Pandangan Tentang Waktu

Editorial: 

Dear e-Reformed Netters,

Setelah sekian lama tidak berjumpa, senang sekali akhirnya kami bisa menjumpai lagi para pelanggan e-Reformed. Doa kami, kiranya Anda memaafkan keabsenan e-Reformed selama satu setengah tahun terakhir ini dan menyambut baik kemunculan kembali e-Reformed di tahun 2012.

Edisi Januari 2012 di bawah ini ingin mengajak Anda untuk merenungkan kembali tentang konsep WAKTU, sebuah artikel yang kami ambil dari buku yang berjudul "Waktu dan Hikmat" yang merupakan transkrip khotbah dari Pdt. Dr. Stephen Tong.

Melalui perenungan artikel ini saya berharap Anda akan lebih berhati-hati menggunakan waktu Anda, dan menggunakannya untuk sesuatu yang bermakna kekal. Kalau selama ini Anda hanya melewatkan waktu seadanya saja, tanpa dipikirkan, semoga setelah membaca artikel ini Anda bertobat dan bisa menjadi lebih berhikmat karena tahu bahwa waktu adalah anugerah kesempatan yang Tuhan berikan untuk melakukan apa yang berkenan kepada-Nya, yaitu memuliakan nama-Nya. Mari kita menjalani tahun 2012 dengan cara pandang waktu yang alkitabiah sehingga Tuhan dimuliakan melalui hidup kita dan kita tidak memakai hidup kita dengan sia-sia.

Selamat menyimak.

Pemimpin Redaksi e-Reformed,

Yulia Oeniyati
< yulia(at)in-christ.net >
< http://reformed.sabda.org >
Penulis: 
Pdt. Dr. Stephen Tong
Edisi: 
124/Januari 2012
Tanggal: 
01-02-2012
Isi: 
Pandangan tentang Waktu

Pandangan tentang Waktu

"Kita perlu pula memikirkan kembali pandangan orang-orang dunia mengenai waktu. Mereka sering berkata, 'Time is Money' -- Waktu adalah uang."

Apakah Waktu Itu?

Agustinus mengakui, "Kalau ditanyakan pada saya, baru saya sadar bahwa saya tidak mengerti apa itu waktu." Seorang sastrawan Cina pernah berkata, "Waktu adalah sesuatu yang tidak kelihatan, tetapi begitu nyata." Pada waktu kita berjalan, waktu itu lewat di antara kaki kita. Pada waktu kita tidur, "waktu" sedang lewat di sekitar tempat tidur kita. Ini semua memberikan keinsafan kepada kita, bahwa waktu sedang kita pakai, baik secara sadar maupun tidak. Kita sedang menjelajah di dalam sejarah, memakai waktu yang diberikan Tuhan kepada kita.

Di dalam sejarah filsafat, kita melihat pada abad ke-20, kesadaran dan kepekaan tentang waktu yang ditulis oleh banyak orang. Salah seorang pemikir terbesar dari Jerman di abad ke-20, yang bernama Martin Heidegger (1889-1976), menulis buku Being and Time, (1927) -- Keberadaan dan Waktu, yang tebalnya lebih dari 1500 halaman. Kesimpulannya, manusia harus hidup secara otentik, hidup di dalam waktu. Akan tetapi, para penganut eksistensialisme yang lebih pesimis mengatakan bahwa, keadaan dari keberadaan akan ditelan oleh ketidakberadaan. Maksudnya, ketika waktu kita selesai, kita akan menjadi nihil. Ini bukan konsep Kristen, tetapi konsep ini sudah muncul dalam pemikiran beberapa tokoh eksistensialisme sayap kiri yang ateis, seperti Jean-Paul Sartre (1905-1980). Inilah pemikiran orang-orang yang belum mengenal kebenaran, keberadaan manusia menuju kepada keberadaan yang nihil atau kosong. Artinya, sekarang kita ada, hidup dan menikmati segala sesuatu. Akan tetapi, pada suatu hari, pada waktu kita mati, segalanya selesai dan tidak ada apa-apa.

Waktu

Kita sudah belajar bahwa salah satu hal yang paling sulit untuk kita mengerti mengenai waktu adalah realitas waktu itu sendiri. Ada beberapa butir yang penting mengenai waktu. Pertama, waktu merupakan sesuatu esensi proses di dalam dunia yang relatif; waktu berkaitan dengan proses. Segala sesuatu yang berada di dalam proses tidak bersifat mutlak. Ini dalil yang sangat penting. Hanya Allah yang bersifat mutlak. Allah adalah Pencipta langit dan bumi; Dia telah menciptakan dunia relatif, maka Dia sendiri tidak terikat atau terbatas di dalam dunia relatif. Itulah sebabnya Allah tidak memerlukan proses; Dia adalah "I Am that I Am" -- Yang Ada dan Kekal Sampai Kekal, Yang Tidak Berubah. Akan tetapi, kita semua yang diciptakan di dalam dunia mengalami proses, dan di dalam proses kita memerlukan waktu, dan proses mengalami suatu esensi waktu. Itulah sebabnya, waktu adalah esensi dari proses di dalam dunia relatif.

Kedua, waktu merupakan suatu harta milik yang bersifat paradoks dan eksistensi kita. Uang, rumah, mobil, emas, dan segala sesuatu yang kita miliki merupakan harta milik kita di luar diri kita, tetapi waktu merupakan harta milik di dalam diri kita. Jadi, waktu merupakan sesuatu yang begitu penting dan serius, karena waktu adalah harta milik yang selalu dijalankan oleh manusia. Banyak orang mementingkan uang, harta di luar diri mereka, dan menggantinya dengan harta di dalam diri mereka; sering kali mereka merasa menjadi orang yang sangat pandai karena bisa mendapatkan banyak uang. Namun, pada saat mereka kehilangan waktu yang ada dalam diri mereka untuk mendapatkan sesuatu yang nilainya kurang daripada waktu, mereka sebenarnya adalah orang-orang bodoh. Setelah mereka mendapatkan segala sesuatu, pada waktu mereka akan mati, mereka baru menyadari bukan saja semua itu tidak bisa dibawa mati, tetapi juga mereka sudah menghamburkan waktu yang penting untuk hal yang tidak bernilai kekal.

Uang memang penting dan kita perlukan, tetapi uang tidak pernah menjadi lebih penting daripada hidup kita. Mengapa kita harus menghabiskan waktu berpuluh-puluh tahun hanya untuk uang; beruang hanya untuk satu nilai? Salah satu penilaian yang paling tidak bernilai adalah penilaian yang diwarisi oleh kebudayaan Tionghoa, "Nilai satu-satunya adalah uang." Apakah bangsa yang paling mementingkan (mengejar) uang menjadi bangsa yang terkaya di dunia? Belum tentu! Sayang sekali, jika manusia tidak mempunyai tujuan hidup yang lain, kecuali mencari uang; mereka sebenarnya adalah orang-orang miskin. Kita tidak boleh lupa, waktu yang ada pada kita adalah harta milik yang sangat penting dan paling berharga, dan yang tidak dapat digantikan oleh apa pun.

Musa begitu sadar akan hal ini. Dia adalah orang pertama yang mendapat wahyu Tuhan tentang ciptaan, tentang segala perubahan, tentang banjir besar pada zaman Nuh, tentang permulaan dosa dan kematian, dan dia orang pertama yang mencatat sejarah manusia. Waktu Musa mencatat, dia menyadari orang pertama (Adam) 930 tahun umurnya, yang paling tua (Metusalah) 969 tahun. Nuh 950 tahun, Abraham 175 tahun, Harun 123 tahun, dan Musa sendiri 120 tahun. Sedangkan orang-orang sezamannya kebanyakan hanya berusia 70 sampai 80 tahun. Dari sinilah Musa mempunyai kesadaran yang belum pernah ada pada orang lain. Kesadaran ini begitu dalam di dalam diri Musa, sehingga dia menuliskan, "Tuhan, hari-hari kami dihanyutkan, dihanguskan di dalam gemas dan kemarahan-Mu".

Konsep waktu kita mengerti dengan jelas pada waktu kita mempunyai keadaan yang memiliki relasi dengan Tuhan Allah. Kalau kita tidak hidup tanpa kesadaran eksistensi menghadap Tuhan Allah, kita akan hidup tanpa kesadaran akan waktu. Inilah perbedaan antara manusia dengan binatang. Manusia diciptakan bagi Allah, dengan pengertian dan kesadaran menghadap Allah, maka manusia mempunyai kemungkinan kesadaran akan waktu, sedangkan binatang tidak. Binatang tidak pernah sadar bahwa waktu sedang memproses mereka menjadi tua dan mati. Musa adalah orang yang paling mengerti paradoks tentang waktu ini.

Ketiga, waktu merupakan suatu realitas yang berhubungan dengan ruang. Semua yang diciptakan Allah mempunyai tiga unsur yang paling penting, yaitu ruang, waktu, dan eksistensi. Ruang dan waktu merupakan wadah eksistensi segala yang diciptakan Allah. Maksudnya, Allah menciptakan segala sesuatu dan segala sesuatu itu ditaruh di dalam dua wadah, yaitu ruang dan waktu. Sering kali kita hanya memikirkan ruang sebagai wadah, padahal waktu pun merupakan wadah. Jadi, ruang dan waktu merupakan wadah yang menampung eksistensi kita; ini penting kita sadari. Dalam surat kabar, kedua wadah ini secara tidak sadar diakui, hari ini tanggal ..., terbit ... halaman. Demikian juga di batu-batu nisan, lahir di ..., tanggal/tahun ...

Banyak orang hanya memikirkan soal ruang; sudah berapa luas tanah yang mereka beli, rumah yang mereka miliki, uang dan kekayaan yang mereka punyai, dan sebagainya. Sedangkan soal waktu mereka sama sekali buta. Mengapa sering kali manusia hanya melihat ruang sebagai wadah dan kurang bisa memandang waktu juga sebagai wadah? Karena sebagai wadah, ruang kelihatan lebih konkret dibandingkan dengan waktu. Orang yang bijaksana mempunyai kepekaan terhadap waktu, dan waktu dengan ruang diseimbangkan; orang ini akan mempunyai kekuatan yang luar biasa di dalam hidupnya.

Pengertian dan kesadaran akan waktu ini penting sekali. Dan kalau kita mau menggarap pekerjaan Tuhan, kita tidak boleh membuang-buang waktu hanya untuk perselisihan dan saling mengkritik. Ada orang yang demikian sempit di dalam memandang Kerajaan Allah. Paulus berkata, "Asal Injil (Kristus) diberitakan, baik dengan maksud palsu maupun dengan jujur." (Filipi 1:18) Dia melihat waktu lebih penting daripada metode dan yang lainnya. Akan tetapi, ini tidak berarti motivasi kita di dalam melayani Tuhan tidak penting, karena kita akan bertanggung jawab di hadapan Tuhan.

Keempat, waktu merupakan kebutuhan bagi benda bergerak di dalam ruang. Pada waktu suatu benda di dalam ruang bergerak, mendatangkan dimensi yang keempat. Apakah hal-hal rohani termasuk dimensi keempat? Bukan, karena hal-hal rohani termasuk dimensi tidak terbatas. Kalau kita mengerti hal-hal rohani hanya di dalam dimensi keempat, ini akan menjadi sangat sempit (dangkal). Sebenarnya, istilah dimensi keempat ini sudah dipakai di dalam bidang fisika sebelum tahun empat puluhan oleh Albert Einstein; dia mengatakan bahwa ruang adalah tiga dimensi, tetapi waktu termasuk dimensi keempat. Pada waktu titik bergerak menjadi garis, garis bergerak menjadi bidang, bidang bergerak menjadi ruang, dan pada saat ruang bergerak memerlukan waktu; inilah yang dimaksud oleh Einstein sebagai dimensi keempat.

Dimensi keempat ini hanyalah merupakan suatu pelengkap dimensi ketiga (ruang); keduanya sama-sama diciptakan Allah sebagai wadah bagi ciptaan. Sedangkan hal-hal rohani, hubungan kita dengan Tuhan, termasuk dimensi tidak terbatas, jauh lebih tinggi daripada dimensi keempat; semua yang terbatas tidak mungkin mengerti hal rohani. Di dalam peribahasa Tionghoa kuno, alam semesta dilukiskan dengan dua istilah. Istilah pertama, berarti atas, bawah, dan keempat sudut. Istilah kedua berarti dulu, sekarang, dan selama-lamanya. Atas, bawah, dan keempat sudut melukiskan ruang. Dulu, sekarang, dan seterusnya melukiskan garis waktu. Maka, ruang dan waktu membentuk alam semesta. Demikianlah waktu merupakan dimensi yang keempat, yang memperlengkapi ketiga dimensi lain yang menjadi unsur pertama.

Pada waktu Musa sudah tua, dia mengetahui usianya sudah cukup panjang, dan dia sadar waktu hidupnya sudah semakin singkat. Dia mau masuk ke dalam tanah yang dijanjikan Tuhan; waktunya sudah terbatas, tetapi ruangnya masih banyak sekali. Lalu, dia mohon kepada Tuhan, "Izinkanlah aku masuk ke tanah yang Kau janjikan itu." Namun, Tuhan berkata, "Tidak, karena engkau pernah tidak menguduskan Aku di hadapan umat-Ku" (Bilangan 27:12-14; Ulangan 3:23-27; 32:48-52). Tuhan hanya memerintahkan Musa naik ke puncak gunung Pisga dan memandang tanah perjanjian itu, tetapi dia tidak diperkenankan masuk ke sana; ruangnya bisa dilihat, tetapi waktunya tidak ada lagi.

Kelima, waktu merupakan suatu wadah untuk menampung segala peristiwa sejarah. Sejarah dicatat dalam buku, tetapi sejarah tidak ditampung di dalam buku, melainkan di dalam waktu. Waktu membentuk sejarah. Waktu dan kejadian-kejadian yang berada di dalam kelangsungan proses waktu membentuk keseluruhan sejarah; dan ini merupakan suatu hal yang sangat serius. Wells, seorang sejarawan Inggris yang bukan Kristen, pernah berkata, "Setiap titik dari sejarah demikian dekat pada Allah." Sayangnya, kita tidak mempunyai kesempatan untuk menanyakan apa maksud perkataannya itu sebenarnya. Akan tetapi, kebanyakan orang yang menyelidiki sejarah memang mempunyai kepekaan yang luar biasa tentang waktu. Mengapa tidak semua yang terjadi di dalam waktu dicatat sebagai sejarah? Karena dianggap tidak bermakna. Hanya kejadian-kejadian yang bermakna yang dikumpulkan dan dicatat sebagai sejarah.

Konsep waktu kita mengerti dengan jelas pada waktu kita mempunyai keadaan yang memiliki relasi dengan Tuhan Allah.

FacebookTwitterWhatsAppTelegram

Di dalam bahasa Yunani (bahasa yang dipakai Allah untuk mewahyukan kebenaran Kitab Suci), kata yang dipakai untuk waktu ada dua, yaitu "kronos" dan "kairos". "Kronos" adalah urutan waktu, sedangkan "kairos" menunjukkan hakikat waktu. Orang Yunani sangat peka mengenai waktu, sehingga waktu dibagi ke dalam 64 tenses. Bahasa Inggris mempunyai 16 tenses. Bahasa Indonesia tidak mengenal sistem seperti ini. Kalau kita memelajari kebudayaan Yunani sebelum Kristus datang ke dunia, kita akan merasa kagum. Di dalam seni, mereka berusaha memakai ruang untuk menangkap waktu, dan hal ini diwariskan sampai Renaissance, bahkan hingga zaman modern. Lukisan, ukiran, dan patung-patung seni yang bermutu selalu berusaha menggabungkan ruang dan waktu. Banyak karya seni yang tinggi mencetuskan filsafat atau pikiran orang-orang yang berbobot, dan mengajar kita sebagai manusia yang pernah hidup di dalam dunia, untuk tidak membiarkan waktu kita lewat bersama ruang yang sekaligus menjadi wadah (penampung) dari eksistensi kita. Apalagi sebagai orang Kristen, kita harus mempunyai kepekaan mengenai waktu yang melebihi orang-orang yang bukan Kristen.

Konsep Mengenai Waktu

Kita perlu memikirkan kembali pandangan orang-orang dunia mengenai waktu. Mereka sering berkata, "Time is Money" -- waktu adalah uang. Pepatah ini bodoh sekali. Waktu bukan uang; kalau waktu adalah uang, maka kita bisa menukar waktu dengan uang. Ada peribahasa mengatakan, "Lebih mudah mencari uang dengan waktu, tetapi tidak mudah dengan uang mencari waktu." Pepatah Tionghoa kuno mengatakan, "Satu inci waktu sama dengan satu inci emas nilainya, tetapi satu inci emas tidak bisa menggantikan satu inci waktu." Kalau orang di Barat berkata, "Time is Money", maka orang di Timur (Tionghoa) berkata "Time is money, but money is not time". Kalau waktu bukan uang, bagaimanakah kita memandang waktu?

Waktu adalah Hidup

Berapa panjang hidup kita, itulah seberapa panjang waktu kita; selesai hidup kita, selesai pula waktu kita; berhentinya eksistensi kita ditentukan berhentinya waktu yang ada pada kita. Kalau kita benar-benar mencintai diri kita sendiri, cintailah waktu yang ada pada hidup kita sendiri. Apa yang dapat kita kerjakan sekarang, jangan tunda sampai besok; apa yang bisa kita pelajari di masa muda, jangan tunggu sampai tua. Berapa banyak orang yang menyesali hidupnya; mengeluh karena tidak mungkin memutar kembali (mengembalikan) sejarah atau waktu yang sudah lewat. Penyesalan merupakan suatu kesedihan yang perlu kita prihatinkan, tetapi kita tidak mempunyai daya apa-apa untuk menolong, karena penyesalan berarti mengakui ketidakberdayaan diri kita yang berada di dalam keterbatasan. Agar hidup kita tidak penuh penyesalan, kita harus cepat-cepat mengerjakan apa yang Tuhan inginkan kita kerjakan sekarang.

Waktu adalah Kesempatan.

terbenam

Sebenarnya waktu lebih daripada kesempatan, tetapi setiap kesempatan tidak mungkin berada di luar waktu. Semua kesempatan berada di dalam waktu. Hal ini tidak berarti kita boleh memilih setiap kesempatan berdasarkan interes (keinginan/kecenderungan) kita sendiri, tetapi kita harus peka terhadap pimpinan Tuhan, lalu kita menangkap semua kesempatan yang penting.

Di dalam mitologi Yunani, dewa kesempatan dilukiskan dengan kepala botak di bagian belakang dan rambutnya hanya di bagian depan, dan mempunyai sayap di kakinya, sehingga dewa kesempatan berjalan cepat sekali. Dewa kesempatan jarang lewat, maka manusia harus mencarinya. Kalau dewa kesempatan itu lewat dan manusia berusaha mengejarnya; ia tidak mungkin dapat mengejarnya, karena ia mempunyai sayap di kakinya. Lagi pula, kita tidak bisa menangkapnya dari belakang, karena kepala bagian belakangnya botak. Akan tetapi, kalau manusia sudah bersiap-siap untuk menangkapnya sebelum dia tiba, dan begitu dia tiba langsung menangkapnya, masih bisa menangkapnya dengan memegang rambutnya yang di depan. Kita tidak memercayai mitologi mana pun, tetapi di dalam mitologi seperti itu ada pelajaran yang bisa kita dapatkan. Hal ini digabungkan dengan tiga kalimat, "Orang bodoh selalu membuang kesempatan; orang biasa menunggu kesempatan; orang pandai (bijaksana) mencari kesempatan". Kalau hari ini kesempatan itu datang, biarlah kita sudah bersiap-siap menangkapnya. Ketika banyak kesempatan yang disodorkan kepada kita, kita harus memilih yang terpenting.

Hidup kita hanya sekali; kita tidak kembali lagi setelah mati. Kita harus mengerjakan apa yang Tuhan ingin kita lakukan selama hari masih siang, sebab pada waktu malam tidak ada seorang pun dapat bekerja (band. Yohanes 9:4).

Waktu adalah Catatan (Red.: "legacy" (Ingr))

Yakni catatan segala sesuatu di dalam hidup pribadi kita masing-masing. Tidak ada yang lebih serius dibandingkan dengan waktu, karena segala sesuatu dicatat di dalam waktu; segala sesuatu akan dan harus kita pertanggungjawabkan di hadapan Pencipta, Penebus, dan Hakim kita yang agung. Segala yang kita pikirkan dan kerjakan pasti akan memperhadapkan kita kepada Tuhan Allah, dan pada waktu itu kelak tidak ada seorang pun dapat menolong kita. Biarlah sekarang juga kita bertobat, meninggalkan segala dosa, memperbaiki kehidupan kita masing-masing, dan serahkan diri kepada Tuhan. Selama kita masih ada waktu untuk hidup, selama masih bereksistensi, selama masih diberikan kesempatan oleh Tuhan, biarlah kita gunakan waktu kita sebaik-baiknya.

Kita tidak mengetahui hidup kita di dunia ini berapa lama. Marilah kita masing-masing menanyakan diri kita sendiri, "Sebelum saya pergi menuju kekekalan, menghadap Tuhan, apa yang sudah saya persiapkan dan yang akan saya persembahkan kepada-Nya?" Biarlah setiap kita mempunyai kesadaran akan waktu.

Audio: Pandangan tentang Waktu

Sumber: 

Diambil dari:

Judul buku :Waktu dan Hikmat
Judul bab :Pandangan Tentang Waktu
Penulis :Pdt. Dr. Stephen Tong
Penerbit :Lembaga Reformed Injili Indonesia, Jakarta 1994
Halaman :29 -- 38

Melawan Kebohongan Gerakan Pengembangan Diri -- (Bagian 1)

Editorial: 

Dear e-Reformed Netters,

Saya minta maaf sebesar-besarnya karena untuk beberapa saat e-Reformed tidak mengirimkan artikel. Semoga dengan pengiriman ini, Anda tidak lagi perlu menunggu. Doakan juga supaya pengiriman selanjutnya bisa kembali dilakukan secara teratur.

