggil itu, yang dihimpun untuk secara khusus menyelenggarakan aturan-aturan dan menjalankan kuasa atau tugas kewajiban yang dipercayakan oleh- Nya kepada mereka untuk seterusnya sampai akhir dunia, ialah para Gembala, Pengajar, Penatua, dan Diaken.

X. Gereja-gereja yang dihimpun dan yang berkumpul untuk ibadah kepada Allah itu dengan cara itu, dengan demikian kelihatan dan tampil di depan umum. Oleh karena itu, kumpulan-kumpulannya (apa pun tempatnya, menurut kebebasan atau kesempatan yang dipunyainya) adalah kumpulan gerejawi atau umum.

XI. Kristus telah menetapkan cara memanggil tokoh apa pun yang diperlengkapi oleh Roh Kudus dengan karunia seperlunya untuk jabatan Gembala, Pengajar, atau Penatua dalam salah satu Gereja, sebagai berikut. Orang itu harus dipilih untuk jabatannya dengan cara semua anggota memberi suara, dan dikhususkan secara khidmat melalui puasa dan doa, disertai peletakan tangan oleh para Penatua Gereja itu, jika memang telah ada Penatua yang diangkat sebelumnya. Dalam hal seorang Diaken, ia harus dipilih dengan cara yang sama, dan dikhususkan melalui doa dan peletakan tangan serupa.

XII. Hakikat pemanggilan seorang Gembala, Pengajar, atau Penatua untuk jabatannya ialah pemilihannya oleh Gereja bersama penerimaan jabatannya olehnya, dan pengkhususannya melalui puasa serta doa. Mereka yang dipilih dengan cara itu, meski mereka tidak dikhususkan melalui peletakan tangan, benar-benar diteguhkan menjadi Pelayan Yesus Kristus, dan dalam Nama serta atas wewenang Dia mereka menyelenggarakan pelayanan yang dipercayakan kepada mereka dengan cara itu. Pemanggilan para Diaken terdiri dari pemilihan dan penerimaan yang serupa, disertai pengkhususan melalui doa.

XIII. Para Gembala dan Pengajar wajib berupaya dalam pemberitaan Firman sebagai tugas jabatan mereka. Meskipun demikian, karya pemberitaan Firman tidak terbatas pada mereka itu saja. Orang-orang lain, yang juga diperlengkapi oleh Roh Kudus dengan karunia seperlunya dan yang diterima secara resmi (artinya, mereka dipanggil untuk itu dengan cara yang sah, sesuai dengan pemeliharaan Allah), boleh saja melaksanakan karya itu di depan umum, dalam acara yang lazim, dan terus-menerus, sehingga mereka mengabdikan diri kepadanya.

XIV. Akan tetapi, mereka yang menunaikan karya pemberitaan Firman di depan umum dan yang karena itu menerima tunjangan dari perbendaharaan negara,' tidak wajib karenanya membagikan sakramen-sakramen selain kepada orang-orang yang dengannya mereka berhubungan selaku Gembala atau Pengajar (yaitu, yang adalah orang kudus yang terpanggil dan yang berhimpun sesuai dengan tertib Injil).' Namun, janganlah hendaknya mereka mengabaikan orang-orang lain yang hidup dalam batas paroki mereka. Selain terus-menerus memberitakan Firman kepada orang-orang itu dalam acara umum, mereka harus juga mencari tahu apakah orang-orang itu menarik manfaat dari Firman itu, seraya mengajarkan dengan tekanan khusus ajaran-ajaran agung Injil kepadanya (apakah mereka tua atau muda) secara pribadi dan khusus, sejauh tenaga dan waktu mereka membiarkannya.

XV. Acara pengangkatan saja, yang tidak didahului pemilihan atau kesepakatan Gereja, meski diselenggarakan oleh tokoh-tokoh yang pernah diangkat, atas wewenang yang telah mereka terima waktu diangkat, tidak menjadikan seorang pun menjadi Pejabat Gereja dan tidak juga memberikan kuasa jabatan kepadanya.

XVI. Gereja yang diperlengkapi dengan pejabat-pejabat (sesuai dengan kehendak Kristus) berkuasa penuh menyelenggarakan semua aturan-Nya. Bila diperlukan lagi seorang pejabat atau lebih, maka pejabat itu, atau para warga Gereja, boleh menyelenggarakan semua aturan yang termasuk kewajiban dan jabatan mereka yang khusus. Akan tetapi, bila tidak ada Pejabat yang bertugas mengajar, tidak seorang pun boleh melayankan sakramen-sakramen,3 dan Gereja tidak boleh menguasakan seorang pun melakukannya.

