Akulah yang Memilihmu? (Part 4)
Di usia tiga belas tahun, penulis mulai mempertanyakan kebenaran agama yang berbeda-beda, merasa kebingungan dan ketidakpastian selama bertahun-tahun tanpa jawaban dari Tuhan. Selama masa SMA di sekolah asrama dengan berbagai latar belakang agama, ia melakukan observasi dan refleksi, namun semakin keresahan muncul mengenai arti kebenaran dan keyakinan, hingga muncul teori skeptis tentang Yesus dan kekristenan. Ketidakpastian ini membawa penulis merenungkan apakah Tuhan hanya ilusi manusia dan melihat kemungkinan bahwa ajaran agama bisa saja merupakan konspirasi.
- umur tiga belas tahun
- agama
- kebenaran
- observasi
- iman
- Yesus
- konspirasi
- Di usia tiga belas, penulis mulai mencari kebenaran dari tiga agama.
- Merasa penting untuk tidak salah memilih karena konsekuensinya abadi.
- Berdoa kepada Tuhan agar mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya.
- Masuk sekolah asrama dengan berbagai latar belakang agama di sekitar.
- Observasi tentang alasan orang memilih iman tertentu di asrama.
- Kebingungan meningkat saat penulis mencari kebenaran dan jawaban dari Tuhan tidak kunjung datang.
- Mempertanyakan eksistensi Tuhan dan kebenaran agama setelah tujuh belas tahun pencarian.
- Berhasil mengembangkan teori bahwa Yesus mungkin adalah hasil konspirasi atau ilusi manusia.
- Merenungkan kemungkinan tokoh Yesus seperti yang digambarkan dalam budaya pop.
Umur tiga belas tahun, saya mulai mencari tahu jawaban dari pertanyaan yang penting dan urgent ini. Mana yang benar dari tiga agama ini?
Saya tahu kalau ini sesuatu yang tidak boleh sampai salah pilih, karena konsekuensinya itu kekal.
Tuhan, siapa pun diriMu, jika Engkau mau menjawab pertanyaan-pertanyaanku, saya berjanji akan memberitakan kebenaran ini kepada orang-orang; kepada bangsa-bangsa," pintaku dalam doa."
Tapi, Tuhan tidak menjawab-jawab. Bahkan, hingga saya menginjak SMU. Saya diterima di sekolah asrama yang dikelola dengan gaya semi-militer. Satu angkatan hanya ada dua puluh orang; sebelas siswa, sembilan siswi.
Komposisi pemeluk agama yang tinggal seatap denganku saat itu cukup berwarna. Enam Muslim, satu anak pendeta, satu penganut universalisme, satu Katolik, dan satu agnostik.
Satu asrama dengan orang dari berbagai iman, menjadi "lab" yang ideal bagiku untuk mencari tahu dan melakukan observasi; kenapa seseorang memilih iman A, bukannya B.
Makin cari tahu, malah makin bingung. Makin tanya, malah makin tidak paham. Makin tidak paham, malah makin pusing. Sampai-sampai, saya tidak tahu lagi apa definisi dari kebenaran itu. "Benarkah yang saya pikir benar itu benar-benar kebenaran?"
Tahu-tahu, tak terasa tujuh belas tahun pun berlalu, tapi jawaban itu belum juga kunjung tiba. Allah tidak menjawab- jawab doaku. "Ah, jangan-jangan Tuhan itu memang cuma ilusi manusia?" simpulku.
Satu teori menawarkan jawaban yang masuk akal. Jangan- jangan, Yesus itu anak korban perkosaan tentara Romawi? Karena besar tanpa figur Bapa, bukankah wajar jika ia banyak berkhotbah tentang Bapa di Surga?
Mungkinkah ini kebenarannya? Mungkinkah kekristenan itu hanyalah dongeng, hasil konspirasi para rasul semata?
Kalau Hollywood bisa menciptakan tokoh Rambo menjadi tokoh yang seolah-olah nyata, mungkinkah metode yang sama diterapkan pada tokoh Yesus ini?
>http://youtu.be/TywlLxR7kQsBersambung...Soli Deo Gloria