Kali ini saya mengirimkan sebuah artikel yang cukup panjang, karena itu saya akan membaginya menjadi dua bagian (dalam dua surat terpisah). Artikel ini adalah salah satu bab dari buku yang berjudul: "Help Yourself; Today's Obsession with Satan's Oldest Lie". Buku ini sangat menarik karena ditulis oleh seorang yang sangat prihatin melihat perkembangan gerakan pengembangan diri yang dilakukan oleh motivator-motivator yang notabene 'Kristen' tetapi sebenarnya mereka justru lebih banyak melawan konsep-konsep dasar iman Kristen. Tapi anehnya banyak orang Kristen, khususnya di Indonesia, yang tidak tanggap sehingga ikut terbawa arus jaman yang sangat trendi pada 5 tahun terakhir ini.

Yang lebih menakutkan lagi adalah pemimpin-pemimpin gereja pun ikut tergiur dengan penyesatan ini sehingga banyak gereja yang ikut-ikut mengadakan berbagai seminar-seminar motivasi yang bertemakan tentang, self-esteem/rasa percaya diri, berpikir positif, aktualisasi diri, keberhasilan/kesuksesan/kebahagiaan, pengembangan kepribadian yang holistik, kepemimpinan yang berpusatkan pada kekuatan/kharisma diri, dll.. Pemimpin gereja-gereja kecil, yang tidak mungkin bisa mengundang para motivator besar yang 'mahal', biasanya dengan diam-diam mulai membaca buku-buku motivasi pengembangan diri yang sekarang banyak sekali memenuhi toko-toko buku umum dan Kristen. Mereka melihat kunci ketidakberhasilan dirinya dan gerejanya bukan pada hal yang rohani tetapi pada diri, kepribadian dan sumber-sumber sekular yang jauh dari kebenaran Allah.

Penulis artikel di bawah ini sangat kuatir melihat trend gerakan pengembangan diri jaman ini yang dengan sangat mudah menyeret dan membohongi orang-orang Kristen untuk tidak lagi melihat Allah sebagai sumber kekuatan hidupnya, tetapi pada hal-hal lain. Karena itu, ia memberikan jalan keluar bagi mereka yang sedang atau yang sudah terlanjur tercebur dalam arus penyesatan ini dengan langkah-langkah yang tepat, yaitu:

  1. Mempelajari Alkitab
  2. Mempelajari Sejarah Gereja
  3. Pelajarilah Kredo-Kredo Gereja
  4. Mempelajari Apologetika
  5. Belajar Untuk Menerima Paradoks
  6. Mengevaluasi Buku-Buku Kehidupan Kristen
  7. Ingatlah Siapa Musuh Kita

Silakan membaca dan merenungkan seluruh artikel ini dengan teliti. Marilah kita dengan rendah hati segera kembali ke jalan yang benar dan kembali menempatkan dasar-dasar iman Kristen kita di atas "Batu Karang yang Teguh" supaya tidak mudah diombang-ambingkan oleh berbagai ajaran penyesatan yang ditawarkan oleh setan.

Selamat menyimak. In Christ, Yulia Oeniyati < yulia(at)in-christ.net > http://fb.sabda.org/reformed

Penulis: 
Stephanie Forbes
Edisi: 
No. 122/VI/2010
Tanggal: 
25-6-2010
Isi: 
Melawan Kebohongan Gerakan Pengembangan Diri (Bagian 1)

Adalah tugas utama seorang penulis untuk mengamati dan memberikan komentar kepada masyarakat sekitarnya, alih-alih menawarkan solusi- solusi kepada permasalahan-permasalahan mereka. Seperti para seniman lainnya, para penulis mengangkat pertanyaan-pertanyaan yang tidak harus mereka jawab sendiri. Tujuan seorang penulis adalah membuat pembaca berpikir.

Ada hal-hal yang dapat dan perlu kita lakukan sebagai orang-orang Kristen untuk melindungi diri kita melawan godaan kebohongan dari (penulis-penulis) gerakan pengembangan diri. Oleh karena itu, saya menawarkan saran-saran saya dalam artikel ini dengan kerendahan hati.

1. Mempelajari Alkitab

Garis perlindungan pertama kita melawan kebohongan musuh adalah Alkitab. Yesus sendiri menggunakan firman Allah untuk melawan serangan Iblis; Paulus membimbing Timotius dan mengatakan, "Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik"[1]. Dalam salah satu konfrontasinya dengan orang-orang Saduki, Yesus mengatakan bahwa mereka jatuh kepada kesalahan karena mereka tidak mengetahui Alkitab - - ini tudingan serius untuk orang Yahudi terpelajar mana pun. Bahkan kecaman Yesus, "Tidakkah kamu baca apa yang difirmankan Allah kepadamu," lebih keras daripada bantahan yang biasa dikeluarkan oleh para pendebat Yahudi, yang mengatakan kepada lawan-lawan mereka, "pergi dan baca" bagian firman Allah untuk menyudahi suatu argumen. Dalam tudingan-Nya, Yesus tidak hanya menekankan pentingnya Alkitab dalam kehidupan bangsa pilihan Allah, tetapi Dia juga menyalahkan mereka karena melalaikan tugas mereka kepada Tuhan, yaitu mempelajari Alkitab[2].

Kecaman Yesus bahkan lebih tepat lagi ditujukan untuk zaman sekarang. Pada orang-orang Kristen, baik kaum Protestan maupun Injili, karena terdapat jurang pemisah yang lebar antara pengetahuan mereka dan Alkitab. Menurut jajak pendapat Gallup, sekalipun delapan dari sepuluh orang AS mengaku bahwa ia orang Kristen, pengetahuan dasar Alkitab mereka mencapai titik terendah [di Amerika]. George Gallup, yang memiliki perusahaan untuk melakukan penelitian terhadap tren-tren rohani selama lima puluh tahun terakhir, mengatakan bahwa orang-orang AS tidak tahu apa yang mereka percayai ataupun mengapa mereka percaya. Gallup juga percaya bahwa buta Alkitab adalah masalah rohani, agama, dan kebudayaan yang serius di AS[3]. Thomas Ehrlich, profesor etika dan rektor Universitas Indiana, setuju dengan pendapat tersebut. Dia mengamati bahwa saat ini hanya segelintir mahasiswa saja yang membaca Alkitab sejak kecil[4].

Pujian

Seburuk-buruknya buta Alkitab, membelokkan (menyalahgunakan) Alkitab adalah masalah yang lebih serius lagi. Tidak memedulikan firman Allah berbeda dengan membelokkan (melakukan distorsi) firman Allah. Tidak memedulikan Alkitab hanya memengaruhi orang yang hidup dalam ketidakpedulian itu sendiri. Tetapi, membelokkan Alkitab memengaruhi semua orang yang mendengarnya -- baik orang yang percaya, lebih buruk lagi orang yang belum percaya -- yang mungkin dipengaruhi oleh interpretasi yang salah tersebut.

Distorsi Alkitab adalah taktik yang lazim digunakan di antara penulis- penulis buku pengembangan diri, baik penulis Kristen maupun non- Kristen. Salah satu penulis pengembangan diri Kristen menganjurkan kita untuk mendengar firman Allah dengan saksama, dan kita akan mendengar bahwa Allah mengatakan, Dia menyukai diri kita apa adanya[5]. Penulis teologi sukses Kristen lainnya mengutip Perjanjian Lama dan Baru secara acak untuk membuktikan bahwa Yesus adalah penjual ulung yang telah memberikan kita alat untuk meraih kekayaan dan prestasi[6]. Penulis lain mengatakan bahwa tantangan sesungguhnya dari Alkitab bukannya memberi, melainkan menerima kasih[7]. Selain itu, salah satu penulis non-Kristen yang menulis buku pengembangan diri menafsirkan perkataan Yesus "Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah" dengan mengartikan bahwa orang yang menyucikan kesadarannya akan melihat diri mereka sendiri sebagai Allah[8]. Hampir semua pengikut gerakan berpikir positif mengutip Amsal 23:7 untuk membuktikan bahwa, "apa yang engkau pikirkan, demikianlah hal itu terjadi."

"Tindakan memanipulasi Alkitab mengalir seperti sungai di sepanjang sejarah gereja. Tetapi saat ini, pelecehan seperti itu telah berubah menjadi banjir," tulis G. Walter Hansen, seorang pakar Perjanjian Baru. Ia memperingatkan kita, "jika kita menggunakan Alkitab hanya sebagai cermin untuk melihat diri sendiri, kita akan berakhir dengan melihat refleksi keinginan diri kita sendiri lebih daripada pengungkapan kehendak Allah"[9].

Namun, sebelum kita menyalahkan [para pendukung] gerakan pengembangan diri untuk pelecehan ini, kita perlu menanyakan diri kita sendiri apakah kita juga bersalah. Berapa banyak kelas-kelas pedalaman Alkitab yang Anda hadiri yang pembinanya menanyakan, "Apa makna ayat ini 'bagi Anda'?" Atau berapa kali Anda sendiri telah memimpin kelas dan menanyakan pertanyaan tersebut? Kesalahan dari pertanyaan ini adalah ia gagal memberikan perbedaan mendasar antara kepentingan pribadi dan artinya. Walt Russell, seorang pakar Alkitab, menjelaskan perbedaannya: "Arti dari sebuah tulisan tidak pernah berubah. Sebaliknya, kepentingan tulisan tersebut bagi saya atau orang lain sangat tak tetap dan fleksibel. Dengan membingungkan kedua aspek proses interpretasi ini, orang-orang Injili, memahami Alkitab dengan "interpretive relativism". Jika [sebuah tulisan] memiliki satu arti tertentu bagi Anda tapi berlawanan dengan yang saya mengerti, maka tidak ada lembaga tinggi apapun untuk bisa naik banding. Kita tidak akan pernah dapat menetapkan dan memvalidasikan interpretasi mana yang benar"[10].

Relativisme? Saya merasa tidak ada serangan lain yang lebih menjijikkan di mata orang-orang Injili daripada keyakinan relativisme. Memang benar, orang-orang Injili sering menyerang relativisme masyarakat modern, moralitas modern, etika modern, dan kebenaran modern. Akan tetapi, simaklah statistik-statistik dari jajak pendapat Barna Research Group berikut ini. Saat ditanyai tentang kebenaran absolut, 66 persen orang AS dewasa (dan jumlah mengejutkan sebanyak 72 persen orang AS antara umur 18 sampai 25 tahun) menganggap bahwa tidak ada yang namanya kebenaran absolut. Sebagian besar orang AS saat ini percaya bahwa orang dapat membantah kebenaran dan tetap merasa betul[11]. Jika kita memerhatikan jumlah orang AS yang menyatakan diri sebagai orang Injili, tampak jelas bahwa pasti ada satu atau dua orang yang menolak kebenaran absolut, dan logikanya, ia menolak pernyataan Yesus yang mengaku diri sebagai Kebenaran yang absolut itu.

Dalam kerinduan mereka untuk membuat Alkitab bermakna bagi setiap individu, dan untuk menemukan aplikasi hidup yang langsung dan pribadi, kaum Injili cenderung mengabaikan konteks sejarah, kebudayaan, dan kesusastraan dari perikop atau pasal atau kitab dari Alkitab. "Pada saat kita memercayai bahwa firman Allah berbicara kepada kita secara langsung, maka kita mengabaikan bahwa firman Tuhan berbicara tentang kebutuhan kita MELALUI konteks historis dan konteks tulisan dari penulis-penulis Alkitab," ujar Walt Russel[12]. Thomas Olden, seorang teolog, telah menggemakan pandangan ini dan mengamati bahwa beberapa orang-orang Injili "telah terpaku pada 'aku dan Alkitab, dan terutama aku,' sehingga pembacaan Alkitab terutama hanyalah untuk keinginan dari perasaan dalam diri"[13].

Jadi, bagaimana seharusnya kita mempelajari Alkitab? Pertama, kita perlu mempelajari Alkitab untuk kepentingan Alkitab itu sendiri, bukan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang kita rasakan. Kita perlu bertanya, "Apa yang Alkitab katakan?" bukan, "Apa yang Alkitab katakan kepadaku?" Jika saya mempelajari Alkitab untuk mencari bukti bahwa Allah menginginkan saya bahagia, atau sukses, atau puas, yakinlah bahwa saya akan menemukannya, karena pola pikir saya akan menentukan interpretasi saya terhadap Alkitab. Ketika saya membaca Alkitab dengan kebutuhan-kebutuhan yang saya rasakan dalam pikiran saya, saya berarti telah melucuti Alkitab dari segala kebenaran obyektifnya. Yang tersisa hanyalah relativisme cair yang berubah sesuai dengan keadaan, temperamen, dan kebutuhan-kebutuhan saya. Membaca Alkitab secara subyektif, akan meninggikan konteks saya di atas konteks Alkitab. Perspektif ini, tegas Russel, berbahaya karena "perspektif ini memberikan praduga pada cara pandang eksistensialis dan yang berfokus pada manusia"[14].

Akan tetapi, inilah praduga yang mendasari pemikiran pengembangan diri, keyakinan bahwa saya ada untuk diri saya sendiri, dan kalau Allah ada, maka Dia ada untuk membantu saya melihat diri saya dengan lebih jelas dan dengan pandangan yang lebih positif. Tepatnya, inilah anggapan yang didukung Robert Schuller ketika dia menekankan bahwa kita memerlukan teologi yang berpusat pada manusia. Ini adalah cara pandangan dunia yang merendahkan Allah menjadi Penolong supranatural dari keinginan eksistensial kita dan Injil menjadi resep bagi kemajuan dan pencerahan serta pemenuhan kebutuhan pribadi kita. Dalam konteks pengembangan diri, Alkitab tidak dipercaya sebagai pewahyuan Allah akan diri-Nya kepada kita. Alkitab ada untuk membantu kita mengerti diri kita sendiri.

Bahkan pedalaman Alkitab yang berfokus pada pemuridan dapat berubah menjadi kegiatan yang hanya sekadar melayani diri sendiri dan berpusat pada diri sendiri. Sebagai orang Kristen, kita perlu membaca Alkitab apa adanya, bukan untuk mencari sesuatu yang dapat dilakukan Alkitab untuk kita. Kita mempelajari Alkitab karena itu adalah firman Allah, karena firman Allah berasal dari Yang Esa, objek dari kerinduan terbesar kita, keinginan kita yang terkuat.

Saya teringat kasih yang tampaknya membanjiri saya ketika masing- masing anak saya lahir. Ketika mereka bertumbuh, saya akan menghabiskan waktu berjam-jam untuk melihat mereka, mempelajari setiap gerakan mereka, mempelajari sifat kepribadian mereka yang mulai terbentuk, perubahan pola pikir mereka yang menonjol, dan ekspresi pemikiran mereka yang khas. Saya ingin mengenal anak-anak saya, bukan karena apa yang bisa mereka berikan kepada saya, bahkan bukan karena saya ingin menjadi ibu yang lebih baik, tetapi benar-benar hanya karena saya mencintai mereka.

Garis perlindungan pertama kita melawan kebohongan musuh adalah Alkitab.

Facebook Twitter WhatsApp Telegram

Kasih kita kepada Allah harus jauh lebih besar lagi. Keinginan kita kepada-Nya harusnya menjadi hasrat yang membara bahwa kita ingin tahu segala sesuatu yang bisa kita ketahui tentang Dia. Betul, kita mempelajari Alkitab untuk belajar tentang pemuridan, tetapi belajar seperti itu tak ubahnya seperti tulang-tulang yang kering jika dibandingkan dengan mempelajari dengan penuh hasrat Kekasih kita, karena kita mencintai-Nya dan kita rindu berada di dekat-Nya.

Jadi, dalam pemahaman Alkitab, tujuan kita adalah sebisa mungkin menjauhkan keinginan diri kita. Kita perlu ingat bahwa Firman Allah adalah kebenaran, bahwa Allah ingin mengungkapkan Diri-Nya kepada kita, dan bahwa semua kitab memunyai arti sesuai dengan yang Penulis inginkan. Untuk menemukan kebenaran itu, untuk mengerti pewahyuan Allah itu, kita perlu mempelajari Alkitab secara obyektif, termasuk di dalamnya penelusuran dan penelitian eksegese ke dalam konteks kebudayaan, sejarah, dan kesusastraan Alkitab. Saat kita mendekati setiap kitab dalam Alkitab, kita perlu tahu sebisa mungkin segala hal tentang sang penulis kitab yang diberi inspirasi oleh Allah -- kehidupannya, jamannya, tujuannya menulis kitab tersebut, dan pembacanya. Kita perlu mengetahui apakah buku itu adalah buku nubuatan, sejarah, atau syair. Kita perlu mengerti bagaimana buku tersebut disatukan dan apa tema-tema besarnya.

Karena kita tidak memunyai naskah asli Kitab Suci (dan kalau adapun hanya sebagian kecil orang yang bisa membacanya), maka kita membaca Alkitab hanya dari terjemahannya. Terjemahan yang Anda pilih mungkin tergantung dari selera dan latar belakang pribadi Anda. Ingatlah bahwa terjemahan-terjemahan Alkitab memunyai kelebihan dan kekurangan mereka masing-masing. Kadang kita mendapatkan pemahaman baru dengan membaca terjemahan yang lain. Dalam hal ini ingatlah: "Masalah-masalah yang muncul sebenarnya bukanlah disebabkan karena orang-orang membaca Alkitab dengan terjemahan yang berbeda-beda; masalah yang paling serius adalah karena banyak orang tidak membaca Alkitab!"[15]

Terjemahan apa pun yang Anda pilih akan membantu Anda "mempelajari" versi terjemahan tersebut. Pendalaman Alkitab biasanya termasuk informasi tentang latar belakang penulis seperti yang digambarkan di atas. Anda juga perlu memunyai konkordansi yang lengkap, yang akan menolong Anda melakukan eksegese yang mendalam, dan Anda perlu tafsiran Alkitab sebanyak mungkin, milik Anda sendiri atau pinjaman dari perpustakaan, teman, atau pendeta.

Sekilas tentang tafsiran. Sepanjang sejarah, kaum Injili telah menunjukkan bias melawan otoritas. Karena gerakan Injili berakar pada masyarakat yang demokratis, maka mereka sering menekankan kemampuan setiap orang dalam menafsirkan Alkitab. Walaupun pedalaman Alkitab secara mandiri dapat memberikan keuntungan, saya yakin membaca karya pakar-pakar Alkitab yang telah mendedikasikan hidup mereka untuk mempelajari teks tertua yang ada akan lebih menjelaskan makna dan kebenaran Alkitab. Allah telah memanggil para pakar Alkitab untuk tugas mulia ini, dan saya percaya mengabaikan pekerjaan mereka adalah perbuatan konyol yang membuang-buang waktu.

2. Mempelajari Sejarah Gereja

Thomas Oden mengamati bahwa fokus kaum Injili yang luar biasa besar pada pengalaman pribadi dalam pedalaman Alkitab "telah menghambat pembaca untuk belajar bahwa Roh memunyai sejarah, dan bahwa tubuh Kristus yang dipanggil dari dalam sejarah itu memunyai satu kesatuan...." Berhati-hatilah terhadap 'orang-orang Injili' yang ingin membaca Alkitab tanpa suara dari sejarah gereja, dan hanya mau mendengar suaranya sendiri atau suara-suara kontemporer saja. Orang- orang Injili sering menjadi pecundang ketika mereka secara sistematis mengabaikan orang-orang suci dan para martir serta penulis-penulis konsensus dari abad-abad awal kekristenan"[16]. Yang Oden katakan adalah orang-orang Injili perlu mempelajari sejarah gereja dan karya penulis-penulis besar Kristen, para teolog, dan para ahli yang karyanya dapat memberitahu kita, paling sedikit, atau mungkin banyak, tentang kebenaran dan makna Alkitab sebanyak atau lebih dari para penafsir modern.

Alkitab

Banyak kaum Injili mendekati kekristenan dengan pikiran seolah-olah hanya gerakan Injili modern yang memiliki doktrin yang benar dan kesetiaan sejati terhadap Kristus. Ada kecurigaan dari kaum Injili terhadap Roma Katolik dan bahkan denominasi Protestan, bahwa mereka sulit menemukan kekristenan yang nyata di antara mereka. Sayangnya, sikap ini menyebabkan mereka mengabaikan sejarah gereja, gerakan- gerakannya yang penting dan pemimpin-pemimpinnya yang hebat.

Jika kita tidak belajar dari masa lalu, maka kita bisa dipastikan akan mengulangi kesalahan yang sama. Gnostisisme, contohnya, telah mengancam kekristenan sejak awal masa perkembangannya. Jika kita tidak mempelajari masa lalu, maka kita tidak akan menyadari bahwa manifestasi-manifestasi kontemporer dari musuh lama ini, muncul lagi dalam buku-buku pengembangan diri. Dan Pelagianisme -- kepercayaan bahwa manusia pada hakikatnya adalah baik dan bahwa seseorang dapat menyempurnakan diri mereka sendiri dengan kekuatan mereka -- mengajarkan filsafat yang sama dengan yang sedang diajarkan oleh gerakan pengembangan diri. Ketika kita tidak mengerti masa lalu, kita akan kesulitan mengenali musuh lama kita yang muncul dalam bentuknya yang baru.

Kalau kita gagal mempelajari sejarah gereja, maka kita akan terpaksa mengulanginya lagi -- memikirkan ulang doktrin kekristenan, dan mendefinisikan ulang ajaran-ajaran ortodoks. Kita gagal menyadari bahwa kebenaran kekristenan adalah kebenaran yang tidak lekang oleh waktu. Kebenaran itu sama, kemarin, hari ini, hingga selamanya. Dengan mempelajari sejarah gereja, kita mengakui kualitas kebenaran Kekristenan yang tidak dibatasi oleh waktu, dan kita memasukkan pemahaman kita dengan unsur yang melampaui pemikiran kita yang dibatasi oleh waktu, pemikiran picik akhir abad keduapuluh yang menekankan bahwa "lebih baru lebih baik".