XVII. Dalam menyelenggarakan pelayanan gerejawi, janganlah hendaknya satu anggota baru pun diterima dalam Gereja kecuali dengan persetujuan Gereja itu sendiri, agar kasih (tanpa kepura-puraan) tetap terpelihara di antara semua anggotanya.

XVIII. Mengingat bahwa Tuhan Yesus Kristus telah menetapkan dan mengadakan sarana pembinaan ini, yaitu bahwa mereka yang tidak menempuh kehidupan seturut peraturan dan undang-undang yang telah ditetapkan-Nya (yakni dalam hal iman dan kehidupan, sehingga dengan sewajarnya timbul kehebohan karenanya di dalam Gereja) kena tindakan disiplin dalam Nama dan atas wewenang-Nya: tiap-tiap Gereja berkuasa sendiri menjalankan dan menyelenggarakan semua tindakan-tindakan disiplin yang ditetapkan-Nya, dengan cara dan menurut tertib yang diperintahkan di dalam Injil.

XIX. Tindakan-tindakan disiplin yang dengan cara itu ditetapkan oleh Kristus ialah peringatan dan pengucilan. Mengingat bahwa pelanggaran-pelanggaran tertentu hanya diketahui atau dapat diketahui oleh beberapa orang saja, maka Kristus menetapkan bahwa mereka yang olehnya pelanggaran itu diketahui lebih dulu memperingatkan si pelanggar di bawah empat mata (dalam hal pelanggaran yang diketahui umum, yang berdosa harus diperingatkan di depan umum). Bila pelanggar itu tidak membenahi hidupnya sesudah peringatan di bawah empat mata, pelanggarannya diberitahukan kepada Gereja, dan bila ia belum juga menyatakan penyesalan, ia harus sungguh-sungguh diperingatkan dalam Nama Kristus oleh seluruh Gereja, yaitu melalui pelayanan para Penatua Gereja. Jika tindakan disiplin ini pun tidak cukup kuat sehingga ia tidak menyesal, ia harus dibuang dari Gereja melalui pengucilan, dengan persetujuan Gereja.

XX. Oleh karena semua orang percaya wajib bergabung dengan Gereja yang tertentu bila dan di mana mereka sempat berbuat begitu, maka tidak seorang pun boleh diterima ikut mengambil bagian dalam hak-hak istimewa Gereja-gereja, jika ia tidak tunduk pada peraturan Kristus berkenaan dengan tindakan tindakan disiplin yang termasuk tata pemerintahan Gereja.

XXI. Demikianlah cara yang diperintahkan oleh Kristus dalam hal pelanggaran. Maka itu, tidak seorang pun anggota Gereja, bila orang melakukan pelanggaran terhadap dirinya, dan ia telah menunaikan kewajibannya terhadapnya dalam hal ini, boleh mengganggu ketertiban gereja atau berhenti menghadiri kumpulan- kumpulan umum atau penyelenggaraan upacara-upacara gerejawi apa pun dengan dalih itu. Sebaliknya, hendaknya ia menantikan Kristus bertindak dalam tindakan lanjutan Gereja.

XXII. Kristus telah menempatkan kuasa menjalankan disiplin dalam Gereja tersendiri.' Maka seharusnya kuasa itu dijalankan hanya terhadap anggota-anggota tersendiri setiap Gereja, dalam kualitasnya itu. Tidak diberikan-Nya kuasa kepada Sinode atau Sidang Gerejawi apa pun untuk mengucilkan, atau dengan pengumuman resmi mengancamkan pengucilan atau tindakan disiplin lain kepada Gereja-gereja, tokoh-tokoh pemerintahan, atau rakyatnya, dengan alasan apa pun. Sebab, tidak patut seorang pun kena disiplin kecuali karena kelakuan yang tak pantas selaku anggota Gereja yang tertentu.

XXIII. Gereja adalah perkumpulan'orang-orang yang berhimpun untuk merayakan upacara-upacara gerejawi seturut penetapan Kristus. Meskipun demikian, belum tentu salah satu perkumpulan yang berhimpun untuk maksud atau tujuan itu sebab mereka hidup bersama dalam batas salah satu lingkungan atau wilayah sipil, dengan demikian merupakan Gereja, sebab mungkin saja mereka kekurangan sesuatu yang pada hakekatnya dibutuhkan untuk itu. Karena itu, seorang percaya yang hidup bersama orang lain dalam lingkungan seperti itu boleh bergabung dengan Gereja apa pun untuk mencari pembinaan.

XXIV. Untuk menghindari timbulnya perselisihan pendapat, demi meningkatkan suasana khidmat dalam perayaan upacara-upacara gereja yang ditetapkan oleh Kristus, dan untuk membuka jalan agar karunia-karunia serta anugerah-anugerah Roh Kudus semakin bermanfaat, maka orang-orang Kudus yang hidup dalam satu kota besar atau kecil, atau dalam jarak yang memungkinkan mereka dengan agak mudah berkumpul demi ibadah ilahi, sebaiknya bergabung dalam satu Gereja dengan maksud saling menguatkan dan membangun, dan tidak mendirikan sejumlah besar perkumpulan tersendiri.

