Akulah yang Memilihmu? (Part 2)
Debat politik dan agama memiliki dampak yang berbeda; debat politik berkaitan dengan pilihan lima tahun ke depan, sedangkan debat agama menentukan nasib kekal setelah kematian. Allah adalah keberadaan yang abadi, sementara ciptaan memiliki awal dan akhir, dengan manusia memiliki jiwa yang terus ada setelah mati. Kesalahan dalam memilih agama bisa memiliki konsekuensi abadi, oleh karena itu penting untuk mencari kebenaran sebelum terlambat.
- debat politik
- debat agama
- keberadaan Allah
- kekekalan jiwa
- kesamaan genetik manusia dan simpanse
- konsekuensi pilihan Allah
- urusan penting hidup
- Debat politik mempengaruhi kehidupan jangka pendek, sedangkan debat agama berimplikasi pada kehidupan setelah kematian.
- Allah ada dalam hal kekekalan, sementara ciptaan memiliki awal dan sebagian memiliki akhir.
- Simpanse dan manusia memiliki kesamaan genetik dan awal keberadaan, namun nasib mereka berbeda setelah kematian.
- Manusia tidak memiliki akhir; jiwanya tetap ada setelah kematian.
- Kesadaran akan kehidupan kekal ada pada setiap manusia, meskipun mereka mungkin tidak menyadarinya secara mendalam.
- Pemikiran bahwa hidup hanya berakhir dengan kematian adalah salah, meskipun banyak yang berpikir demikian.
- Memilih Allah adalah urusan yang sangat penting dengan konsekuensi kekal, berbeda dengan keputusan lainnya yang hanya berdampak jangka pendek.
- Keputusan untuk memahami dan memilih jalan spiritual tidak bisa ditunda; ada urgensi untuk mencarinya.
Buat apa debat politik dan agama itu?" tanya seorang teman.
"Debat politik menentukan nasibmu lima tahun ke depan. Kalau salah, tinggal diubah pilihanmu di Pemilu berikutnya. Debat agama menentukan nasibmu setelah kematian. Benar atau salah pilihanmu, konsekuensinya kekal," jawabku.
Allah itu ada, dari kekekalan sampai dengan kekekalan. Berbeda dengan keberadaan Allah, semua yang diciptakan Allah itu dari tadinya "tidak ada", lantas menjadi "ada."
Ciptaan pasti memiliki awal, walau tidak semua memiliki akhir. Simpanse memiliki awal; dari yang tadinya "tidak ada," ia kemudian menjadi "ada." Ia memiliki akhir, karena ketika ia mati, maka dari "ada" langsung menjadi "tidak ada."
Menurut para ahli, simpanse memiliki kesamaan genetik dengan manusia hingga 98%. Andai ini benar, walau cuma berbeda 2%, nasib kedua ciptaan ini berbeda total.
Manusia memiliki awal; dari yang tadinya "tidak ada," ia kemudian menjadi "ada." Tapi, ia tidak memiliki akhir; karena ketika ia mati, jiwanya tetap "ada;" tidak lantas lalu menjadi "tidak ada."
Sejelek apapun wajahmu saat ini, engkau tercipta untuk kekekalan; tanpa ada akhir. Karena itu, setiap manusia, sejahat apapun, pernah berdoa dalam hidupnya. Ada satu kesadaran dalam sanubarinya kalau hidup di dunia ini tidak akan berakhir begitu saja.
Stephen Hawking pernah menyatakan hidup manusia itu seperti komputer. Ketika sudah dimatikan listriknya, ya sudah, mati begitu saja. Hati terdalam kita langsung tahu bahwa itu pemikiran yang salah, walau kita bukan PhD (Doktor filsafat, gelar akademik tertinggi pada banyak bidang keilmuan - Red.) di bidang kosmologi seperti dia.
Ada suara yang terus mengingatkan kalau hidup ini cuma sementara; bahwa ada kelanjutannya ketika semua ini telah berakhir.
Lantas, Allah yang mana yang menanti manusia di akhir kehidupannya kalau begitu?
Salah pilih istri, pahit-pahitnya mungkin cuma untuk lima puluh sampai enam puluh tahun ke depan. Salah pilih teman bisnis, pahit-pahitnya cuma bangkrut saja. Tapi kalau sampai salah pilih Allah, konsekuensinya itu kekal.
Ini urusan yang teramat penting untuk dicari tahu jawabannya. Tidak bisa “tarsok-tarsok”, karena mungkin tidak pernah ada hari esok lagi untukmu; seperti halnya bagi para penumpang MH370 (Malaysia Airlines Penerbangan 370 - Red.), yang entah ada di mana sekarang sampai dengan hari ini.
download audiohttp://youtu.be/85eOEHl-PqM bersambung...