Lebih jauh lagi, hanya dengan mempelajari masa lalu, kita dapat menangkap sepintas hakikat gereja yang nyata dan abadi. Berada di dalam waktu, kita hanya bisa melihat bayangan kecil gereja. Berada di luar waktu, Allah bisa melihat gereja sepanjang sejarah dari masa para rasul mula-mula sampai masa depan ketika gereja disatukan dengan Kristus. Inilah gereja yang Allah pakai yang di dalamnya kita turut ambil bagian. Kita tidak sendirian karena gereja pada saat ini sedang berada dalam sungai waktu. Kita terhubung dengan saudara-saudara kita dari segala masa, dan untuk segala masa, dalam pemujaan kekaguman kepada Allah yang terus menerus dan komitmen kepada Kristus yang memberikan gereja kekuatan. Dengan mempelajari masa lalu kita, kita dapat mengumpulkan kekuatan untuk melindungi kepercayaan kita dari kesalahan besar pengembangan diri yang berpusat pada diri yang meyakinkan kita untuk menciptakan ulang gereja yang dapat memuaskan kebutuhan modern. Kebutuhan kita bukanlah kebutuhan modern. Kebutuhan itu adalah kebutuhan setiap orang Kristen sepanjang masa. Kebutuhan itu adalah kebutuhan untuk mengenal Allah, untuk diselamatkan oleh anugerah-Nya dan tinggal bersama-Nya dan untuk-Nya selamanya.

Dengan cara yang sama, mempelajari kehidupan pemimpin-pemimpin gereja menunjukkan kepada kita siapa pahlawan-pahlawan yang nyata, bukannya seperti pahlawan-pahlawan sekuler pengembangan diri. Tidak ada Tony Robbins atau Stephen Covey di sini, tetapi pria dan wanita yang hidup menjalankan pengajaran Alkitab dengan menyerahkan diri mereka sendiri sebagai pelayanan kasih kepada Yesus Kristus, kepada Gereja yang kudus, dan kepada satu sama lain. Dan karya-karya agung dari tokoh- tokoh besar Kristen ini memberikan pencerahan terhadap Alkitab dengan pemahaman dan penerimaan kebenaran yang tidak mungkin kita abaikan.

Sebagai contoh, percaya pada keabsahan total Alkitab bukanlah pandangan teologia modern, sebagaimana banyak kaum Injili percayai. Baik Gregorius dari Nyssa maupun Santo Agustinus menegaskan bahwa Alkitab berbicara bersama suara Allah. Timothy George, dekan Beeson Divinity School, menggarisbawahi pentingnya kita kembali kepada karya Bapa-Bapa Gereja, dan mengatakan bahwa "konsensus besar-besaran sepanjang zaman tentang interpretasi pemikiran Kristen pada Alkitab (dan pada hal-hal paling penting lainnya) tidak mungkin salah"[17].

Catatan kaki:

  1. 2 Timotius 3:16-17.
  2. Matius 22:29-33.
  3. Dikutip di Karen R.Long, "Bible Knowledge at Record Low, Pollster Says," National Catholic Reporter, 15 Juli 1994, p.9.
  4. Thomas Ehrlich, "The Bible: Our Heritage," The Saturday Evening Post, Mei/Juni 1991, p.66.
  5. Earl D. Wilson, The Discovered Self: The Search for Self-Acceptance (Downers Grove, Illinois: InterVarsity Press, 1985), p.9.
  6. Mike Murdock, One-Minute Businessman's Devotional (Tulsa, Oklahoma: Honor Books, 1992).
  7. Robert J. Wicks, Touching the Holy: Ordinariness, Self-Esteem, and Friendship (Notre Dame, Indiana: Ave Maria Press, 1992), p.9.
  8. Dikutip di G. Walter Hansen, "Words from God's Heart," Christianity Today, 23 Oktober 1995, p.23.
  9. Ibid., p.25.
  10. Walt Rusell, "What It Means to Me," Christianity Today, 26 Oktober 1992, pp.30-31 [penekanan di "interpretive relativism" oleh saya].
  11. Ibid., p.30.
  12. Ibid., p.31 [penekanan oleh penulis asli].
  13. Dikutip di "Classic and Contemporary Excerpts," Christianity Today, 25 Oktober 1993, p.73.
  14. Walt Russell, "What It Means to Me," p.32.
  15. Jack P. Lewis, The English Bible from KJV to NIV: A History and Evaluation (Grand Rapids, Michigan: Baker Book House, 1981), p.366.
  16. Dikutip di Christianity Today, 25 Oktober 1993, p.73.
  17. Timothy George, "What We Mean When We Say It's True," Christianity Today, 23 Oktober 1995, p.19.

Audio: Melawan Kebohongan Gerakan Pengembangan Diri (1)

Sumber: 

Diterjemahkan dan disunting dari:

Judul buku: Help Yourself; Today's Obsession with Satan's Oldest Lie
Penulis: Stephanie Forbes
Penerbit: Crossway Book, Wheaton Illinois
Tahun: 1996
Halaman: 177 - 184

"Ekklesia" -- Gereja

Editorial: 

Dear e-Reformed Netters,

Saya terkesan sekali dengan penjelasan John Stott tentang gereja, karena beliau memaparkannya dengan sangat jelas dan tepat. Separuh dari artikel ini berbicara tentang pengertian gereja yang diambil dari Alkitab, bahwa umat Allah yang dipanggil keluar ini adalah untuk menjadi satu tubuh yang tidak lagi membedakan suku bangsa, tingkatan, ataupun jenis kelamin. Namun pada kenyataannya, sering kali gereja justru menciptakan perbedaan-perbedaan baru. Karena itu dengan berani John Stott tanpa ragu berkata, "menafsirkan gereja dipandang dari segi pembedaan kasta yang memberikan hak istimewa kepada golongan pendeta atau struktur yang bersifat hierarki telah menghancurkan doktrin Perjanjian Baru mengenai gereja."

Sebaliknya, jemaat yang mengingkari tanggung jawab untuk melayani, bersaksi, dan memenangkan jiwa bagi Kristus, tetapi menyerahkan tugas itu hanya kepada pendeta saja juga salah. John Stott menyimpulkan, "Allah memanggil pendeta untuk suatu tugas yang penting, namun kedudukan mereka harus selalu tunduk kepada gereja secara keseluruhan, sebagai persekutuan yang ditebus oleh Allah sendiri. Kaum awam hanya akan menemukan tempat mereka yang sesungguhnya jika kebenaran yang sederhana ini disadari, yakni pendeta berada di tengah-tengah mereka untuk melayani gereja, bukannya gereja melayani pendeta."

Memang kebenaran yang dipaparkan oleh John Stott itu cukup keras, dan mungkin sulit diterima oleh mereka yang sudah terbiasa hidup dalam gereja yang sangat meninggikan kedudukan pendeta. Akan tetapi marilah kita menerima kebenaran ini sebagai koreksi Allah atas gereja-Nya supaya gereja-Nya semakin tunduk pada kehendak-Nya, sang Pemilik gereja.

In Christ,

Yulia
< yulia(at)in-christ.net >
http://reformed.sabda.org
http://fb.sabda.org/reformed

Penulis: 
John Stott
Edisi: 
121/V/2010
Tanggal: 
26-5-2010
Isi: 

"Ekklesia" -- Gereja

(Oleh: John Stott)

Pertanyaan yang harus kita ajukan sebelum kita mulai ialah: Apakah gereja itu sebenarnya?

Gereja adalah jemaat, suatu perhimpunan orang yang memperlihatkan eksistensi, solidaritas, yang berbeda dari perhimpunan-perhimpunan lain untuk satu hal, yakni "panggilan Allah".

Semua itu dimulai dari Abraham, yang dipanggil Allah untuk meninggalkan negerinya sendiri dan keluarganya. Allah berjanji kepada Abraham bahwa ia akan diberikan negeri dan kaum keluarganya akan menjadi suatu bangsa yang besar, dan melaluinya segala bangsa di muka bumi ini akan diberkati. Berulang kali perjanjian anugerah ini ditegaskan kepada Abraham, yakni melalui keturunannya semua bangsa di bumi akan diberkati.[1] Janji ini selanjutnya ditegaskan kepada Ishak, dan kepada Yakub. Tetapi Yakub meninggal di dalam tawanan. Demikian juga anaknya yang terkenal, Yusuf.

Memang, di akhir kitab Kejadian dijelaskan bahwa sesudah Yusuf meninggal dunia, mayatnya dibalsam dan "ditaruh dalam peti mati di Mesir." (Kejadian 50:26) Namun langkah-langkah pertama menuju penggenapan janji Allah baru terjadi ketika Ia, melalui Musa, dari keturunan Lewi bin Yakub, menyelamatkan bangsa itu dari perbudakan. "Ketika Israel masih muda, Kukasihi dia, dan dari Mesir Kupanggil anak-Ku itu." (Hosea 11:1) Tiga bulan sesudah keluar mereka memasuki padang gurun Sinai, dan Tuhan memerintahkan Musa untuk mengatakan kepada bangsa itu:

"Kamu sendiri telah melihat apa yang Kulakukan kepada orang Mesir, dan bagaimana Aku telah mendukung kamu di atas sayap rajawali dan membawa kamu kepada-Ku. Jadi sekarang, jika kamu sungguh-sungguh mendengarkan firman-Ku dan berpegang pada perjanjian-Ku, maka kamu akan menjadi harta kesayangan-Ku sendiri dari antara segala bangsa, sebab Akulah yang empunya seluruh bumi. Kamu akan menjadi bagi-Ku kerajaan iman dan bangsa yang kudus." (Keluaran 19:4-6)

Maka perjanjian disahkan, hukum diberikan, kemah suci didirikan, dan ibadah dimulai. Kemudian tanah perjanjian ditaklukkan, dan setelah itu pemerintahan diteguhkan. Tetapi semuanya itu berakhir dengan malapetaka. Umat Allah melanggar perjanjian-Nya, menolak hukum-Nya, dan meremehkan nabi-nabi-Nya, sehingga tidak ada pertolongan bagi mereka. Penghukuman Allah ditimpakan atas mereka, dan penawanan kedua (ke Babel) dimulai.

Namun Allah tidak membiarkan umat-Nya. Pada waktunya, sesuai dengan janji-Nya, Ia akan memberkati mereka. Ia memanggil mereka keluar dari Babel -- sebagaimana Ia telah memanggil mereka keluar dari Mesir -- serta mengembalikan mereka ke tanah air mereka sendiri. Seperti yang dikatakan Allah melalui Yeremia:

"Sebab itu, demikianlah firman Tuhan, sesungguhnya waktunya akan datang, bahwa tidak dikatakan orang lagi: Demi Tuhan yang hidup yang menuntun orang Israel keluar dari tanah Mesir!, melainkan: Demi Tuhan yang hidup yang menuntun orang Israel keluar dari tanah utara dan dari segala negeri kemana Ia telah mencerai-beraikan mereka! Sebab Aku akan membawa mereka pulang ke tanahyang telah Kuberikan kepada nenek moyang mereka." (Yeremia 16:14-15)

Tetapi Allah juga telah menjanjikan bahwa melalui umat-Nya Ia akan memberkati semua bangsa di dunia; dan ini digenapi melalui Kristus. Sebab panggilan Allah -- mula-mula kepada keluarga Abraham dari Ur dan dari Haran untuk memasuki tanah Kanaan, kemudian terhadap keturunan Yakub dari Mesir, dan setelah itu terhadap sisa-sisa suku Yehuda dari Babel -- semuanya memberikan bayangan akan suatu panggilan yang lebih baik, penebusan yang lebih besar, dan warisan yang lebih berlimpah. Melalui kematian dan kebangkitan Kristus, Allah bermaksud memanggil keluar dari dunia ini suatu umat pilihan bagi diri-Nya sendiri, menebus mereka dari dosa, dan membuat mereka mewarisi janji-janji keselamatan-Nya.

Maka gereja adalah umat Allah, "ekklesia"-Nya, yang dipanggil keluar dari dunia ini untuk menjadi milik-Nya, dan eksis sebagai entitas yang sungguh-sungguh ada dan terpisah, semata-mata hanya karena panggilan- Nya. Perjanjian Baru sangat menuntut serta menekankan hal ini. Allah telah memanggil kita "kepada persekutuan dengan Anak-Nya Yesus Kristus, Tuhan kita," memanggil kita "menjadi milik Kristus". (1 Korintus 1:9, Roma 1:6) Panggilan ilahi ini adalah suatu "panggilan kudus". (2 Timotius 1:9, 1 Tesalonika 4:7) Allah memanggil kita untuk hidup kudus karena Dia adalah Allah yang kudus, dan "supaya hidup [kita] sebagai orang-orang yang telah dipanggil berpadanan dengan panggilan itu" (1 Petrus 1:15,16; Efesus 4:1), sehingga dengan kuasa penyucian dari Roh Kudus kita boleh berubah di dalam karakter dan tingkah laku sesuai dengan status kita, yakni sebagai "orang-orang kudus", yang berbeda, terpisah; umat yang dikuduskan bagi Allah.[2]

Namun, panggilan itu tidak dimaksudkan agar gereja menarik diri keluar dari dunia kepada kehidupan pietisme. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Uskup Lesslie Newbigin, "Gereja ... adalah sekelompok musafir yang sedang dalam perjalanan menuju akhir dari dunia dan waktu." Dan pula, gereja merupakan khafilah umat Allah. Mereka sedang bergerak -- bergegas menuju akhir dari dunia ini dan memohon agar semua orang didamaikan dengan Allah, dan bersegera menuju akhir waktu untuk menjumpai Tuhannya yang akan mengumpulkan semua orang menjadi satu.

Itulah sebabnya, lebih lanjut Newbigin mengemukakan, "Gereja tidak mungkin dimengerti secara tepat kecuali di dalam suatu sudut pandang misioner dan eskatologis sekaligus."[3] Oleh karena itu, penulis- penulis Perjanjian Baru mengemukakan, Allah yang telah memanggil kita keluar dari dunia ini telah mengutus kita kembali ke dalam dunia:

"Kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib." (1 Petrus 2:9)

Dia juga telah memanggil kita sebagaimana Kristus telah menderita karena perlakuan yang tidak adil di dunia ini, dan melalui penderitaan-Nya Dia telah memanggil kita "kepada kemuliaan-Nya yang kekal dalam Kristus." (1 Petrus 2:20,21; 5:10)

Demikianlah gereja, umat Allah, yang dipanggil keluar dari dunia bagi Dia sendiri, dipanggil untuk suatu misi, dipanggil untuk menderita, dan dipanggil melalui penderitaan kepada kemuliaan.

Gereja Allah adalah Gereja yang Esa

Panggilan terhadap gereja ini juga merupakan panggilan terhadap seluruh gereja dan setiap anggota dari gereja, tanpa suatu perbedaan atau pembagian apa pun. Sebelumnya, panggilan Allah hanya ditujukan kepada Abraham dan keturunannya, yang secara jasmaniah adalah bangsa Israel, sedangkan bangsa-bangsa non-Yahudi "tidak termasuk kewargaan Israel dan tidak mendapat bagian dalam ketentuan-ketentuan yang dijanjikan." (Efesus 2:12) Namun sekarang janji kepada Abraham itu telah menjangkau dan menjadi berkat bagi bangsa-bangsa lain juga. Maka Paulus menuliskan kepada jemaat di Efesus:

"Tetapi sekarang di dalam Kristus Yesus kamu, yang dahulu `jauh`, sudah menjadi `dekat` oleh darah Kristus. Karena Dialah damai sejahtera kita, yang telah mempersatukan kedua pihak dan yang telah merubuhkan tembok pemisah, yaitu perseteruan, sebab dengan matinya sebagai manusia Ia telah membatalkan hukum Taurat dengan segala perintah dan ketentuannya, untuk menciptakan keduanya menjadi satu manusia baru di dalam diri-Nya, dan dengan itu mengadakan damai sejahtera, dan untuk memperdamaikan keduanya, di dalam satu tubuh, dengan Allah oleh salib, dengan melenyapkan perseteruan pada salib itu." (Efesus 2:13-16)

Kita tidak boleh menghilangkan penjelasan Rasul Paulus mengenai peniadaan dan penciptaan ini. Allah telah meniadakan (menghapuskan) aspek dari hukum Taurat itu yang telah membuat Israel menjadi bangsa yang terpisah, dan Dia menciptakan "seorang manusia baru."

Umat manusia yang baru ini, yakni gereja, merupakan perkumpulan yang mengagumkan dan meliputi banyak hal. Kristus telah meniadakan lebih dari sekadar penghalang-penghalang kesukuan dan kebangsaan; Dia telah menghapuskan juga penghalang-penghalang kelas dan gender: "... tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus." (Galatia 3:28) Hari-hari diskriminasi telah berlalu. Umat Kristus yang baru telah diciptakan di dalam gereja tanpa memedulikan perbedaan suku bangsa, tingkatan, ataupun jenis kelamin. Ini tidak berarti bahwa persamaan di dalam kekristenan itu sinonim dengan anarki -- sebab Paulus juga mengimbau para istri agar taat terhadap suaminya dan budak-budak tunduk terhadap tuannya, tetapi lebih berarti bahwa segala hak istimewa dan berkat rohani di hadapan Allah telah dikeluarkan:

"Sebab tidak ada perbedaan antara orang Yahudi dan orang Yunani. Karena, Allah yang satu itu adalah Tuhan dari semua orang, kaya bagi semua orang yang berseru kepada-Nya. Sebab, barangsiapa yang berseru kepada nama Tuhan akan diselamatkan." (Roma 10:12,13)

Sebagai akibatnya, semua orang Kristen yang percaya, baik Yahudi maupun non-Yahudi, laki-laki atau perempuan, budak atau orang merdeka, orang Yunani yang terpelajar atau orang barbar yang tidak beradab adalah "kawan sewarga dari orang-orang kudus dan anggota-anggota keluarga Allah", dan juga "ahli-ahli waris dan anggota-anggota tubuh dan peserta dalam janji yang diberikan dalam Kristus Yesus karena berita Injil." (Kolose 3:11, Efesus 2:19, 3:6) Di dalam ayat-ayat ini Paulus memakai empat kata majemuk dari bahasa Yunani yang kemudian diterjemahkan menjadi "para kawan sewarga" ("sumpolitai"), "para ahli waris" ("sugkleronoma"), "para anggota" ("sussoma"), dan "para pengambil bagian" ("summetocha")[4] untuk menegaskan dengan sejelas mungkin mengenai partisipasi umum yang tidak boleh dibeda-bedakan dari seluruh umat Allah dalam segala berkat yang terdapat di dalam Injil. Paulus juga mengajarkan kebenaran yang sama dalam daftar kesatuan yang dibuatnya:

"Hanya ada satu tubuh dan satu Roh, sebagaimana kamu telah dipanggil kepada satu pengharapan yang terkandung dalam panggilanmu, satu Tuhan, satu iman, satu baptisan, satu Allah dan Bapa dari semua, Allah yang di atas semua dan oleh semua dan di dalam semua." (Efesus 4:4-6)

Tetapi apakah kaitan atau hubungan antara hal ini dengan buku mengenai kaum awam? Mengapa saya berpikir bahwa penting sekali bagi kita untuk mempertegas kembali mengenai peniadaan hak istimewa dan penciptaan satu umat yang baru dengan persamaan hak ini? Masalah sebenarnya dalam sistem yang membedakan antara pendeta dengan kaum awam nampaknya hanya sebagai usaha menentang dasar kesamaan dan kesatuan umat Allah. Hal yang senantiasa dilakukan sistem ini, yakni memusatkan kekuasaan dan hak istimewa di tangan pendeta, telah menyembunyikan, bahkan membinasakan hakikat kesatuan umat Allah.

Kedua pihak yang telah disatukan oleh Kristus dipisahkan menjadi dua lagi oleh pemikiran sistem ini, yang satu lebih tinggi dan yang lainnya lebih rendah, yang satu aktif dan yang lainnya pasif, yang satu benar-benar penting karena sangat diperlukan bagi kehidupan gereja, yang lainnya tidak terlalu diperlukan sehingga tidak terlalu penting. Saya tidak ragu-ragu mengatakan bahwa menafsirkan gereja dipandang dari segi pembedaan kasta yang memberikan hak istimewa kepada golongan pendeta, atau struktur yang bersifat hierarki, berarti menghancurkan doktrin Perjanjian Baru mengenai gereja.

Tetapi kita memunyai kebebasan menafsirkan gereja dipandang dari sudut pandang seorang pendeta, dan mudah sekali bagi orang-orang yang berpikiran demikian tergelincir ke dalam pola pemikiran di atas. Untuk memaparkan hal ini, kita akan meninjau kembali beberapa penggambaran penting berdasarkan Alkitab mengenai gereja. Kita tidak dapat melakukan pemeriksaan secara lengkap dan mendalam, tetapi pemeriksaan kita akan cukup untuk membuktikan hal ini: setiap gambaran Alkitab mengenai gereja memberikan iluminasi mengenai hubungan antara umat Allah dengan Allah sendiri di dalam Kristus dan/atau dengan sesamanya. Hanya sedikit perhatian diarahkan kepada golongan pendeta sebagai pihak ketiga yang berbeda dari yang lainnya. Dengan kata lain, dalam pemaparan sifat dan tugas gereja, kebanyakan pokok pikiran Perjanjian Baru bukanlah mengenai kedudukan pendeta, juga bukan tentang hubungan antara pendeta dan kaum awam, melainkan mengenai keseluruhan umat Allah dalam hubungan mereka dengan Dia dan antara satu dengan yang lain; umat yang khusus yang telah dipanggil oleh anugerah-Nya untuk menjadi ahli waris-Nya serta duta-Nya di dunia.

Kiasan-Kiasan tentang Gereja

Tiga di antara gambaran yang paling indah mengenai gereja dalam Perjanjian Baru diambil dari Perjanjian Lama. Ketiganya melukiskan umat Allah sebagai pengantin wanita-Nya, kebun anggur-Nya, dan kawanan domba-Nya. Semuanya menyoroti hubungan langsung yang telah diteguhkan Allah dengan umat-Nya dan yang telah mereka nikmati bersama-Nya.