XXV. Tiap-tiap Gereja, dan semua anggotanya, wajib berdoa terus-menerus demi kebaikan dan kesejahteraan semua Gereja Kristus di segala tempat, dan pada segala kesempatan berbuat sedapat mungkin untuk mengupayakannya (yakni tiap-tiap orang dalam batas tempat dan panggilannya, dalam pelaksanaan bakat serta karunia yang dimilikinya). Maka itu, seharusnya Gereja-gereja itu sendiri (bila telah ditanamkan oleh pemeliharaan Allah sehingga memiliki kesempatan dan sanggup melakukannya) memelihara persekutuan di antaranya demi perdamaian, pertambahan kasih, dan pembangunan yang satu terhadap yang lain.

XXVI. Bila muncul kesulitan, atau perselisihan pendapat, apakah dalam hal ajaran atau dalam hal pelayanan, yang menyangkut Gereja-gereja pada umumnya atau mengganggu perdamaian, persatuan, dan pembangunan salah satu Gereja pada khususnya, ataupun menyakiti hati salah satu atau beberapa anggota Gereja disebabkan tindakan disiplin yang tidak sesuai dengan kebenaran dan ketertiban, maka menurut kehendak Kristus sejumlah Gereja yang memelihara persekutuan perlu berkumpul dalam Sidang Sinode dengan diwakili oleh utusan-utusan mereka, untuk mempertimbangkan pokok perselisihan paham itu dan memberi nasihat tentangnya, yang kemudian akan diberitahukan kepada semua Gereja yang bersangkutan. Akan tetapi, kepada Sinode-sinode yang terkumpul itu tidaklah dipercayakan kuasa Gereja dalam arti yang sebenarnya, atau kuasa hukum atas Gereja-gereja itu sendiri, sehingga mereka bisa menjalankan tindakan disiplin apa pun terhadap Gereja atau tokoh apa pun, atau bisa memaksakan keputusannya kepada Gereja- gereja atau pejabat-pejabat.

XXVII. Selain Sidang-sidang Sinode yang diadakan khususnya berhubung dengan perkara yang tertentu, Kristus tidak menetapkan Sinode tetap apa pun dalam lingkungan sejumlah Gereja yang tertentu, atau pejabat-pejabatnya, dalam sidang- sidang kecil ataupun besar. Kristus tidak juga menetapkan urutan Sinode-sinode dengan cara menempatkan yang satu di bawah yang lain.

XXVIII. Orang yang bergabung dalam persekutuan gereja jangan mundur dari persekutuan Gereja itu dengan seenaknya atau tanpa alasan yang wajar. Namun, bila seseorang tidak dapat bertahan dalam salah satu Gereja tanpa berdosa, apakah karena di situ tidak ada pelayanan salah satu pranata yang telah ditetapkan oleh Kristus, atau karena hak-hak yang sepatutnya ia miliki dirampas darinya, atau karena ia dipaksa melakukan sesuatu yang tidak dibenarkan oleh Firman, atau dalam hal penganiayaan, atau disebabkan tempat tinggalnya tidak cocok, maka ia boleh berunding dengan Gereja atau pejabat atau para pejabat Gereja itu dan pergi dengan damai meninggalkan persekutuan Gereja yang selama itu menjadi teman seperjalanannya, untuk kemudian bergabung dengan salah satu Gereja lain dan di sana menikmati upacara-upacara gerejawi dalam bentuk yang murni, demi pembangunan dan penghiburannya.

XXIX. Janganlah hendaknya Gereja-gereja yang sedang melakukan pembaharuan' yang terdiri dari orang-orang yang beriman sehat, dan yang cara hidupnya layak Injil, menolak memelihara persekutuan yang satu dengan yang lain, sejauh hal itu sesuai dengan asas-asasnya sendiri masing-masing, meskipun Gereja-gereja itu tidak berpegang pada aturan-aturan Gereja yang sama dalam semua hal.

XXX. Gereja-gereja yang terhimpun dan hidup sesuai dengan kehendak Kristus, dan yang menilai Gereja-gereja lain (meski Gereja-gereja itu kurang murni) sebagai Gereja-gereja sejati, pada kesempatan-kesempatan tertentu boleh menerima dalam persekutuan mereka anggota-anggota Gereja-gereja lain itu yang menurut kesaksian yang dapat dipercaya adalah orang saleh dan yang hidupnya tidak menimbulkan kehebohan.