Allah telah memandang Israel sejak masa mudanya, mempertunangkan dia dengan diri-Nya sendiri sebagai pengantin perempuan-Nya, untuk selanjutnya memasuki perjanjian nikah dengan-Nya. (Yehezkiel 16, Yeremia 2:2, 31:32, Yesaya 62:5) Tetapi kemudian Allah mengeluh tentang ketidaksetiaan Israel, dan tindakan-tindakan persundalan serta perzinahannya (Hosea 2).

Allah telah mengambil sebatang pohon anggur dari Mesir dan menanamnya di Kanaan, sebuah "lereng bukit yang subur." Di sana pohon itu berakar dan bertumbuh memenuhi negeri itu. Ia mendirikan sebuah menara jaga di tengah-tengahnya untuk mengawasinya dan sebuah tempat memeras anggur untuk mempersiapkan panen anggur. Ia mengharapkan kebun anggur-Nya itu menghasilkan buah anggur yang baik tetapi yang dihasilkannya ialah buah-buah anggur yang asam. Maka Allah membiarkan kebun anggur-Nya diinjak-injak dan ditelantarkan. Allah menantikan Israel berbuah keadilan, tetapi yang dihasilkannya adalah buah kelaliman; Dia mengharapkan kebenaran, namun yang ada hanya keonaran (Mazmur 80:9-20, Yesaya 5:1-7).

Allah adalah Gembala Israel. Dia menggiring Yusuf bagaikan kawanan domba. Sebagaimana Dia telah membebaskan mereka dari perbudakan di Mesir, "mengangkat dan menggendong mereka selama zaman dahulu kala", demikian juga sesudah penawanan di Babel Dia akan menghimpun domba- domba-Nya dalam tangan-Nya, anak-anak domba dipangku-Nya dan induk- induk domba dituntun-Nya dengan hati-hati (Mazmur 80:2, Yesaya 63:9, 40:11).

Setiap gambaran di atas menekankan tindakan langsung dari kehendak Allah terhadap umat-Nya sebagai satu bangsa, pemerintahan yang berasal dari-Nya; Ia berinisiatif menyelamatkan mereka. Allah memilih Israel sebagai pengantin wanita-Nya, Ia menanam dan merawat kebun anggur-Nya, dan Ia menggembalakan kawanan domba-Nya. Dan ketika Yesus dengan berani menerapkan kembali kiasan atau gambaran-gambaran ini untuk diri-Nya, Dia bahkan lebih kuat menekankan hubungan pribadi yang dimaksudkan oleh masing-masing kiasan itu.

Yesus adalah mempelai laki-laki, dan karena Ia hadir bersama-sama para tamu maka mereka tidak pantas untuk berpuasa (Markus 2:18-20). Paulus mengembangkan kiasan ini lebih rinci dengan penjelasan mengenai kasih dan pengurbanan Kristus bagi gereja. Kepemimpinan-Nya atas gereja serta tujuan akhir dari gereja ialah supaya gereja ditempatkan di hadapan-Nya "dengan cemerlang tanpa cacat atau kerut atau yang serupa." (Efesus 5:27; 5:22-33) Pada akhir kitab Wahyu pertama-tama kita membaca bahwa "hari perkawinan Anak Domba telah tiba, dan pengantin-Nya telah siap sedia" dan "kota yang kudus, Yerusalem yang baru, turun dari sorga, dari Allah, yang berhias bagaikan pengantin perempuan yang berdandan untuk suaminya."(Wahyu 19:7, 21:2)

Yesus mengambil gambaran mengenai kebun anggur di dalam perumpamaan- Nya mengenai penggarap-penggarap kebun yang jahat (Markus 12:1-12), namun Dia juga melanjutkan hal itu, sebab Dia menegaskan bahwa Dia sendirilah pokok anggur yang benar, carang-carangnya bergantung kepada-Nya untuk dapat berbuah baik dengan tetap tinggal di dalam Dia dan juga dengan dibersihkan oleh tukang-tukang kebun (Yohanes 15:1-8).

Yesus menyebut diri-Nya sendiri "Gembala Yang Baik" yang mencari serta menyelamatkan domba yang hilang -- sekalipun hanya seekor domba-Nya yang hilang, yang mempertaruhkan nyawa-Nya demi domba-domba-Nya, dan yang memimpin mereka ke padang rumput yang segar serta melindungi mereka dari ancaman serigala (Lukas 15:3-7, Yohanes 10).

Empat kiasan lainnya mengenai gereja yang terdapat di dalam Alkitab intinya juga mengiluminasikan hubungan yang telah diteguhkan Allah dengan umat-Nya, sekalipun semuanya itu juga menuntut pengertian lebih lanjut.

Pertama, umat Allah adalah suatu kerajaan, tempat Allah menjalankan peraturan-peraturan-Nya; "wilayah kekuasaan-Nya" (Mazmur 114:2). Pemerintahan teokrasi Israel yang sesungguhnya, yang telah ditolak ketika bangsa itu menuntut seorang raja seperti yang dimiliki oleh bangsa-bangsa kafir, telah dipulihkan dan dirohanikan melalui Kristus. Dalam menyelamatkan kita, Allah "telah melepaskan kita dari kuasa kegelapan dan memindahkan kita ke dalam kerajaan Anak-Nya yang kekasih" (Kolose 1:13) dan Kristus menjalankan pemerintahan-Nya di antara umat-Nya melalui Roh-Nya, "sebab Kerajaan Allah bukanlah soal makanan dan minuman, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera, dan sukacita oleh Roh Kudus." (Roma 14:17)

Selanjutnya, umat Allah adalah rumah tangga atau keluarga-Nya. Apa yang samar-samar terbayang di dalam Perjanjian Lama, yaitu ketika Israel disebut anak Allah (Hosea 11:1), secara lengkap dipaparkan di dalam Perjanjian Baru. Di dalam Kristus, Allah melahirkan kita kembali, menjadikan kita sebagai anak-anak-Nya, mengadopsi kita ke dalam keluarga-Nya, serta mengirim Roh-Nya ke dalam hati kita sehingga kita boleh memanggil Dia "Abba, Bapa."[5] Banyak hal dalam kehidupan Kristen ditentukan -- seperti yang diajarkan Yesus -- oleh hubungan yang intim dan terbuka seperti gambaran Allah dengan anak ini. Kita tidak perlu lagi merasa khawatir memikirkan segala kebutuhan hidup kita sehari-hari, karena Bapa surgawi kita mengetahui segala yang kita perlukan. Kita cukup menyesuaikan diri dengan-Nya, dengan kerajaan-Nya dan kebenaran-Nya, menyerahkan diri kita dan kehidupan kita sehari- hari kepada-Nya, memercayai Dia yang memelihara kita, serta percaya bahwa segala yang kita perlukan akan Ia berikan (Matius 6:7-13, 25-34, 7:7-11).

Ketiga, umat Allah adalah suatu bangunan "yang tidak dibuat oleh tangan manusia", suatu bangunan yang dirancang oleh Allah sendiri, bait Allah rohani yang dibangun kembali, dengan Yesus sebagai satu- satunya dasar -- seperti yang dipersaksikan oleh para rasul dan para nabi -- dan Roh Kudus di tempat mahasuci (1 Korintus 3:11, 16, Efesus 2:20-22).

Keempat, umat Allah adalah tubuh Kristus, gambaran yang paling menonjol di dalam surat-surat Paulus dan satu-satunya yang tidak memunyai padanan dengan Perjanjian Lama, dengan Kristus sebagai Kepala yang mengatur dan memberi makan seluruh tubuh-Nya dan Roh Kudus sebagai nafas yang memberi inspirasi kepada [gereja] (Efesus 4:4,15,16, Kolose 2:19).

Tetapi masing-masing dari keempat gambaran ini lebih dari sekadar memberikan iluminasi mengenai hubungan antara Allah dengan umat-Nya. Masing-masing menggambarkan juga hubungan-hubungan timbal balik serta tugas dan tanggung jawab yang dimiliki umat Allah. Kita adalah kawan sewarga dari kerajaan Allah, saudara-saudara di dalam keluarga, batu- batu hidup untuk pembangunan rumah yang rohani, dan lebih dari semuanya itu, anggota-anggota tubuh Kristus, yang bukan hanya menerima hidup dan perintah dari Kepala, tetapi kita sendiri berperan aktif dan saling bergantung satu dengan yang lainnya, dan oleh karenanya kita tidak boleh saling merendahkan atau iri terhadap yang lain (1 Korintus 12:14-26).

Banyak Kiasan -- Satu Berita

Semua kekayaan kiasan ini menunjukkan maksud yang sama. Dalam setiap gambaran itu penekanannya adalah pada inisiatif Allah yang sangat ramah. Dia sebagai Suami, [Pemilik Kebun], Gembala, Raja, Bapa, Pembuat Bangunan, dan [Kepala]. Umat-Nya sebagai sekelompok orang yang ditebus, baik sebagai pengantin-Nya, kawanan domba-Nya, keluarga-Nya, tubuh-Nya, dan lain-lain. Hubungan satu dengan yang lain sebagai carang-carang pada Pokok Anggur yang sama, domba-domba dalam kawanan yang sama, anak-anak di dalam keluarga yang sama, anggota-anggota tubuh yang sama. Tidak ada satu pun kiasan, baik yang menunjang maupun yang menentang, membicarakan mengenai pendeta. [Subjek tentang pendeta] sama sekali bukan yang dimaksud oleh Alkitab mengenai gereja.

Tepat sekali Paulus menyamakan dirinya dengan sahabat mempelai laki- laki pada pesta perkawinan, seperti yang juga diungkapkan Yohanes Pembaptis sebelumnya (2 Korintus 11:2, Yohanes 3:29). Dia juga membicarakan mengenai pelayanan mengajar yang dilakukannya bersama Apolos di Korintus dengan gambaran orang yang menanam dan menyiram benih di ladang Tuhan dan orang yang meletakkan dasar serta membangun rumah Tuhan (1 Korintus 3:5-15). Sama halnya, pelayan-pelayan gereja juga digambarkan sebagai gembala-gembala pengawas yang dipercayakan memelihara kawanan domba[6] sebagai hulubalang-hulubalang kerajaan, sebagai pelayan-pelayan rumah tangga, dan sering kali juga digambarkan sebagai pengasuh-pengasuh di dalam keluarga[7]. Di samping itu juga, meskipun setiap orang Kristen di gereja sebagai anggota tubuh Kristus memunyai peranannya masing-masing, namun beberapa organ nampak memunyai peranan yang lebih penting daripada yang lainnya, misalnya, kepala lebih penting dari kaki dan mata lebih penting dari tangan (1 Korintus 12:21), meskipun masing-masing saling membutuhkan dan tidak dapat melepaskan diri.

Meskipun demikian, setiap uraian menunjukkan suatu tambahan pada kiasan itu. Kiasan atau gambaran itu sendiri sudah lengkap tanpa tambahan-tambahan tersebut, dan lebih jelas lagi dikatakan, tidak bergantung pada hal-hal tambahan itu. Semuanya memunyai bagian masing- masing untuk dilakukan, tetapi hanya sebagai bagian yang bersifat tambahan, dan boleh ditambahkan, bagian yang dapat digantikan. Seorang sahabat pengantin laki-laki memang memunyai peranan yang sangat penting pada pesta perkawinan, tetapi tanpa dia pun pengantin pria dan wanita dapat tetap melangsungkan pernikahan mereka. Pelayan-pelayan dan perawat-perawat sangat berperan penting dalam suatu rumah tangga, tetapi seorang ayah tidak akan membiarkan anak-anaknya mati hanya karena tidak ada mereka. Tidak. Kebenaran-kebenaran yang paling penting yang digarisbawahi oleh kiasan-kiasan mengenai gereja ini ialah sikap Allah yang ramah terhadap umat-Nya dan tugas-tugas mereka yang bertanggung jawab terhadap Dia dan terhadap yang lainnya.

Kesatuan hakiki gereja, yang dimulai di dalam panggilan Allah dan digambarkan di dalam kiasan-kiasan Alkitab, memimpin kita sampai pada kesimpulan ini: Segala tanggung jawab yang dipercayakan Allah kepada gereja-Nya telah dipercayakan-Nya kepada seluruh Gereja-Nya. Siapakah mereka yang dimaksudkan? "Kamu yang dahulu bukan umat Allah," Petrus menulis, "tetapi sekarang telah menjadi umat-Nya." Dan dia menjelaskan lebih lanjut, umat Allah adalah imamat kudus, [yang diciptakan] untuk mempersembahkan kepada-Nya persembahan-persembahan yang rohani dan yang berkenan kepada-Nya berupa puji-pujian dan doa, dan juga suatu umat yang misioner, [yang diciptakan] untuk memberitahukan kepada orang-orang lain perbuatan-perbuatan yang besar dari Allah mereka, Allah yang telah memanggil mereka kepada terang-Nya yang ajaib dan yang telah menaruh belas kasihan atas mereka (1 Petrus 2:5,9,10). Singkatnya, umat Allah memiliki tujuan untuk menjadi persekutuan orang-orang yang beribadah kepada Dia serta menyaksikan kemuliaan dan kebesaran-Nya. Dan kedua tugas ini menjadi tanggung jawab segenap gereja sebagai Gereja-Nya. Pendeta tidak dapat memonopolinya, demikian juga kaum awam atau jemaat tidak boleh melarikan diri dari tanggung jawab ini. Baik pendeta maupun anggota jemaat tidak dapat melimpahkan tanggung jawab ini kepada orang lain; tidak mungkin ibadah dan kesaksian diwakili oleh orang lain.

Mempertahankan hal ini adalah suatu koreksi yang sehat terhadap sistem yang terlalu melebih-lebihkan pendeta, yang sudah terlalu sering dan cukup lama menempatkan kaum awam dan menyingkirkan mereka ke posisi yang lebih rendah dan nonaktif. Hal ini tentu saja juga mengaburkan gambaran mengenai gereja. Sudah barang tentu, Allah memanggil pendeta untuk suatu tugas yang penting, namun kedudukan mereka harus selalu tunduk kepada gereja secara keseluruhan, sebagai persekutuan yang ditebus oleh Allah sendiri. Kaum awam hanya akan menemukan tempat mereka yang sesungguhnya jika kebenaran yang sederhana ini disadari, yakni pendeta berada di tengah-tengah mereka untuk melayani gereja, bukannya gereja melayani pendeta. Agar benar-benar mengerti kebenaran ini, kita harus menemukan kembali ajaran Alkitab mengenai gereja sebagai umat Allah, dan khususnya kebenaran-kebenaran ini -- yakni bahwa dalam hal kedudukan dan hak umat Allah oleh panggilan-Nya dipersatukan dan tidak dapat dibedakan, dan bahwa mempersembahkan ibadah serta bersaksi kepada dunia merupakan hak yang tidak dapat dicabut serta tugas dari jemaat yang satu ini, yakni keseluruhan gereja, pendeta bersama-sama kaum awam.

Catatan Kaki:

[1] Misalnya, Kejadian 22:17,18.
[2] Misalnya, Roma 1:7, 1 Korintus 1:2, lihat juga Kisah Para Rasul 15:14, Titus 2:14.
[3] Lesslie Newbigin, The Household of God, hal. 31,25 -- "eskhatologis," berasal dari kata "eskhatos" (akhir) atau "eskhaton" (selesai), merujuk kepada akhir zaman dan hal-hal yang terakhir, penyempurnaan yang terjadi di luar sejarah.
[4] Tidak ada padanan bahasa Indonesia yang tepat untuk kata-kata gabungan tersebut. Buku "Satu Umat" menerjemahkan "fellow citizens" - kawan sewarga; "fellow heirs" - ahli-ahli waris; "fellow members" - anggota-anggota; dan "fellow partakers", peserta-peserta.
[5] Misalnya, 1 Yohanes 2:29-3:3, 3:9,10, Roma 8:14-17, Galatia 4:4-7.
[6] Misalnya, Kisah Para Rasul 20:28, 1 Petrus 5:1-4.
[7] Misalnya, Kisah Para Rasul 20:25, 1 Korintus 4:1, 1 Tesalonika 2:7.

Sumber: 

Diambil dan disunting dari:

Judul asli artikel : Perkumpulan Kristen (Ekklesia)
Judul buku : Satu Umat
Judul asli buku : One People
Penulis : John Stott
Penerjemah : Lena Suryana Himtoro
Penerbit : SAAT, Malang 1992
Halaman : 8--22 dan 140--141

Kristus, Buah Sulung Kebangkitan

Editorial: 

Dear e-Reformed Netters,

Selamat bertemu kembali. Saya minta maaf sebesar-besarnya karena e-Reformed edisi Maret ini terlambat terbit. Tema yang diangkat adalah Paskah karena edisi ini sebenarnya memang dipersiapkan untuk menyambut Paskah.

Khotbah Pdt. Stephen Tong, yang dijadikan artikel di bawah ini sangat padat dengan uraian-uraian teologis yang penting tentang keyakinan iman kita akan Kristus yang bangkit dalam kemenangan. Inti khotbah beliau tercermin dalam beberapa kalimat yang saya kutipkan di bawah ini:

"Mengapa kita menjadi orang Kristen; mengapa kita harus menekankan begitu rupa akan kematian dan kebangkitan Kristus? Karena Injillah yang paling penting. Injil adalah rencana Allah dan pengharapan bagi dunia."

Inilah yang seharusnya menjadi fokus bagi jemaat dan gereja Tuhan, yaitu bahwa Injil adalah berita yang paling penting untuk dikumandangkan kepada jemaat dan kepada dunia. Jika tidak, maka gereja akan kehilangan misi-Nya dan gereja bukan lagi gereja, karena yang ada hanya papan nama gereja saja. Apakah saat ini gereja Anda mengumandangkan berita Injil? Apakah hidup Anda berpusat pada berita Injil? Melalui khotbah Paskah ini mari kita renungkan lebih jauh, apa yang seharusnya kita pentingkan dalam hidup ini dan apa yang harus gereja pentingkan saat ini?

In Christ, Yulia http://reformed.sabda.org http://fb.sabda.org/reformed

Penulis: 
--
Edisi: 
119/III/2010
Tanggal: 
30-3-2010
Isi: 

Kristus, Buah Sulung Kebangkitan *)

(Oleh: Pdt. Dr. Stephen Tong)

*) Artikel ini disarikan dari khotbah yang disampaikan pada Kebaktian Paskah, 2000.

Percayakah Saudara bahwa Yesus sudah bangkit?

Percaya.

Yesus bangkit memberi kuasa yang terbesar bagi manusia; tetapi mengapa hidupmu begitu tidak bergairah? Biarlah orang Kristen di dalam keadaan apa pun tetap bersemangat, karena kita tahu, Yesus yang bangkit menyertai kita. Puji Tuhan!

Nas: 1 Korintus 15:20-28, 44-45

Hari yang paling penting bagi gereja mula-mula bukanlah hari Natal, melainkan hari Paskah. Mengapa?

Anugerah

Manusia mulai menyadari bahwa titik akhir dari kehidupan bukanlah kematian. Setelah Kristus bangkit dari antara orang mati, keyakinan manusia terhadap kebangkitan-Nya adalah harapan baru untuk mengubah seluruh suasana kerajaan Romawi yang penuh dengan penindasan, perbudakan, ketidakadilan, segala macam kejahatan, imoralitas, dan dosa-dosa yang luar biasa. Kerajaan Roma begitu luas, menjangkau Asia Barat, Afrika Utara, dan hampir seluruh Eropa. Namun, di dalam kerajaan yang paling besar, yang paling berkuasa dalam sepanjang sejarah di dunia Barat ini kita menemukan hidup manusia yang penuh dengan keluhan dan tidak mempunyai pengharapan. Kecuali mereka yang memiliki kedudukan tinggi dan kuasa yang besar di dalam kerajaan tersebut, sebagian besar manusia saat itu hidup sebagai budak yang diperjualbelikan, tidak mempunyai kemerdekaan yang selayaknya dinikmati oleh manusia pada umumnya. Kedatangan Yesus ke dunia mengubah seluruh situasi, bahkan seluruh nasib umat manusia.

Kelahiran Yesus adalah pemberian Allah yang terbesar bagi umat manusia. Kitab Suci menuliskan: Firman itu telah menjadi daging dan tinggal di tengah-tengah kita, penuh dengan anugerah dan kebenaran; dua hal yang sangat dibutuhkan umat manusia.

Umat manusia membutuhkan anugerah agar hidupnya tidak mengarah pada maut, yang dibelenggu oleh dosa, hidup yang gelap, yang tidak memunyai arah di dalam kekekalan. Manusia membutuhkan anugerah, belas kasihan dan kita menatapnya dengan penuh penantian.

Berkat dari siapakah yang kita nantikan? Dari raja, jenderal, atau dari para konglomerat?

Itu semua hanya omong kosong.

Lalu, berkat siapa yang kita nantikan?

Manusia di dunia tidak mempunyai kekuatan untuk sekedar memelihara diri, kita membutuhkan anugerah Allah, Sang Pencipta yang rahmani dan rahimi.

Apakah yang diperlukan oleh dunia ini?

Kebenaran.

Pada saat Yesus di dunia, filsuf-filsuf Yunani, mulai dari Thales, Anaximandros, Anaximenes, Lucresius, Demokritos, Aristoteles sampai ke Plato, Sokrates sudah mengalami jalan buntu. Mereka mencari kebijaksanaan, ingin mengetahui semua rahasia penting yang ada di alam semesta, tetapi ketika mereka menyelidiki hal-hal yang ada di luar manusia, mereka melupakan apa yang ada di dalam dirinya. Maka, kebijaksanaan yang terdapat di dalam filsafat hanya merupakan permainan dari pengetahuan yang tidak mampu menolong atau mengubah situasi ketidakadilan yang terdapat di dalam masyarakat.

Meskipun kebudayaan Yunani telah menanamkan modal yang penting sekali dalam membentuk masyarakat yang adil, membentuk pemikiran tentang siapakah manusia yang paling ideal, yaitu mereka yang memiliki bijaksana, keadilan, keberanian, dan tahan nafsu, tetapi nyatanya pada zaman Romawi keempat hal tersebut tidak mempunyai kekuatan apa-apa. Buktinya, orang Romawi berpikir tentang keadilan, tetapi mereka melakukan hal yang sama sekali tidak adil di pengadilan. Mereka berbicara tentang bijaksana, tetapi pada waktu mereka dihadapkan dengan masalah untung rugi, mereka tidak menghiraukan semua hal yang pernah mereka pelajari itu. Mereka berbicara tentang keberanian, tetapi keberanian malah berubah menjadi kebuasan, ke mana saja mereka menjajah selalu membunuh rakyat setempat dengan sewenang-wenang. Mereka berbicara tentang menahan nafsu, hal itu pun tidak terwujud. Buktinya, orang yang paling tidak bisa menahan nafsu adalah para kaisar di istana. Mereka tidak bisa menjadi contoh bagi para pejabat, begitu juga pejabat tidak bisa menjadi contoh bagi rakyat, rakyat juga tidak bisa menjadi contoh bagi anak-anak mereka yang sedang bertumbuh. Yang ada di dalam kerajaan itu hanyalah kuasa untuk membunuh, kuasa militer, dan bukan kuasa untuk membangun manusia, bukan kuasa moral untuk meningkatkan karakter manusia, bukan kuasa untuk memberi pengharapan bagi manusia. Itulah saatnya Yesus turun ke dunia.

Yesus turun ke dunia. Allah menjelma menjadi manusia yang berdaging, hidup di tengah-tengah kita. Memang kalimat itu sudah terlalu sering kita dengar, tetapi bayangkanlah, di dalam kerajaan Romawi, Allah yang bukan Yupiter, Mars, Arial, Venus, Merkurius, Hermes, ataupun dewa-dewa di bukit Olympus; melainkan Allah yang Mahatinggi, Allah Yang Esa, Dialah Allah yang menjelma menjadi manusia. Namun, herannya Allah justru memakai bahasa Yunani dan bukan bahasa lbrani sebagai bahasa pengantar Perjanjian Baru. Mengapa? Karena bahasa yang digunakan pada masa itu dan yang paling diterima oleh kalangan atas adalah bahasa Yunani, itulah sebabnya Injil tidak ditulis dalam bahasa lbrani melainkan bahasa Yunani, untuk menyatakan bahwa kehendak dan rencana keselamatan yang Allah berikan adalah bagi seluruh umat manusia. Di sini kita mendapatkan prinsip ini: bahasa adalah untuk Injil, Injil bukan untuk bahasa; kebudayaan adalah untuk Injil, Injil bukan untuk kebudayaan. Pada waktu kita masuk ke dalam gereja, pada waktu kita memberitakan Injil ke dunia, tinggalkanlah monopoli bahasa dan budaya. Jadilah global, supaya Injil bisa diberitakan ke seluruh muka bumi.

Ada orang yang bertanya kepada saya, mengapa pada hari Pentakosta, saat Roh Kudus turun, ada karunia lidah? Saya menjawab dengan dua alasan. Pertama, karunia lidah diberikan supaya mereka yang tadinya tidak mengerti Injil bisa mengerti Injil. Akan tetapi, sekarang, yang disebut "karunia lidah" justru membuat orang yang sudah mengerti menjadi tidak mengerti. Alasan yang kedua, agar gereja tahu bahwa Injil bukan hanya untuk satu bangsa -- Israel -- melainkan untuk seluruh umat manusia. Yesus mati untuk menebus dosa manusia dari segala bangsa, segala suku, segala bahasa, dengan darah-Nya, agar mereka kembali menjadi milik Allah. Apa yang Yesus bawa ketika Dia datang ke dunia? Firman menjadi daging, hidup di tengah-tengah kita, untuk membawa anugerah dan kebenaran.

Sejak masa Helenistik, empat abad sebelum Kristus sampai empat abad setelah Kristus -- selama 800 tahun itu -- orang-orang mulai berpikir tentang apa arti hidup; mengapa saya hidup. Mereka terbagi dalam tiga arus yang besar:

Stoasisme; hidup untuk mencari kebajikan, bukan hanya mencari uang saja.

Epikurianisme; hidup untuk mencari bahagia.

Skeptisisme; merasa bingung, tidak mengerti untuk apa mereka hidup.

Saya percaya, Pilatus mewakili orang-orang yang tidak bisa memberi jawaban mengenai apa itu kebenaran. Terbukti pada waktu dia bertanya kepada Yesus dengan nada memaksa: "Tidak tahukah kamu, bahwa aku mempunyai kuasa untuk menjatuhkan hukuman yang menentukan hidup mati-Mu?" Yesus yang sejak semula membungkam mulai angkat bicara. Itulah saat yang tepat untuk Yesus harus mengoreksi pemikiran para penguasa dunia. Kata-Nya kepada Pilatus, "Bukan kamu yang berkuasa. Dengan sesungguh-sungguhnya Aku berkata kepadamu, jika Bapa-Ku yang di sorga tidak memberi kuasa kepadamu, kamu tidak berhak melakukan apa pun terhadap Aku." Di sini, Yesus menegaskan bahwa hak dan kuasa pemerintahan harus berada di bawah kuasa Allah. Itulah sebabnya dalam 1 Korintus 15 dituliskan: semua penguasa akan dilenyapkan oleh Kristus, sebab Kristuslah pemerintah dan penguasa yang tertinggi dan yang terakhir. Ini bukan main-main. Kristus yang Saudara kabarkan, yang kepada-Nya Saudara berdoa, yang Saudara sembah, bukanlah Kristus yang lemah. Dialah Kristus yang mengalahkan maut, dosa, setan, dan pada hari terakhir nanti, Dia akan memusnahkan semua pemerintah maupun semua penguasa di dunia. Dia sendiri akan memerintah sebagai Raja di atas segala raja. Dengan status itulah Dia memandang para penguasa yang berbicara sewenang-wenang dan Dia menunggu dengan sabar.

Anak Domba Allah ini sebenarnya adalah Singa dari Yehuda. Oleh karena itu, saat Dia mendengar orang yang bernama Pilatus berbicara dengan sewenang-wenang, "Tidak tahukah Kamu bahwa aku berkuasa untuk membunuh Kamu?", Yesus menjawab, "Jikalau bukan Bapa-Ku yang memberimu kuasa, kamu tidak bisa berbuat apa pun atas diri-Ku. Namun demikian, Aku berkata kepadamu, Akulah Raja orang Yahudi. Aku datang ke dunia untuk menjadi saksi bagi kebenaran." Sejarah filosofi kekaisaran Romawi dan Yunani yang panjang berakhir pada pernyataan skeptis Pilatus ini, ketika ia bertanya, "Apa itu kebenaran?" Kristus lalu menyatakan, "Aku adalah saksi kebenaran." Sebenarnya Pilatus bukannya bertanya. Motivasi manusia bertanya bisa karena ingin tahu, ingin percaya, atau karena tidak mau percaya dan ingin menjatuhkan/menghina orang yang memberitakan firman Tuhan. Pilatus mengajukan pertanyaan itu untuk menyatakan penghinaannya terhadap kebenaran. Maka Tuhan tidak menjawab dan Pilatus juga tidak bertanya lagi. Itulah kalimat terakhir di dalam pertemuan antara Anak Allah yang begitu merendahkan diri dengan anak manusia yang begitu meninggikan diri. Sejak detik itu, Pilatus tidak memunyai kesempatan untuk bertemu dengan Yesus lagi. Pilatus sudah diberi kesempatan, tetapi dia meremehkannya.

Inilah pertemuan yang paling kritis, paling ironis, paradoks, dan inspiratif di dalam sepanjang sejarah. Dari zaman ke zaman, kita perlu merenungkan saat-saat Yesus paling merendahkan diri, perkataan apa yang Dia lontarkan? Dan, kala manusia paling congkak, perkataan apa yang dia ucapkan? Saat Yesus paling merendahkan diri, Dia berkata, "Aku adalah saksi dari kebenaran." Kala manusia begitu congkak, dia berkata, "Apa itu kebenaran?" Sampai sekarang, sejarah terus berada di dua jalur ini: percaya kepada Tuhan lalu mendapat anugerah dan kebenaran, atau menghina anugerah dan kebenaran lalu akhirnya harus mati di dalam dosa. Setelah pengadilan yang tidak adil itu selesai, Pilatus membiarkan Yesus dikenakan mahkota duri, dikenakan pakaian yang mempermalukan diri-Nya dan dicambuk.

Kalau Saudara pernah menyaksikan lukisan Mathias Grundewall, seorang Jerman, hatimu tidak mungkin tidak tersentuh. Grundewall melukiskan daging di tubuh Kristus tidak lagi licin, tetapi membengkak dan membiru akibat duri yang dipasang pada ujung cambuk itu menusuk badan-Nya. Ketika cambuk itu ditarik, keluarlah darah yang bercampur dengan karat di sekujur tubuh-Nya. Begitu mengerikan. Di dalam sejarah, tidak ada orang yang mungkin, atau pernah melukis lukisan Yesus dipaku di atas kayu salib sebaik lukisan Mathias Grunewald. Yang heran adalah, dia memakai pemikiran yang berbeda dengan pemikiran pelukis-pelukis lain. Dia melukiskan Yohanes Pembaptis, yang sudah mati, berdiri di samping Tuhan Yesus. Karena di dalam pikirannya, kesementaraan bisa disejajarkan dengan kekekalan: Yohanes Pembaptis memegang sebuah kitab di tangannya, sambil menunjuk pada Yesus yang tersalib. Wajahnya seolah-olah berkata kepada orang yang menyaksikan lukisan itu, "Lihatlah Anak Domba Allah yang menghapus dosa dunia." Di sebelah kanannya terdapat Maria, ibu Yesus secara jasmani yang menangis dengan kesedihan yang luar biasa. Kepalanya, bahkan seluruh tubuhnya membungkuk ke bawah karena dia tak tahan menyaksikan ketidakadilan yang diperlakukan atas diri Yesus. Salib memang merupakan sindiran bagi dunia. Adakah kebenaran? Adakah kasih? Adakah kebajikan? Adakah keadilan?

Jika Yesus tidak bangkit, kebudayaan justru akan menyatakan kerusakan manusia yang konon sudah menjadi semakin hebat.

FacebookTwitterWhatsAppTelegram

Jika manusia memang mempunyai kebudayaan selama ribuan tahun, izinkan saya bertanya, mengapa orang yang baik seperti Yesus Kristus harus diperlakukan seperti itu? Jawablah hai manusia! Untuk apa Saudara dididik dan dididik sampai sekolah tinggi, lalu setelah menjadi orang yang tertinggi di bidang politik atau kebudayaan, malah melakukan ketidakadilan seperti itu? Coba buktikan kalau manusia sudah maju, sudah bermoral! Buktikan bahwa kerajaan yang terbesar itu telah melakukan hal yang terbaik! Semuanya terbalik! Pada waktu Yesus disalib, di sanalah keadilan dikalahkan oleh ketidakadilan, kesucian dikalahkan oleh kenajisan, kebajikan dikalahkan oleh kejahatan; Allah dikalahkan oleh orang berdosa. Itulah sebabnya, jika Yesus tidak bangkit, tidak ada pengharapan untuk dunia ini. Jika Yesus tidak bangkit, kebudayaan justru akan menyatakan kerusakan manusia yang konon sudah menjadi semakin hebat.

Pada zaman Romawi, manusia merayakan kesuksesan, tetapi kesuksesan berakhir dengan kegagalan yang terbesar karena mereka tidak bisa memperlakukan Yesus -- orang yang paling baik di dalam sejarah -- dengan adil, bahkan harus dipaku di atas kayu salib. Itulah sebabnya Paulus berkata: "Jika Yesus tidak bangkit, sia-sialah apa yang aku beritakan." Jika Yesus tidak bangkit, apa yang Saudara percaya adalah omong kosong belaka. Jika Yesus tidak bangkit, percumalah hidup kita di dunia. Jika Yesus tidak bangkit, berarti kita hanya berhadapan dengan Yesus yang hanya hidup selama 33,5 tahun saja. Jika Yesus tidak bangkit, pengharapan kita hanya di dunia ini saja. Jika Yesus tidak bangkit, di antara semua manusia yang pernah hidup di dunia, kita adalah orang yang paling malang. Kalau Dia adalah orang mati yang tidak pernah bangkit, buat apa kita percaya kepada-Nya? Kita perlu menyadari, secara agama, kekristenan kalah dengan agama Buddha, Islam, Katolik, dan agama apa pun. Secara agama, kita kurang mistis, liturgis, serta kurang unsur-unsur lain yang diperlukan untuk membentuk satu agama yang besar. Namuan, lepas dari semua itu, kita mempunyai Kristus yang mati dan bangkit, yang tidak terdapat di dalam agama mana pun. Itulah yang membuat kita hidup. Jika orang Kristen Protestan tidak tahu hal ini, dia pasti akan memasuki era pascakekristenan; seperti halnya kekristenan di Eropa, gereja-gereja besar yang bisa memuat 20.000 orang, sekarang hanya dihadiri oleh 120 atau 200 orang, sisanya untuk para turis berfoto, menikmati arsitektur Gotik, Rokoko, Barok, dan menjadi tempat cari uang bagi para pemandu wisata.

Apakah kekristenan itu? Kalau orang Kristen tidak lagi percaya kepada Kristus yang lahir, mati, dan bangkit untuk kita, kekristenan hanya menjadi salah satu atraksi bagi para turis saja. Paulus berkata, "Celakalah kamu, jika kamu tidak percaya Yesus bangkit." Kebangkitan Yesus menjadi pengharapan terbesar bagi kita dan membuat kita berbeda dengan semua agama lain. Pendiri-pendiri agama lain masih berada di dalam kubur, disakralkan, dijadikan museum yang terbesar, tetapi kuburannya masih berisi. Karena kubur mereka masih terisi, maka penglkutnya hidup dalam kekosongan. Kuburan Yesus kosong karena Ia sekarang hidup. Dia sudah keluar dari kubur. Oleh karena itu, hati para pengikut-Nya tidak kosong karena Dia bisa berada di dalam hati kita. Puji Tuhan!

Jika Yesus datang ke dalam dunia untuk menyatakan cinta kasih, anugerah, dan kebenaran Tuhan, izinkan saya bertanya, kebenaran itu adalah kebenaran yang seperti apa? Anugerah itu adalah anugerah yang seperti apa? Jika Saudara berkata, anugerah itu memberiku kekayaan, kelancaran, dan kesembuhan, itu adalah anugerah yang dituntut oleh orang-orang duniawi dan mereka yang menganut teologi kemakmuran, yang tidak mengenal Injil. Apa jadinya kalau gereja menyimpang dari Injil? Kalau gereja tidak mengerti bahwa Yesus datang untuk membereskan dosa, melepaskan kita dari kuasa maut, dan membebaskan kita dari cengkeraman setan, gereja akan mengarah ke mana? Jika Yesus tidak mati, dosamu tidak akan diampuni! Jika Yesus tidak bangkit, Saudara tidak akan diberi hidup baru! Jika Yesus tidak mati dan bangkit bagi kita, kita tidak bisa berdamai dengan Allah! Inilah tujuan utama Allah mengutus Anak-Nya ke dunia: supaya orang yang percaya kepada-Nya jangan binasa, melainkan beroleh ... kekayaan? Bukan! Melainkan beroleh hidup yang kekal. Kita akan menekankan dan menekankan kembali tentang Firman, Injil, kedaulatan Allah, dan tidak ada hal yang lain. Saya mengharapkan semua murid saya di sekolah teologi dan rekan-rekan mewarisi semangat yang sama, sehingga gereja, bukan jatuh ke dalam wilayah agama dan kehilangan kuasa Injil.

Ketika mengutarakan kalimat-kalimat ini, Paulus bagaikan sedang mengoyak-ngoyak jiwanya, agar orang Korintus mengerti apa yang kita percaya. Mengapa kita menjadi orang Kristen; mengapa kita harus menekankan begitu rupa kematian dan kebangkitan Kristus? Karena Injillah yang paling penting. Injil adalah rencana Allah dan pengharapan bagi dunia. Pada 400 tahun pertama pada masa PB, kita menyaksikan seluruh kerajaan Romawi diguncangkan. Bukan oleh pisau, bukan oleh pedang, atau oleh militer, melainkan oleh Yesus Kristus. Orang yang sudah menerima Yesus, hidupnya berubah. Mereka mempunyai pengharapan. Meskipun hidup sebagai budak, tetapi mereka suka bernyanyi karena mereka tahu Yesus hidup di dalam hati mereka. Mereka pun tahu bahwa mereka menyembah Dia yang hidup, bukan yang mati. Bila dibandingkan dengan semua dewa-dewa yang disembah oleh orang Yunani dan orang Romawi, memang sangat berbeda karena mereka terpengaruh oleh orang Kristen yang menerima Yesus, yang beribadah kepada satu-satunya Allah. Pengaruh terbesar dalam sejarah adalah pengaruh dari Yesus yang datang ke dunia. Dan, pengaruh yang ditimbulkan dari mereka yang betul-betul mengenal Yesus yang bangkit adalah mereka telah mengubah dunia.

Banyak orang di dalam kerajaan Romawi yang menjadi Kristen tetapi tidak secara terang-terangan menyatakan diri sebagai orang Kristen. Mereka berkumpul di "katakombe" (ruangan makam - Red.) di bawah kota Roma. Ada orang mengatakan, kalau katakombe-katakombe itu digabungkan, maka kira-kira akan menjadi 1.700 meter panjangnya. Artinya, ada ratusan ribu atau bahkan jutaan orang menjadi Kristen. Banyak orang masuk ke sana dan mereka menerima Injil. Sampai abad ke-4, barulah kaisar Roma mengatakan: Yesuslah yang benar, Roma tidak benar. Konstantin, Kaisar Romawi mengumumkan: "Kristus benar. Kristus Tuhan saya. Saya percaya Yesus dan agama Kristen yang dulu dianiaya kini menjadi agama resmi. Orang Kristen yang lemah, yang menjadi budak, yang dihina tidak perlu takut. Karena kita memiliki Kristus yang sudah bangkit dari antara orang mati."

Kitab Suci mengatakan bahwa manusia pertama, Adam, membawa kematian ke dalam dunia, Adam yang kedua atau Adam terakhir, Kristus, membawa hidup ke dalam dunia;

Adam yang pertama dicipta, Adam yang kedua mencipta;

Adam yang pertama tidak taat, Adam yang kedua taat;

Adam yang pertama berdosa, Adam yang kedua menolak dosa;

Adam yang pertama melanggar Tuhan, Adam yang kedua membawa manusia kembali kepada Tuhan;

Adam yang pertama mati di dalam dosanya, Adam yang kedua membawa manusia keluar dari kematian dan dosa, memberikan hidup yang baru;

Itu sebabnya, Adam yang pertama menjadi manusia yang hidup, Adam yang kedua menjadi Roh yang menghidupkan manusia. Puji Tuhan! Dialah yang disebut Buah Sulung Kebangkitan.

Adam dan Kristus

Mungkin Saudara bertanya-tanya, bagaimana keadaan tubuh Kristus yang bangkit? Apakah artinya kita yang mengikuti Dia akan menjadi seperti Dia? 1 Korintus 15 mengajarkan kepada kita, Yesus Kristus adalah Buah Sulung dari Kebangkitan. Jadi, tubuh kebangkitan mempunyai lima ciri khas.

Yang pertama, tubuh kita yang sekarang adalah tubuh jasmaniah yang dicipta oleh Tuhan dari tanah liat, tetapi tubuh kebangkitan adalah tubuh rohani, di dalam tubuh tersebut kemuliaan dan kuasa Tuhan akan mengubah kita. Pada waktu kita bangkit dari kematian, kita akan memiliki tubuh kebangkitan seperti tubuh kebangkitan Kristus. Dia adalah Buah Sulung Kebangkitan, kebangkitan yang pertama, yang berbeda dengan kebangkitan-kebangkitan yang lain. Sebenarnya, sebelum Yesus bangkit, sudah ada orang-orang yang pernah dibangkitkan oleh nabi-nabi: misalnya Elia membangkitkan seorang anak atau Elisa membangkitkan seorang anak. Akan tetapi, kebangkitan mereka berbeda dengan kebangkitan Yesus Kristus. Mereka yang pernah dibangkitkan oleh Elia dan Elisa akhirnya harus mati lagi. Akan tetapi, kebangkitan Yesus adalah kebangkitan yang sekaligus mengalahkan kematian dan tidak mati lagi. Kebangkitan Yesus juga berbeda dengan ketiga orang yang pernah Dia bangkitkan: anak Yairus, anak janda di kota Nain, dan Lazarus. Apakah ada perbedaan antara cara Yesus membangkitkan ketiga orang itu dengan cara Elia dan Elisa membangkitkan kedua anak itu? Berbeda. Elia dan Elisa hanya berdoa dan membangkitkan dalam nama Allah karena mereka hanyalah manusia. Sedangkan pada saat Yesus membangkitkan, Dia tidak perlu membangkitkan demi nama Allah, Dia hanya perlu mengucapkan satu kalimat yang berupa titah Allah: "bangkitlah kamu" atau "Lazarus keluar", lalu mereka pun bangkit. Yesus bukan pengantara, Dia adalah Allah, Dia Pemberi hidup. Tubuh kita adalah tubuh jasmaniah, tetapi tubuh kebangkitan adalah tubuh rohani.

Kedua, tubuh kita yang sekarang adalah tubuh yang penuh dengan kelemahan, tetapi tubuh kebangkitan adalah tubuh yang kuat, perkasa. Tubuh kita ini masih bisa mengalami sakit penyakit, bisa merasakan letih. Karena tubuh jasmani ini terbentuk dari tulang, urat, daging, kulit, yang mempunyai kemungkinan terserang oleh virus, bakteri yang mengakibatkan sakit. Tubuh kita adalah tubuh yang lemah, tetapi pada kebangkitan nanti, kita akan diberi tubuh yang kuat, dan perkasa.

Ketiga, tubuh kita yang sekarang adalah tubuh yang bisa rusak, yang fana, tetapi tubuh kebangkitan adalah tubuh yang kekal. Kerusakan tubuh memang sangat menakutkan. Seorang murid saya, yang tadinya begitu cantik, begitu lincah, tidak lama setelah dia menikah, ia menderita sakit dan akhirnya meninggal dunia. Ketika saya pergi melayatnya, saya melihat dia yang baru mati 2 hari, separuh wajahnya sudah hitam dan seluruh tubuhnya sudah mulai rusak. Siapakah kita? Kita adalah manusia yang mempunyai tubuh fana, tetapi Allah berjanji akan memberikan tubuh kekal, sifat ilahi Allah yang diberikan pada kita. Waktu hari itu tiba, malaikat akan membunyikan sangkakala, lalu orang yang hidup akan berubah dan yang mati akan dibangkitkan. Saat itu, kita akan mendapatkan tubuh kebangkitan yang kekal; yang fana akan menjadi kekal.

Keempat, tubuh kita yang sekarang adalah tubuh yang hina, tetapi tubuh kebangkitan adalah tubuh yang mulia. Sebenarnya manusia mempunyai tubuh yang tercantik di antara semua makhluk, tetapi tubuh ini perlu menggunakan busana dan perlu ditutupi. Mengapa? Karena dalam tubuh ini sudah ada dosa. Busana adalah bukti dari adanya dosa asal. Karena itulah, tubuh membuat kita merasa malu. Mengapa? Kemuliaan yang tadinya membungkus tubuhnya, sekarang sudah hilang, tetapi waktu kebangkitan nanti, kemuliaan akan kembali menutupi kita, kita mempunyai tubuh mulia seperti tubuh kebangkitan Kristus.

Kelima, tubuh yang sekarang adalah tubuh yang sementara, tetapi tubuh kebangkitan adalah tubuh yang kekal, yang tidak berubah untuk selama-lamanya. Kelak ketika nanti kita di surga, kita akan mengingat setiap orang, mengenali dia, Tuhan telah mengabadikan keadaan yang paling mulia, paling cantik dalam masa hidupnya untuk selama-lamanya. Puji Tuhan!

Yesus bangkit, menjadi Buah Sulung Kebangkitan. Apa yang dimaksudkan dengan buah sulung? Buah sulung adalah sampel, teladan, contoh. Allah adalah setia dan jujur, sebagaimana kebangkitan Kristus. Kita juga akan dibangkitkan; sebagaimana Kristus memiliki tubuh yang mulia, kita juga akan memiliki tubuh yang mulia. Sebagaimana Kristus memiliki tubuh yang tidak rusak, kita juga akan memiliki tubuh yang tidak rusak. Sebagaimana Yesus memiliki tubuh sorgawi, kita juga akan mendapatkan tubuh surgawi. Sebagaimana tubuh Yesus yang kekal, yang tidak berubah lagi, kita pun demikian. Sekarang ketika Saudara bercermin, Saudara menemukan diri terlihat keriput dan lelah. Katakanlah kepada cermin: ini adalah keadaanku yang sekarang, kelak pada saat hari kebangkitan, tubuhku akan lain! Jangan mau diperdaya oleh tubuhmu, tidak usah takut pada kelemahan tubuh karena kepada kita telah dijanjikan tubuh yang kuat. Sekarang, selama tubuh yang lemah ini masih bisa menjadi alat untuk memuliakan Tuhan, marilah kita menggunakannya dengan baik untuk Tuhan.

Hari itu, kita akan mendapatkan tubuh yang mulia; tidak ada sakit penyakit, tetapi kita perlu berkata kepada Tuhan, semasa kita masih di dunia, di dalam tubuh kita yang sakit, yang lemah, yang duniawi, yang jasmani, yang terbatas, yang mempunyai banyak kesulitan, "hidup di dunia ini bahkan untuk satu hari saja sudah merupakan suatu kehormatan yang besar!" Bila Anda ingin melayani Tuhan, jangan tunggu sampai mati, karena saat itu, kalaupun Saudara ingin ikut terjun melayani Anda sudah tidak bisa lagi. Jadi, sekarang inilah saatnya kita melayani Tuhan dengan baik. Suatu hari nanti, kita akan berkumpul lagi. Bukan di sini, tapi di surga. Di sana kita akan memiliki tubuh kebangkitan yang mulia, yang surgawi, yang kuat, yang tidak rusak, yang kekal, dan yang betul-betul bersifat rohani untuk selama-lamanya. Apakah Saudara telah menerima Tuhan sebagai Juru Selamat? Apakah Saudara hidup di dalam pengharapan? Apakah Saudara sudah mengakui segala dosa kepada-Nya dan menerima keselamatan, kebenaran, anugerah yang Allah sediakan?

Audio: Kristus, Buah Sulung Kebangkitan

Sumber: 

Diambil dan disunting seperlunya dari:

Judul asli artikel: Kristus, Buah Sulung Kebangkitan
Judul majalah: Momentum edisi 43, Triwulan II tahun 2000
Penulis ringkasan : EL
khotbah
Penerbit: Lembaga Reformed Injili Indonesia
Halaman: 3 - 11

Percaya Kepada Allah dalam Segala Sesuatu -- (Bagian 2)

Editorial: 

Dear e-Reformed Netters,

Berikut ini adalah bagian kedua dari artikel yang dikirimkan sebelumnya. Harap kami supaya setelah Anda selesai membaca seluruh artikel ini, Anda dapat mengambil kesimpulan bahwa hidup menurut hikmat Allah bukan merupakan pilihan, tapi kepastian. Berpalinglah dari hikmat duniawi yang pada akhirnya hanya menjanjikan kekosongan. Kembalilah kepada Tuhan, karena hanya di dalam Dialah Anda akan dapat menemukan arti kekayaan hidup yang sesungguhnya.

Selamat membaca.

In Christ,
Yulia
http://reformed.sabda.org
http://fb.sabda.org/reformed

Penulis: 
Bill Hybels
Edisi: 
118/II/2010
Tanggal: 
28-2-2010
Isi: 

Percaya Kepada Allah di dalam Segala Sesuatu (Bagian 2)

Catatan-catatan Mental

Saya yakin bahwa siapa pun yang bertindak dalam iman akan menemukan bahwa Allah dapat dipercaya untuk keselamatannya. Tetapi, itu hanyalah permulaan. Langkah berikutnya adalah percaya kepada Allah dalam segala keputusan hidup sehari-hari. Melalui tulisan ini, saya telah membandingkan dua jalan, pertama berdasarkan hikmat manusia, yang lain berdasarkan hikmat Tuhan. Saya telah melakukan yang terbaik untuk mengembangkan sebuah kasus menarik mengenai keunggulan hikmat Allah.

Saya telah mencoba meyakinkan Anda bahwa mengambil inisiatif adalah lebih baik daripada bersikap pasif, malas, atau fatalistis; bahwa berbuat baik mengalahkan tindakan memusatkan diri sendiri yang mematirasakan jiwa kita; bahwa kedisiplinan diri, meskipun sulit untuk dibangun, memberikan banyak keuntungan; bahwa mengatakan kebenaran dengan kasih adalah lebih baik daripada berkelit dalam kebohongan; bahwa memilih teman dengan bijaksana adalah kunci penting untuk bertumbuh dalam hikmat; bahwa menikah dengan baik adalah dasar dari sebuah pernikahan yang langgeng; bahwa tempaan keluarga yang kuat adalah cara terbaik untuk memberikan warisan positif dari satu generasi ke generasi berikut; bahwa menumbuhkan kasih sayang adalah cara yang ampuh untuk mengubah dunia; dan bahwa pengelolaan kemarahan secara konstruktif penting untuk kebahagiaan pribadi dan keharmonisan hubungan.

Kitab Amsal telah banyak mengajarkan kepada saya tentang bagaimana menjalani hidup saya, dan saya berharap saya telah efektif dalam menyampaikan apa yang telah saya pelajari. Tetapi masih tersisa pertanyaan, akankah kita memilih jalan Tuhan di berbagai persimpangan kehidupan sehari-hari? Akankah kita memercayai Allah secara cukup untuk menyesuaikan kehendak kita dengan jalan-Nya?

Sudah hampir tiga puluh tahun sejak saya memutuskan untuk mencoba memercayakan seluruh hidup saya kepada Allah, dan sekarang saya semakin yakin bahwa Allah dapat dipercaya lebih dari yang saya pernah lakukan dalam hidup saya. Ketika saya melihat kembali ke tahun-tahun lampau, saya tidak menyesali saat-saat ketika saya mengikuti jalan Tuhan. Tidak satu pun. Kadang-kadang sulit, kadang-kadang membingungkan, tetapi selalu, pada akhirnya, saya berbahagia telah memilih hikmat Allah.

Pada sisi lain, saya bisa memenuhi berjilid-jilid catatan dengan penyesalan yang saya bawa ketika saya sengaja memilih jalan lain. Saya teringat satu catatan yang disebut "Catatan Saya yang Sangat Bodoh", berisi kenangan segala sesuatu pada saat saya berada di persimpangan kritis dalam hidup, dan saya memilih jalan yang bodoh. Setiap kali, saya mengakhirinya dengan berkata, "Itu sangat bodoh. Lihatlah akibatnya. Lihatlah orang yang telah saya sakiti. Lihatlah rasa bersalah yang saya bawa. Lihatlah waktu saya yang telah terhilang. Menolak mengikuti cara Allah itu bodoh sekali."

Seperti yang saya katakan pada bab pertama buku ini, kita tidak dilahirkan bijak; kita dilahirkan dengan kebodohan dalam hati dan pikiran kita. Salah satu tugas hidup yang utama adalah keluar dari kebodohan dan bertumbuh ke arah kebijaksanaan. Belajar dari kesalahan merupakan bagian dari proses pertumbuhan. Oleh karena itu, setiap kali saya mendapat pelajaran dari pilihan bodoh saya, yang memungkinkan saya untuk membuat pilihan yang bijaksana kali berikutnya, saya secara mental menyimpan pilihan-pilihan tersebut ke dalam "Catatan Saya yang Sangat Cerdas". Membaca dan membandingkan dua catatan tersebut merupakan salah satu cara paling efektif untuk membangun kepercayaan di dalam Tuhan. Jelas sekali bahwa setiap saya berjalan di jalan Allah, hidup saya menjadi lebih baik. Setiap saya percaya kepada-Nya dengan menaati perintah-Nya, bertindak sesuai kebijaksanaan-Nya, atau berserah pada bimbingan-Nya, Ia membuktikan kelayakan-Nya untuk saya percayai: kebijaksanaan-Nya terbukti, perintah-Nya adil, dan bimbingan-Nya membantu saya. Akhirnya, saya bisa mengatakan tanpa ragu-ragu, "Saya percaya Allah dengan segenap hatiku! Saya tidak sedang membual atau membuat pernyataan palsu. Saya percaya kepada Tuhan karena Ia telah membuktikan diri-Nya dapat dipercaya."

Janganlah Bersandar pada Pengertianmu Sendiri

Apa arti bagian kedua dari Amsal 3:5-6? Ketika Alkitab memerintahkan kita "janganlah bersandar pada pengertian kita sendiri," apakah itu berarti kita harus membuang jauh otak kita untuk tumbuh sebagai orang Kristen? Apakah ini berarti kita harus mengabaikan kecerdasan kita dan menganggap bahwa kita tidak memiliki pemahaman apa pun, bahwa kita tidak belajar apa pun sepanjang hidup kita? Tentu saja tidak. Tapi itu peringatan bagi kita untuk waspada terhadap reaksi refleksif manusiawi kita terhadap situasi kehidupan yang kompleks. Kita akui atau tidak, perspektif manusia selalu terbatas, dan intuisi alamiah selalu sedikit meragukan. Sejujurnya, kita semua akan mengacaukan hidup kita ke tingkat tertentu jika kita hanya mengikuti pemahaman kita sendiri. Kita membutuhkan masukan dari Allah dalam proses pengambilan keputusan dalam kehidupan sehari-hari.

Baru-baru ini saya membaca sebuah artikel berjudul "178 Detik untuk Hidup." Artikel ini bercerita tentang dua puluh orang pilot yang cakap tetapi yang tidak pernah menerima pelatihan simulasi. Masing-masing dari kedua puluh pilot ini diikutsertakan dalam simulasi penerbangan dan diperintahkan untuk melakukan apa saja yang bisa mereka lakukan agar pesawat terbang tetap terkendali di dalam cuaca berawan tebal, gelap, dan berbadai. Artikel tersebut menyatakan bahwa kedua puluh pilot itu "jatuh dan membunuh diri mereka sendiri" dalam waktu rata-rata 178 detik. Dibutuhkan waktu kurang dari 3 menit bagi para pilot yang memiliki intuisi yang terlatih ini untuk menghancurkan diri mereka sendiri segera sesudah mereka kehilangan titik acuan visual mereka.

Beberapa waktu lalu, saya sedang menjadi kopilot sebuah pesawat dalam perjalanan malam kembali ke Chicago dari Pesisir Timur AS. Sementara pilot yang bertugas sedang sibuk memasukkan data ke dalam komputer, saya melakukan lepas landas dan menambah ketinggian, menjaga agar pesawat tetap lurus dan datar dan berada di jalurnya. Semua berjalan lancar sampai kami memasuki lapisan awan yang sangat tebal. Tanpa adanya titik acuan di luar pesawat, dengan tenang saya fokus pada peralatan di panel kokpit dan membuat koreksi apa saja yang diperintahkan. Tetapi, beberapa menit setelah memasuki awan itu, peralatan-peralatan tersebut memerintahkan saya untuk membuat koreksi atas semua kesalahan saya; peralatan-peralatan tersebut menunjukkan bahwa kami perlahan-lahan berbelok ke kiri. Namun, saya tahu bahwa saya tidak mengubah kendali sedikit pun, dan saya yakin bahwa tidak ada pergeseran atau turbulensi angin apa pun. Jadi, saya duduk dan berkata kepada diri sendiri, "Tidak ada keharusan kita untuk berbelok ke kiri." Dan saya tidak melakukan koreksi yang diperintahkan.

Alasan saya sangat sederhana: Saya telah mengemudikan pesawat terbang sejak saya berumur lima belas tahun -- pesawat biasa, pesawat amfibi, pesawat bermesin satu, pesawat bermesin ganda, pesawat berbaling-baling turbo, pesawat jet, bahkan helikopter -- tanpa satu pun kecelakaan atau nyaris kecelakaan. Saya menganggap bahwa karena saya telah melakukan begitu banyak penerbangan dan mempertahankan catatan yang baik, saya jelas telah mengembangkan intuisi yang andal menyangkut gerakan pesawat. Jadi, pada malam itu, saya sengaja memilih percaya pada intuisi saya sendiri dan bukan tanda-tanda yang tampak pada peralatan di panel kokpit. Saya berkata, "Saya tahu lebih baik. Jika harus memilih salah satu di antara percaya pada peralatan atau intuisi pribadi, saya akan percaya pada intuisi saya."

Pilihan yang buruk. Untung saja, pada waktu itu pilot melihat dari petanya, memeriksa peralatan, meraih kendali, dan segera membuat koreksi. Dia melirik seolah-olah bertanya, "Apa kamu gila?" Kemudian dia tersenyum kecut kepada saya, menunjuk ke peralatan tersebut, dan berkata, "Percayalah pada alat ini. Kita berdua akan hidup lebih lama." Selama sisa penerbangan itu saya katakan kepada Anda bahwa saya menatap lekat-lekat ke peralatan-peralatan tersebut, dan saya membuat setiap koreksi kecil yang ditunjukkan oleh panel.

Ketika penulis Kitab Amsal mengatakan kepada kita untuk tidak bersandar pada pengertian kita sendiri, dia menunjukkan bahwa secerdas atau sebanyak apa pun pengalaman hidup kita, kita masih perlu menyadari bahwa penilaian manusia selalu terbatas dan kadang-kadang salah. Kadang-kadang gagasan terbaik kita tentang apa yang seharusnya dikatakan atau dilakukan ternyata keliru, berbahaya, bahkan merusak. Ketika sampai pada keputusan penting dalam hidup kita, kita hampir selalu membutuhkan pemahaman yang lebih dalam dan perspektif yang lebih luas dari sekadar yang ditawarkan oleh hikmat manusia kepada kita.

Apa yang kita sangat butuhkan adalah pikiran Tuhan mengenai hal-hal serius dalam hidup ini. Ia menawarkannya kepada kita melalui ajaran firman-Nya dan bimbingan Roh-Nya. Tugas kita bukanlah untuk mempertanyakan atau menganggap bahwa kita sudah tahu lebih baik, seperti pilot yang terlalu percaya diri yang menomorduakan petunjuk dari peralatan-peralatannya, tetapi untuk percaya bahwa Allah mengetahui lebih baik bagaimana mengisi hidup kita. Sebuah aturan rohani yang barangkali berguna: "Jika ragu, selalu, selalu, dan selalu percayalah pada hikmat Allah."

Akuilah Dia dalam Segala Lakumu

Mari kita langsung pada pokok frasa berikut ini. Dalam konteks kutipan pendek ini, "mengakui Allah" berarti mengakui kebijaksanaan, wawasan, dan pemahaman-Nya. Itulah yang dibahas dalam buku ini. "Di dalam semua laku kita" berarti ... yah, di "semua" laku kita. Kita dapat diyakinkan bahwa setiap bidang kehidupan yang kita putuskan untuk kita kelola tanpa menggunakan hikmat, wawasan, dan pemahaman dari Allah akan berakhir dalam masalah. Setiap bidang yang kita beri tanda "Dilarang Masuk Tanpa Izin" dan mencoba mengabaikan Tuhan, tampaknya akan menjadi bidang yang membahayakan kualitas hidup kita dan mengancam orang-orang di sekitar kita. Untuk menenggelamkan sebuah kapal tidak diperlukan banyak lubang, cukup satu saja. Dan satu lubang itu pun tidak harus berukuran besar.

Beberapa orang melihat ambisi karir mereka, yang lain memandang seksualitas, sebagian lagi pada uang, pilihan teman-teman, atau kegiatan pada waktu luang, dan mereka berkata, "Aku mengetahui semua tentang kebijaksanaan-Mu, Tuhan. Aku mengetahui apa yang Alkitab katakan tentang hal ini. Aku mengetahui bagaimana Roh-Mu mendorongku. Tetapi, jawabanku adalah tidak. Aku tidak menginginkan nasihat-Mu. Aku tidak menginginkan kebijaksanaan-Mu. Aku sendiri yang akan mengatur hal ini."

Ingatlah bab tentang inisiatif? Ingatlah orang-orang yang menepuk punggung sendiri tatkala mereka mengambil inisiatif di hampir setiap bidang kehidupan, bahkan mungkin sembilan dari sepuluh orang, tetapi mereka gagal menyadari kerusakan yang bisa dilakukan oleh satu bidang kemalasan? Prinsip ini berulang. Sembilan dari sepuluh orang tidaklah cukup, baik itu berarti mengambil inisiatif atau berbagai bentuk lain untuk pembangunan karakter atau ketaatan. Satu saja bidang kehidupan yang tidak diserahkan sudah berkonsekuensi negatif dan meluas. Pada suatu waktu kelak, hal itu hampir pasti akan berdampak buruk pada dimensi lain dalam kehidupan kita. Akhirnya, ketika hidup tidak lagi berjalan dengan baik, kita mungkin akan melihat ke belakang dan berkata, "Semuanya dimulai dengan satu kendali pribadi yang kecil, bahwa saya merasa bisa mengelola diri lebih baik daripada Allah ... dan sekarang beginilah jadinya."

Banyak orang tampak bertekad untuk mempelajari segala sesuatu yang sulit. Tetapi kita semua bisa menyelamatkan diri kita sendiri dan beban masalah orang lain jika kita bisa mempelajari apa yang telah dipelajari oleh jutaan orang sebelum kita: Berbagai bidang kehidupan, yang tidak ditempatkan di bawah kepemimpinan dan kebijaksanaan Tuhan, pada akhirnya akan menjadi sumber frustrasi, sakit hati, dan nyeri yang hebat.

Penulis Amsal sunguh-sungguh meminta agar kita tidak menjerumuskan diri sendiri ke dalam risiko ini. Jika kita mengakui Allah dalam semua hal, dalam setiap bidang kehidupan kita, kita dapat mengurangi risiko permasalahan itu secara signifikan. Itu seperti menambal satu lubang yang mengancam akan menenggelamkan kapal kita.

Adakah kendali pribadi yang Anda belum serahkan kepada Allah? Jika ya, mengapa Anda tidak menyerahkannya kepada Allah? Turunkanlah tanda "Dilarang Masuk Tanpa Izin" dan persilakanlah Tuhan masuk. Saya belum pernah bertemu orang yang menyesali keputusan ini. Sekarang giliran Anda. Saya mendorong Anda.

Maka Ia Akan Meluruskan Jalanmu

Sebelum baris terakhir pada bagian ini menjauhkan siapa pun dari topik utamanya, saya ingin menjelaskan apa yang bukan merupakan arti dari kalimat tersebut. Kalimat tersebut tidak berarti bahwa Allah akan membuat kita sehat, kaya, dan bahagia. Kalimat tersebut tidak berarti bahwa Ia akan membuat kita nyaman, populer, dan langsing. Kalimat tersebut tidak berarti bahwa Ia akan memenuhi semua pengharapan sepele dan keinginan sesaat kita. "Ia akan meluruskan jalanmu" berarti bahwa Ia akan memberikan arah, tujuan, fokus, dan pemenuhan hidup kita. Ia akan membimbing kita melewati rawa-rawa dan parit-parit sehingga kita bisa tetap di jalan yang benar. Ia akan bekerja di dalam kita untuk mengubah hati dan jiwa kita. Ia akan bekerja di kedalaman pribadi untuk mengubah hati dan jiwa kita. Ia akan bekerja melalui diri kita supaya kita berdampak pada orang lain. Dan ketika kita sudah tiada, Ia akan memimpin kita melewati pintu gerbang surga. Ketika Anda merenungkan hal ini, apa lagi yang kita bisa minta?

Saya baru-baru ini menghadiri pemakaman ayah salah seorang teman terdekat saya. Pemakaman itu diadakan di pekuburan gereja yang saya kunjungi sepanjang masa kanak-kanak dan remaja saya. Semua tampak persis seperti tiga puluh tahun sebelumnya. Pada saat saya duduk di sana, teringatlah saya pada banyak kenangan.

Saya sangat ingat pada seorang pria tua yang telah menantang saya untuk memercayai Allah dengan segenap hati dan mengizinkan Dia membimbing serta mengarahkan hidup saya. Ketika saya memikirkan kembali arti peristiwa tersebut dalam hidup saya selama tiga puluh tahun sebelumnya, saya nyaris tidak bisa menahan emosi. Saya tersenyum ketika menyadari bahwa saya tidak dapat menghabiskan satu malam dengan melempar dan berbalik ke tiga puluhan-tahun yang lalu itu tanpa saya kehilangan arti, tujuan, atau petualangannya.

Lalu saya kembali menahan air mata saat memikirkan semua yang mungkin saya lewatkan seandainya saya memilih untuk mengatur sendiri kehidupan saya: pekerjaan yang membuat saya bersemangat untuk bangun pada pagi hari, teman-teman yang sudah seperti keluarga bagi saya, pernikahan yang terus bertumbuh, dan anak-anak yang memberikan kebahagiaan terbesar di dalam hidup saya.

Dalam upacara pemakaman tersebut, saya meletakkan tangan saya di atas lutut dengan telapak tangan tengadah, dan saya berkata, "Tuhan, setengah hidupku mungkin telah berlalu, tetapi aku ingin membuat kesepakatan yang sama mengenai apa pun dengan waktu yang tersisa, yang saya akan buat sehubungan dengan masa lalu. Aku ingin percaya kepada-Mu dengan sepenuh hati, dan tidak bersandar pada pengertianku sendiri. Di seluruh jalanku, aku ingin mengakui-Mu, dan aku ingin memercayai-Mu untuk meluruskan jalanku." Saya tidak bisa menggambarkan rasa damai dan harapan yang membanjiri jiwa saya. Jika masa depan adalah segala sesuatu seperti tiga puluh tahun yang lalu, itu akan menjadi sebuah bola!

Jangan lewatkan Petualangannya

Saya menyukai Yeremia 29:11 ketika Tuhan berkata, "Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu ... yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan." Saya senang merenungkan ayat ini. Saya senang merenung tentang Allah yang merancang suatu rencana khusus untuk hidup saya. Saya ingin kebenaran ini meresap ke dalam jiwa saya.

Allah memiliki rencana, hari depan dan harapan untuk kita masing-masing, dengan nama kita sendiri di atasnya. Meskipun Allah tidak menjanjikan suatu kehidupan yang bebas dari masalah atau sakit, Dia menjanjikan suatu kehidupan yang terlalu baik untuk dilewatkan. Tetapi, kita masih tidak akan pernah menemukan petualangan hidup itu -- sampai kita memercayakan diri kita pada bimbingan dan pimpinan-Nya! Allah mengenal kita dengan lebih baik daripada diri kita sendiri. Dia memahami kemampuan dan keterbatasan kita. Dia mengetahui persis apa kesulitan yang kita harus hindari dan melihat potensi kita sepenuhnya. Dia memiliki pandangan tinggi yang ditetapkan untuk kita, dan Dia bersedia memberikan segala bentuk bantuan yang kita butuhkan untuk menggenapi rancangan-Nya dengan sempurna. Namun, kita harus sepenuhnya berpaling dan memercayai-Nya.

Apa pun langkah iman yang Anda perlu ambil, saya berharap dan berdoa agar Anda akan mengambilnya. Saya tidak mengetahui apa yang Allah sediakan untuk hidup Anda, tetapi saya mengetahui pasti bahwa Anda tidak ingin melewatkan petualangan ini!

Sumber: 

Sumber:

Judul buku : Making Life Work
Judul artikel : Trust God in Everything (Bab 12)
Penulis : Bill Hybels
Penerbit : InterVarsity Press
Halaman : 192 - 206

Percaya Kepada Allah dalam Segala Sesuatu -- (Bagian 1)

Editorial: 

Dear e-Reformed Netters,

"Making Life Work: Putting God`s Wisdom into Action" (Downers Grove, Illinois: InterVaesity Press, 1998), adalah buku yang ditulis oleh Bill Hybels sebagai hasil perenungan ketika dia bercengkerama dengan Tuhan melalui kitab Amsal. Menurut Bill Hybels, kitab Amsal berbicara tentang bagaimana hidup secara optimal, dan kunci utama untuk kita bisa mendapatkan hidup yang seperti itu adalah dengan percaya sepenuhnya "pada" dan "di dalam" Allah atas segala sesuatu. Pada bab ke-12 dari bukunya tersebut, yaitu artikel yang ada di edisi e- Reformed kali ini, Bill Hybels menguraikan dengan sangat sederhana beberapa jawaban dari pertanyaan reflektif, seperti: Apakah artinya "percaya" pada Allah? Mengapa memercayai Allah merupakan satu keputusan paling penting untuk memulainya? Mengapa kita senantiasa dicobai untuk memercayai penilaian kita sendiri, alih-alih memercayai Allah sepenuhnya? Apa sajakah keuntungan memercayai kepemimpinan Allah dalam hidup kita? Beranikah kita menyerahkan hidup kita sepenuhnya pada Allah?

Terjemahan dari bab ke-12 dari buku "Making Life Work" ini cukup panjang, karena itu kami akan menyajikannya secara berturut-turut dalam dua edisi. Bagi Anda yang saat ini sedang mengalami hidup yang "biasa-biasa saja" dan melihat hidup hanya sebagai rutinitas belaka, maka buku ini akan menolong Anda untuk berani mengambil langkah yang akan mengubah hidup Anda selamanya. Bagaimana caranya? Selamat menemukan jawabannya di artikel di bawah ini.

In Christ, Redaksi Tamu e-Reformed S. Heru Winoto http://reformed.sabda.org http://fb.sabda.org/reformed

Penulis: 
Bill Hybels
Edisi: 
117/I/2010
Tanggal: 
30-1-2010
Isi: 
Percaya Kepada Allah Dalam Segala Sesuatu (Bagian 1)

Kitab Amsal dapat diringkas menjadi satu bagian singkat yang mungkin dihafal oleh lebih banyak pengikut Kristus daripada kitab lain dalam Alkitab. Jika Anda sudah lama hidup bergereja, Anda mungkin bisa mengutip dua ayat pendek ini lebih cepat daripada saya menulisnya. Ayat-ayat itu adalah Amsal 3:5-6: "Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu." Saya menganggap ayat ini sebagai puncak dari semua ayat Amsal bukan hanya karena akrab bagi begitu banyak orang, tetapi juga karena berpengaruh besar dalam kehidupan saya pribadi.

Segera setelah saya menjadi seorang Kristen, saya melakukan apa yang dilakukan oleh kebanyakan orang yang baru percaya: saya diam-diam mempertimbangkan sejauh mana keseriusan saya untuk mengikuti iman saya yang baru. Saya menyadari bahwa Yesus telah mati untuk saya, dan saya ingin menunjukkan rasa terima kasih kepada Tuhan dengan mencoba berjalan bersama-Nya. Tetapi, sejauh manakah kesediaan saya untuk berjalan bersama-Nya? Setidaknya saya menyadari bahwa saya harus membaca Alkitab. Saya harus senantiasa berdoa. Saya juga perlu melibatkan diri di dalam gereja saya. Sekali lagi, sejauh mana saya bersedia melakukan semua itu?

Saya mengenal beberapa orang yang menjadi sangat bersemangat, benar- benar setia, dan menjadi orang Kristen yang luar biasa. Tampaknya, dalam waktu semalam, iman mereka mampu mengubah segalanya: moralitas, hubungan mereka dengan orang lain, pengelolaan keuangan mereka, dan pada beberapa kasus karier mereka juga diubahkan. Perubahan ini tampak agak ekstrem bagi saya. Saya sangat yakin bahwa saya tidak ingin berubah hingga sejauh itu. Namun, sejauh manakah saya ingin melakukannya? Sejauh manakah saya memperkenankan iman baru saya memengaruhi kehidupan saya sehari-hari?

Ketika itu seorang Kristen yang bijak, yang mengenal saya dengan baik, merasakan perjuangan saya. "Bill," katanya, "aku punya tantangan untukmu. Mengapa kamu tidak menyerahkan seluruh hidupmu ke dalam tangan Tuhan? Mengapa kamu tidak memercayai-Nya sepenuhnya? Mengapa kamu tidak menyandarkan hidupmu kepada-Nya? Mengapa tidak kaubiarkan Ia memimpin dan membimbingmu di dalam setiap bidang kehidupanmu, selama Ia membuktikan diri-Nya dapat dipercaya? Jika suatu saat Ia menunjukkan diri-Nya tidak dapat dipercaya, kamu tentu dapat membebaskan diri, keluar, meninggalkan-Nya, atau apa saja. Tetapi, sebelum itu terjadi, berilah Allah kesempatan untuk memimpin dan membimbing hidupmu. Beri Ia kesempatan untuk membuktikan bahwa diri- Nya dapat dipercaya."

Orang ini sangat mengenal saya, dia mengetahui saya tidak pernah mundur selangkah pun dari tantangan yang sulit. Saya merasa dia juga mengetahui apa yang ada di dalam lubuk hati saya: bahwa saya tidak akan pernah puas jika saya tidak mengambil risiko untuk memercayai Allah sepenuhnya. Jika Allah sebagaimana yang Ia katakan, Ia pasti mengenal lebih banyak tentang diri saya dan masa depan saya daripada saya sendiri. Betapa bodohnya saya jika melewatkan kesempatan untuk mendapatkan pengetahuan, wawasan, dan bimbingan-Nya.

Apakah yang Allah kehendaki untuk hidup saya? Ke mana Ia ingin saya pergi? Apa yang Ia inginkan untuk saya lakukan, atau Ia menghendaki saya menjadi apa? Bagaimana jika Ia mempunyai rencana yang luar biasa untuk seorang anak berumur tujuh belas tahun dari Kalamazoo, Michigan? Bagaimana jika Ia menyuruh saya untuk bertemu dengan orang-orang yang mengagumkan? Bagaimana jika Ia memberikan karir yang berisiko tinggi untuk saya? Bagaimana jika Ia telah menyiapkan tantangan dan petualangan yang tak terbayangkan sebelumnya, yang telah menunggu saya? Bagaimana jika saya melewatkan semua ini karena saya tidak memberi-Nya kesempatan membimbing dengan hikmat-Nya?

Benar-benar tidak tampak seperti doa yang bersungguh-sungguh, bukan? Itu lebih mirip kenekadan daripada pertaruhan yang bijaksana. Saya bertindak sepenuhnya pragmatis dan membayangkan bahwa hanya ada risiko yang kecil di dalamnya. Orang itu mengatakan bahwa saya bisa keluar kapan saja jika sistemnya tidak bekerja, yaitu saat Allah membuktikan diri-Nya tidak dapat dipercaya. Saya setengah berharap itu yang akan terjadi, tetapi saya melihat kemungkinan terbaik, dan saya memutuskan memilih yang kerugiannya hanya sedikit. Jadi saya berkata, "Oke, Tuhan, saya membuat keputusan hari ini. Saya akan memberi Engkau kesempatan untuk memimpin. Aku adalah milik-Mu."

Saya menyadari betapa sombong kedengarannya, seorang anak tujuh belas tahun memutuskan "memberi Allah kesempatan untuk memimpin," seolah- olah saya sedang membantu-Nya. Tetapi, begitulah cara saya melihat masa muda saya. Betapa saya bersyukur bahwa Allah memandang lebih dalam dari sekadar permukaan luar hidup saya, Ia memandang ke dalam hati dan jiwa yang sangat membutuhkan-Nya. Betapa saya bersyukur bahwa Ia bersedia membalas iman saya yang penuh perhitungan dengan kasih karunia dan bimbingan-Nya.

Mengapa saya begitu bersyukur? Karena pada hari saya membuat transaksi tersebut dengan Allah, dan Ia bersama saya, itulah yang mengawali petualangan terbesar di dalam hidup saya. Saya ngeri membayangkan apa yang akan saya lewatkan bila saya membuat pilihan yang berbeda.

Kesempatan yang sama terbuka bagi kita semua. Siapa pun dapat membuat keputusan yang sama untuk memercayai Allah, untuk "memberi Allah kesempatan untuk memimpin." Ia menerima kita semua di mana pun kita berada, beserta semua keraguan dan keengganan kita -- sama seperti Ia menerima saya. Kita harus memercayai-Nya hari demi hari. Seperti kata teman saya, bahwa kita harus memercayai-Nya hanya selama Ia membuktikan diri-Nya layak untuk dipercaya.

Percayalah kepada Tuhan

Mungkin Anda hampir siap membuat keputusan ini, tetapi Anda memiliki beberapa pertanyaan. Mungkin Anda menilik bagian pertama Amsal 3:5-6 ("Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu"), dan Anda berpikir untuk mencobanya, tetapi Anda tidak cukup meyakini artinya. Bagaimana cara untuk mulai memercayai Allah setiap hari?

Kenangan tentang bagaimana Anda berpacaran pada masa lalu mungkin akan membantu. Bayangkan kembali laki-laki atau perempuan muda yang membuat jantung Anda berdetak kencang. Ingatkah Anda akan hari pertama ketika Anda mengumpulkan keberanian untuk mengajak seseorang berkencan? atau menerima kencan? Pada momen pertama berinteraksi itu, Anda pasti mengamati dengan cermat tanpa ragu untuk menilai apakah fokus baru Anda pada keromantisan itu dapat dipercaya. Entah Anda menguji orang tersebut secara sadar maupun tidak sadar, Anda sedang mencocokkan berbagai unsur yang Anda lihat dalam diri orang tersebut untuk menentukan apakah ia benar-benar bisa atau tidak bisa Anda percayai.

Jika orang yang Anda kasihi berkata bahwa dia akan berada di rumah Anda pukul 19.00, Anda boleh lega ketika ia datang tepat waktu. Ketika ia datang terlambat satu jam tanpa banyak menjelaskan keterlambatannya, Anda mungkin akan mengernyitkan dahi, meskipun hanya di dalam hati. Ketepatan waktu mungkin tampak sepele, tetapi jauh di dalam hati, Anda menyadari bahwa itu menandai kelayakan seseorang untuk dipercaya. Bagaimana Anda bisa memercayakan permasalahan yang lebih besar menyangkut hidup Anda kepada seseorang yang bahkan tidak cukup dapat dipercaya untuk datang tepat waktu?

Tetapi, mari kita asumsikan teman kencan Anda datang tepat waktu dan terbukti dapat dipercaya dalam masalah-masalah kecil lainnya yang muncul dalam hidup. Langkah selanjutnya untuk membangun kepercayaan barangkali dengan melakukan beberapa percakapan berisiko dan mendiskusikan beberapa hal dari hati ke hati. Ketika teman Anda itu berbicara, dengarkanlah dengan cermat, cobalah untuk mengenali kebenaran yang terkandung di dalam kata-katanya. Apakah pikiran, gagasan, dan deskripsi pengalaman orang ini tampak masuk akal dan dapat dipercaya, atau terlihat dibuat-buat dan sedikit menyimpang dari kenyataan?

Dan ketika Anda berbicara jujur dan terbuka, apakah orang itu mendengarkan dengan cermat dan merespons dengan tepat? Apakah dia memberikan saran yang baik, kasih sayang yang tulus, penegasan yang bijak, atau tantangan yang perlu? Natur percakapan itu dan setiap percakapan berikutnya dapat meningkatkan atau mengikis kepercayaan Anda kepada orang ini.

Jika kepercayaan Anda semakin meningkat sampai ke tahap Anda memutuskan untuk berkencan dengan orang ini secara khusus, lanjutkan tes kepercayaan ke tingkat yang lebih tinggi. Itu harus dilakukan. Semakin besar komitmen yang terjalin dalam suatu hubungan, semakin besar tingkat kepercayaan yang diperlukan. Yang mulanya merupakan perhatian pada ketepatan waktu pasangan Anda dan kemudian perhatian atas kejujuran ucapannya, sekarang telah berkembang menjadi perhatian terhadap masalah-masalah yang menyangkut keterandalan, komitmen, dan kesetiaan jangka panjang. Semakin komitmen Anda meluas, kepercayaan Anda juga perlu semakin dalam. Ini merupakan bagian dari usaha-usaha agar berhasil dalam menjalin hubungan. Kita tidak bisa duduk diam menunggu kepercayaan itu berkembang. Membangun kepercayaan membutuhkan tindakan. Kita perlu mengambil langkah-langkah kecil dan kemudian menilai kemajuannya. Kita perlu mengambil risiko-risiko kecil dan kemudian mengevaluasi konsekuensi-konsekuensinya.

Setelah terlibat dalam proses tersebut selama berbulan-bulan, bahkan mungkin bertahun-tahun, kita sampai pada saat kita dapat berkata, "Saya bisa memercayai orang ini sepenuhnya. Saya tidak meragukannya. Berkali-kali melalui berbagai pengalaman, saya mendapatkan kesempatan untuk diyakinkan bahwa orang tersebut dapat dipercaya. Sejauh yang saya perhatikan, bukti itu ada. Orang ini adalah teman yang dapat dipercaya!" Atau waktu dan pengalaman bisa memaksa kita untuk menyimpulkan bahwa orang itu tidak dapat dipercaya. Kita melihat terlalu banyak ketidakkonsistenan karakter pada orang itu dan menyaksikan terlalu banyak perilaku yang tidak bertanggung jawab. Dalam berhubungan dengannya, kita mengalami terlalu banyak kekecewaan. Semua indikator tersebut menunjukkan kepada kita bahwa orang ini membawa risiko yang buruk.

Memercayai atau tidak memercayai seseorang. Ini bukanlah keputusan kecil atau keputusan yang kita buat dalam satu saat. Saya menganggapnya lebih daripada satu keputusan tetapi langkah bertahap menuju kesimpulan yang telah diberikan, suatu kesimpulan berdasarkan ratusan interaksi pribadi dan perenungan yang mendalam.

Langkah Besar

Hal ini sama seperti hubungan kita dengan Allah. "Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu," kata penulis ayat ini. Namun ini bukanlah pernyataan yang sederhana. Tidak ada jalan pintas untuk percaya. Meskipun kita dapat dan harus menemukan alasan untuk percaya kepada Tuhan seperti yang kita baca dalam Alkitab mengenai tindakan Tuhan yang dapat dipercaya sepanjang sejarah, ada dimensi pribadi dalam memercayai Tuhan, yang harus kita kembangkan dengan cara yang sama seperti kita mengembangkan kepercayaan terhadap teman, teman kencan, atau pasangan hidup: dengan melibatkan diri secara nyata dalam situasi hidup sehari-hari selama jangka waktu yang panjang. Itulah satu-satunya cara bagi diri kita sendiri untuk memutuskan apakah aman dan bijaksana untuk memercayakan hidup kita kepada Tuhan.

Bahkan ketika Anda sedang membaca tulisan ini, Anda mungkin sedang memantau alat pengukur kepercayaan Anda. Ketika Anda telah membaca dan merenungkan ayat-ayat Alkitab yang saya kutip, cerita-cerita yang saya berikan mengenai kehidupan orang lain, dan pengalaman saya, Anda pasti menjadi semakin mau atau tidak mau untuk percaya pada Allah. Saya harap Anda berada di sisi yang "semakin mau" daripada di sisi yang "semakin tidak mau". Jika Anda belum menjadi Kristen, saya berharap bahwa Anda akan menjadi semakin lebih percaya bahwa Alkitab itu benar, bahwa Allah adalah sama seperti Ia katakan-Nya, dan bahwa Yesus adalah Juru Selamat dunia ini.

Anda mungkin sedang mendengar bisikan halus ketika Anda selesai membaca. Anda mungkin tidak siap untuk memercayai hal ini, tetapi Roh Allah terkenal dalam hal menyampaikan kebenaran dalam keheningan roh kita. "Aku ini nyata," Roh Allah mungkin berkata kepada Anda. "Semua ini adalah benar. Aku mengasihimu. Jika kamu bersedia sedikit percaya saja, Aku akan membuktikan bahwa Aku dapat dipercaya. Bagaimana?"

Di manakah Anda berada dalam perjalanan rohani Anda? Apakah sejauh ini Allah telah membuktikan diri-Nya kepada Anda sehingga Anda siap untuk menapakkan kaki Anda kepada langkah iman berikutnya? Jika Anda masih baru dalam hal ini, langkah berikutnya mungkin adalah langkah yang besar, tetapi hubungan Anda dengan Allah tidak akan dapat berkembang sampai Anda melakukannya. Yohanes 1:12 mengatakan bahwa "untuk semua orang yang menerima-Nya, diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-Nya." Cepat atau lambat, setiap orang yang sedang menyelidiki kekristenan dan menemukan bahwa Tuhan itu dapat dipercaya; mereka harus mengambil langkah besar untuk secara pribadi menerima perkataan Kristus dan percaya bahwa Ia adalah seperti yang dikatakan-Nya, Anak Allah, yang kehidupan dan kematian- Nya membuka jalan bagi kita untuk diangkat menjadi keluarga Allah.

Roma 10:13 mengatakan kepada kita bahwa "barangsiapa yang berseru kepada nama Tuhan, akan diselamatkan." Kata "barangsiapa" menyatakan maksud terdalam dari hati Allah. Tetapi dua kata kunci, "yang berseru," mengingatkan bahwa kita harus bertindak -- sebagai suatu tanggapan atas kemurahan Allah. Ia menawari kita pengampunan, tetapi kita harus mengakui bahwa kita membutuhkannya dan kemudian bersedia menerimanya. Ia menawarkan kepemimpinan yang penuh kasih dan hikmat atas hidup kita, tetapi kita harus menyatakan kepada-Nya bahwa kita menginginkannya. Ia menawarkan anugerah, tetapi kita harus mengulurkan tangan kita dan memegangnya.

Banyak orang yang sampai pada tahap mengambil keputusan dan bertanya, "Bagaimana bila saya berseru kepada Allah untuk mengampuni dosa-dosa saya dan meminta-Nya untuk memimpin hidup saya, tetapi saya menemukan tidak ada siapa pun di surga? Bagaimana jika tidak ada yang terjadi? Bagaimana jika tidak ada jawaban?" Satu-satunya jawaban yang dapat saya berikan adalah bahwa hanya ada satu cara untuk mengetahuinya: Lakukanlah hal itu dan lihatlah apakah Allah membuktikan diri-Nya dapat dipercaya. Jika yang ada hanya keheningan dari surga, Anda mendapatkan jawabannya. Anda sudah mencobanya dan hal tersebut tidak berhasil. Rupanya hal itu tidak nyata. Sekarang Anda bebas untuk pergi, dan Anda tidak perlu melihat ke belakang.

Hal ini bisa saja terjadi. Anda bisa dengan tulus mencari Allah dan menemukan bahwa Ia tidak ada. Walaupun janji-janji Kitab Suci dan pengalaman jutaan orang sepanjang sejarah sangat menyarankan hal yang sebaliknya dan memberi kita banyak alasan untuk percaya bahwa Allah itu ada, mereka tidak memberikan bukti nyata kepada kita. Mengambil langkah besar untuk datang kepada Allah selalu melibatkan tindakan iman. Namun lihatlah dengan cara ini: hidup yang bernilai adalah hidup yang membutuhkan banyak langkah iman.

Pada pengalaman terjun payung pertama saya, saya menoleh ke instruktur saya, menepuk parasut saya dan berkata, "Apakah saya dapat mempercayai benda ini akan terbuka?" Dia berkata, "Hanya ada satu cara untuk mengetahuinya." Lalu ia terkekeh dan menambahkan, "Yang saya dapat katakan adalah bahwa parasut saya tidak pernah gagal terbuka." Beberapa saat kemudian kami berdua meluncur ke bawah pada tingkat kecepatan yang sangat tinggi. Jelas parasut saya terbuka, demikian pula parasut miliknya.

Meskipun terjun payung berisiko tinggi -- hidup dan mati bergantung pada tali pembuka parasut -- dan sensasinya luar biasa, ini adalah pengalaman yang tidak harus kita jalani. Jika tampak terlalu menakutkan bagi kita, kita tidak perlu melakukannya. Kecuali jika kita terpikat oleh tantangan dan kesenangan dalam terjun payung, tidak ada alasan bagi kita untuk melatih iman kita dengan melompat keluar dari pesawat yang sedang terbang pada ketinggian 5.000 kaki.

Namun demikian memilih keselamatan yang ditawarkan Kristus merupakan suatu hal yang harus kita lakukan. Kekekalan menjadi taruhannya, dan kita harus memilih. Kedua-duanya memerlukan iman: memilih untuk menempatkan kepercayaan kita di dalam Kristus menuntut iman kepada Pencipta dan Pemelihara dan Pengasih dan Juru Selamat yang tidak dapat kita lihat atau dengar atau rasakan oleh indera kita. Berpaling dari tawaran Kristus juga menuntut iman dari diri kita untuk menghadap Allah yang kekal seorang diri, ataupun iman terhadap alam semesta yang tidak bertuhan. Ke mana Anda ingin berjalan bersama iman Anda?

Saya bisa menceritakan kepada Anda berbagai kisah orang yang telah memilih untuk menempatkan iman mereka kepada Allah dan telah mengalami perubahan jiwa yang mendalam. Bagi sebagian orang, hal ini merupakan pengalaman emosional, tetapi tidak bagi yang lainnya. Seorang pengusaha yang baru saja menerima pengampunan dari Kristus bercerita kepada saya, "Rasanya seperti gugatan yang baru saja dibatalkan, perasaan dihakimi yang sangat berat di kepala saya selama bertahun- tahun itu sudah hilang." Orang-orang lain bersaksi tentang rasa damai atau ketenangan jiwa yang mendalam, tidak sama seperti perasaan lain yang pernah mereka ketahui.

Saya mengalami perubahan tersebut di perkemahan Kristen ketika saya berusia tujuh belas tahun. Saya bukan seorang yang mengutamakan perasaan, apalagi ketika saya masih seorang remaja. Tetapi, ketika saya berseru agar Sang Juru Selamat dunia menyelamatkan saya secara pribadi, sesuatu yang benar-benar tidak terduga terjadi dalam tiga puluh detik berikutnya. Saya tidak menjadi emosional. Saya tidak menangis, menjerit, atau tertawa, seperti yang terjadi pada beberapa orang sebagai suatu ekspresi tulus yang keluar karena perubahan di dalam diri mereka. Tetapi, saya benar-benar mengalami kasih ilahi yang murni, melimpah, dan mendalam, yang membuat saya mengira diri saya akan meledak. Saya merasa bahwa saya harus memberitahukan hal ini kepada seseorang, sehingga meskipun sudah larut malam, saya membangunkan beberapa teman saya, menarik mereka dari tempat tidur dan mengatakan kepada mereka apa yang terjadi. "Aku baru saja mengundang Kristus ke dalam hidupku, dan aku merasa sangat berbeda di dalam diriku. Aku tidak dapat menemukan kata-kata untuk menjelaskan apa yang terjadi, tetapi aku tahu itu nyata."

Dalam Lukas 15:10 Yesus berkata, "Aku berkata kepadamu: Demikian juga akan ada sukacita pada malaikat-malaikat Allah karena satu orang berdosa yang bertobat." Saya tidak tahu apakah malaikat-malaikat pada malam itu merayakan pertobatan saya, tetapi yang jelas teman-teman saya bergembira. Saya tidak menyadari bahwa banyak dari mereka telah lama berdoa agar saya mengambil langkah penting ini. Tidak perlu saya katakan lagi, mereka tak henti-hentinya memberikan dukungan, dan perayaan kami berlanjut sampai larut malam.

Bagaimana dengan Anda? Apakah Anda siap untuk mengambil langkah iman yang besar? Anda dapat melakukannya dengan menaikkan doa yang sederhana: "Yesus Kristus, saya membutuhkan Juru Selamat. Saya memerlukan seseorang untuk mengampuni dosa-dosa saya dan untuk memimpin hidup saya. Tolong lakukan itu untuk saya."

Beberapa dari Anda mungkin telah melakukannya sejak lama, tetapi kemudian Anda berpaling dari kepemimpinan Allah; karena berbagai alasan, Anda kembali mencoba menjalani hidup dengan cara Anda sendiri. Tetapi, Anda sekarang sudah siap untuk meminta pengampunan Allah dan sekali lagi percaya pada kepemimpinan-Nya. Jika Anda siap melakukan itu, tolong jangan menahan diri. Katakan kepada Allah bahwa Anda memerlukan bantuan dan bimbingan-Nya dan bahwa Anda mengabdikan diri kembali kepada-Nya. Dia menunggu untuk mendengar kata-kata ini.

Sumber: 

Sumber:

Judul buku: Making Life Work
Judul artikel: Trust God in Everything (Bab 12)
Penulis: Bill Hybels
Penerbit: InterVarsity Press
Halaman: 192 - 206

Downloads

Bundel PDF e-reformed

Anda dapat download dengan cara klik kanan dan pilih "Save link As"

Tell The Truth -- Beritakan Kebenaran

Editorial: 

Dear e-Reformed Netters,

Tulisan yang saya kirimkan di bawah ini sebenarnya hanyalah sebuah bab pendahuluan dari sebuah buku yang berjudul "Tell The Truth -- Beritakan Kebenaran", yang ditulis oleh Will Metzger.

Saya ingin membagikan tulisan yang berisi pendahuluan ini karena saya sangat terkesan dengan isinya. Kalau Anda teliti, hampir pada setiap paragraf selalu terselip pertanyaan, bahkan ada paragraf yang isinya hanya pertanyaan. Lah, apa menariknya membaca tulisan yang berisi pertanyaan? Bukankah lebih berguna kalau membaca artikel yang berisi banyak pengetahuan dan penjelasan daripada pertanyaan? Membaca tulisan yang berisi informasi atau pengetahuan hanya akan membuat kita menjadi "passive recipient" (penerima pasif). Tapi membaca tulisan yang berisi banyak pertanyaan, kalau kita tertantang untuk menjawabnya, maka tulisan itu akan membuat kita menjadi "active participant" (peserta aktif). Hasilnya, kita dapat menggali lebih banyak dan belajar lebih banyak. Pertanyaan yang bermutu akan menggelitik kita untuk berpikir secara aktif dan mencari solusi masalah secara efektif.

Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan penulis buku tersebut berkisar pada masalah penginjilan. Percayakah Anda bahwa sebenarnya ada lebih banyak pertanyaan tentang penginjilan daripada nasihat tentang bagaimana melakukan penginjilan dengan baik. Itu sebabnya ada banyak alasan orang tidak melakukan penginjilan. Jika pertanyaan-pertanyaan itu Anda renungkan dengan baik, mungkin kita akan menemukan pemecahan kesulitan dan ketidakberesan dari cara kita menginjili sehingga menghasilkan cara dan motivasi penginjilan yang alkitabiah.

Perhatikan salah satu paragraf yang berisi bayak pertanyaan seperti ini.

"Banyak ketidakpastian yang mengusik pikiran saya. Mungkinkah seseorang termotivasi untuk bersaksi, tetapi akhirnya mempermalukan Tuhan dan salah menyampaikan berita-Nya karena ketidaktahuan atau manipulasi? Apakah saya termotivasi oleh rasa bersalah atau oleh harapan orang lain? Apakah saya berusaha mencari dalih atas minimnya semangat saya dan ketidaksuksesan saya? Mengapa saya hendak membatasi pekerjaan Tuhan melalui diri saya hanya sejauh kalangan "teman-teman" dan "undangan ke pertemuan"? Bagaimana dapat saya pungkiri bahwa oleh penentuan Allah saya dipertemukan dengan orang-orang tertentu, sekalipun hanya untuk beberapa menit?"

Bagaimana Anda akan menjawab pertanyaan -- atau lebih baik kalau saya ganti dengan kata pergumulan -- yang penulis ajukan ini? Belum lagi pertanyaan yang berkaitan dengan masalah teologi, ada banyak penginjilan yang sukses tapi karena tidak mengutamakan pengajaran yang benar maka akhirnya justru membuat kekristenan menjadi lemah (tidak ada mutunya) dan menghasilkan petobat-petobat "palsu". Jadi, ternyata menginjili tidak sesederhana yang kita pikirkan, bukan? Itu sebabnya hanya sedikit orang yang mau menginjili, padahal panggilan Allah untuk orang yang sudah percaya dan menerima Kristus hanya satu, "pergilah dan beritakanlah Injil."

Melalui bab pendahuluan ini, pembaca bisa memiliki gambaran besar isi bukunya. Dengan membaca bab pendahuluan ini, saya berharap Anda akan terdorong untuk memiliki kerinduan menjadi penginjil yang memberitakan kebenaran. Sekarang Anda pasti menjadi semakin penasaran untuk mengetahui keseluruhan isi buku tersebut, bukan? Karena itu, Anda harus membeli buku ini. Silakan menghubungi toko buku Kristen terdekat untuk mendapatkan keseluruhan buku. Saya jamin Anda tidak akan rugi.

Selamat merenungkan.

In Christ,
Yulia
< yulia(at)in-christ.net >
< http://soteri.sabda.org/>
< http://fb.sabda.org/reformed >

Penulis: 
Will Metzger
Edisi: 
116/XI/2009
Tanggal: 
1-1-2010
Isi: 

Pendahuluan

Pernahkah Anda menemui jalan buntu dalam penginjilan? Apakah Anda merasa terjepit di antara dua alternatif yang keduanya tidak mungkin dilaksanakan dan tidak dapat menemukan jalan keluar? Di satu sisi Anda melihat orang-orang Kristen yang sanggup bergaul akrab dengan banyak orang, tetapi tidak banyak menceritakan tentang Yesus Kristus. Di sisi lain ada orang-orang yang senantiasa "memberitakan Injil", tetapi tampaknya tidak mengerti apa-apa tentang persahabatan yang sejati. Kedua ekstrem di kalangan Kristen ini benar-benar menimbulkan frustrasi.

Buku ini bertujuan menolong Anda dalam "memperlihatkan dan menyampaikan" Injil dalam cara yang mempermuliakan Allah, bermanfaat bagi orang lain, dan melegakan bagi Anda sendiri. Ini bukan rencana untuk memaksa orang, juga bukan anjuran untuk sekadar menjadi orang baik dan menunggu orang lain datang kepada Anda seandainya mereka ingin berbicara tentang perkara-perkara rohani. Namun, tujuannya adalah membantu Anda menemukan kembali inti teologis dari Injil, sebab hanya bila persepsi Anda tentang anugerah Allah yang aktif dalam keselamatan berubah, barulah Anda akan sanggup menemukan keyakinan, sukacita, dan rasa syukur untuk mendukung gaya hidup Injili yang baru.

Seperti Apakah Model yang Alkitabiah?

filsafat

Saya termasuk kelompok orang Kristen yang percaya pada penginjilan berdasarkan persahabatan, tetapi saya mendapati bahwa ternyata yang terwujud hanya persahabatan dan sedikit sekali penginjilan. Motivasi bukan masalah bagi saya. Saya telah mengalami pertobatan dan hidup baru dalam Kristus semasa saya masih duduk di bangku sekolah menengah atas, dan Yesus Kristus sungguh nyata bagi saya. Saya memiliki kerinduan yang kuat untuk menceritakan pada orang lain mengenai Dia, tetapi kebanyakan sosok panutan yang saya ikuti cenderung berada pada salah satu dari kedua ekstrem yang saya singgung di atas. Juga banyak kendala lain: pengetahuan Alkitab saya kurang, kepribadian saya kurang dewasa, karena saya masih cenderung menganggap Tuhan ada hanya untuk menguntungkan diri saya sendiri dan merasa takut ditolak. Dengan segala kekurangan ini, saya memulai perjalanan rohani pribadi untuk berusaha menjadi saksi Kristus.

Awalnya, bersaksi tampaknya begitu sederhana. Saya tahu beritanya dan tahu siapa yang membutuhkan. Apa yang membingungkan atau menyulitkan di sini? Tak lama kemudian saya mengetahuinya. Saya tidak mempunyai konsep yang jelas mengenai isi Injil. Karena itu, kehidupan Kristen saya tetap kerdil dan kemampuan saya untuk membawa orang-orang yang belum percaya kepada Kristus terhambat.

Kemudian, saya dihujani serentetan nasihat. Ada yang memberi tahu bahwa saya harus bersaksi dengan menyenangkan orang lain, mengajak teman-teman sekolah saya untuk berkumpul dan bersenang-senang di gereja atau di lingkungan yang netral seperti rumah. Lalu, malamnya akan diakhiri dengan pembicaraan yang menggugah hati. Kedengarannya mudah. Orang lain akan menyampaikan Injil bagi saya.

Di perguruan tinggi, saya berjumpa dengan orang-orang Kristen yang menganjurkan pendekatan yang lebih langsung: saya harus mengundang semua orang untuk menghadiri suatu kelompok kecil pemahaman Alkitab atau suatu pertemuan di lingkungan yang "netral" dengan pembicaranya seorang awam. Orang-orang yang belum percaya harus dikonfrontasi secara langsung dengan Kitab Suci. Ah, demikian pikir saya, ini kedengarannya masuk akal. Mungkin pendekatan ini yang harus saya ambil. Namun, rasanya cara ini tidak bersahabat dan mengandung unsur manipulasi. Saya mendambakan metode penginjilan yang efektif. Ada banyak sekali seminar-seminar pelatihan dan buku-buku panduan mengenai hal ini.

Setelah ini, saya semakin bingung karena berjumpa dengan orang-orang Kristen lain yang menyarankan untuk menginjili menurut pola apostolik: yakni dengan mengajak teman-teman saya mendengarkan pembicara-pembicara yang berbakat di gereja atau di pertemuan khusus. Namun, dengan cara demikian, saya tetap mengandalkan orang lain untuk bersaksi.

Kemudian, saya seakan-akan tersentak bangun. Saya menyadari bahwa saya yang harus bersaksi, bukan sekadar membawa orang-orang kepada orang lain yang akan bersaksi bagi saya. Saya yakin akan kewajiban saya, tetapi karena merasa takut, maka saya mencari pertolongan. Lagi-lagi, saya bertemu orang-orang Kristen yang sangat bersemangat dan memaparkan pada saya serangkaian gagasan dan teknik baru untuk penginjilan pribadi. Saya terdorong oleh rasa tanggung jawab yang besar dan rasa bersalah yang semakin kuat karena saya diyakinkan bahwa saya tidak rohani -- atau setidaknya, tidak setia -- jika saya tidak pernah "membawa seseorang pada Kristus". Maka, saya dengan serta-merta mempraktikkan beragam cara bersaksi itu. Pendekatan ini memang membuat saya menyampaikan kebenaran pada orang lain. Namun, kriteria suksesnya bagaikan permainan bilangan: menghitung jumlah orang yang berdoa, yang mengangkat tangan, atau yang mengisi formulir.

Saya merasa gagal. Saya telah mengawali dengan keragu-raguan perihal teknik-teknik licin yang dianjurkan oleh beberapa penginjil yang "sukses". Pada akhirnya, saya tetap ragu-ragu apakah cara-cara ini sesuai dengan Kitab Suci. Keprihatinan ini membawa saya pada beberapa pertanyaan mendasar tentang teologi.

Banyak ketidakpastian yang mengusik pikiran saya. Mungkinkah seseorang termotivasi untuk bersaksi, tetapi akhirnya mempermalukan Tuhan dan salah menyampaikan berita-Nya karena ketidaktahuan atau manipulasi? Apakah saya termotivasi oleh rasa bersalah atau oleh harapan orang lain? Apakah saya berusaha mencari dalih atas minimnya semangat saya dan ketidaksuksesan saya? Mengapa saya hendak membatasi pekerjaan Tuhan melalui diri saya hanya sejauh kalangan "teman-teman" dan "undangan ke pertemuan"? Bagaimana dapat saya pungkiri bahwa oleh penentuan Allah saya dipertemukan dengan orang-orang tertentu, sekalipun hanya untuk beberapa menit?

Saya merasa seolah-olah terjebak dalam pintu putar. Berbagai pertanyaan berkecamuk dalam benak saya dan membuat saya terus-menerus berputar di tempat yang sama. Bagaimana caranya untuk berbicara dengan kasih pada orang-orang (bahkan termasuk juga mereka yang tidak saya kenal) yang oleh Tuhan dipertemukan dengan saya? Mengapa petobat- petobat dari berbagai kelompok Kristen yang berbeda-beda sering kali dapat dibedakan satu sama lain oleh ciri kepribadian tertentu? Apakah saya menginjili hanya bilamana saya melihat ada pertobatan? Apa unsur- unsur terpenting dari berita yang kita sampaikan? Apakah saya bergabung dengan orang lain dalam penginjilan karena kebutuhan yang besar dari orang banyak untuk mendengarkan Injil atau karena kami menganut doktrin Injil yang sama? Mengapa dasar alkitabiah dalam metode-metode penginjilan tidak pernah dibahas (khususnya yang dipraktikkan oleh gereja kita)?

Mengapa ada begitu banyak perbedaan pendapat, kebingungan, dan kekaburan di antara orang-orang yang bersaksi, juga mengenai unsur- unsur yang paling pokok dari Injil? Contohnya, apakah kita memperkenalkan Kristus sebagai Juru Selamat atau juga sebagai Tuhan kepada orang yang tidak percaya? Apakah pertobatan dan pengajaran akan Hukum Taurat Allah merupakan bagian dari Injil? Mengapa perlu lahir baru? Apa yang sebenarnya terjadi pada saat kelahiran baru? Apa bagian kita dalam keselamatan, dan apa bagian Tuhan? Bagaimana seseorang bisa mengetahui bahwa ia sudah dilahirkan kembali? Apakah Injil berupa sekumpulan doktrin atau mengenai satu Pribadi? Jika Tuhan telah melakukan apa yang dapat dilakukan dan sekarang menyerahkan pada kemauan kita sendiri untuk menerima keselamatan, bagaimana orang-orang yang mati rohani dapat menanggapi?

Saya tak habis mengerti mengapa setelah orang Kristen memahami konsep umum bahwa setiap orang membutuhkan Kristus untuk keselamatan, lalu timbul kebingungan dan bahkan pertentangan pendapat berkaitan dengan apa yang mencetuskan kelahiran baru -- iman dan pertobatan kita atau Roh Allah yang memampukan kita? Ini merupakan pertanyaan-pertanyaan penting dan fundamental yang terus merongrong pikiran kita. Mengapa kebanyakan kelompok Injili tidak menyadari perlunya menyelidiki seperti apakah Injil yang alkitabiah itu? Saya melihat ada banyak metode yang keliru, dan saya sempat merasa putus asa untuk dapat menemukan cara bersaksi yang terbentuk dari kebenaran, bukan dari pertimbangan praktis atau kekuatan kehendak kita dalam keselamatan. Semua pertanyaan saya di atas dapat dirangkum dalam satu pertanyaan ini: Seperti apakah cara bersaksi berdasarkan persepsi kita akan Allah Pencipta sekaligus Penebus yang bukan sekadar menyediakan keselamatan tetapi juga memampukan seseorang untuk menanggapi dengan jalan bertobat dan menerimanya?

Kendati saran-saran yang awalnya diberikan pada saya perihal penginjilan pribadi tidak banyak membantu, saya harus mengakui bahwa bangkitnya kembali minat dalam topik ini di kalangan Injili adalah sesuatu yang baik. Siapa yang dapat memungkiri kenyataan bahwa partisipasi dalam penginjilan sekarang meningkat? Siapa yang dapat menyalahkan keprihatinan yang timbul dalam diri banyak orang Kristen berkaitan dengan penginjilan? Mereka telah mengorbankan banyak uang, waktu, dan tenaga. Mereka memanfaatkan media modern dengan kreatif. Saya sungguh bersyukur untuk hal ini. Namun, ada sesuatu yang mengganjal di hati saya -- dan saya rasa hati nurani orang-orang lain juga terusik. Mungkinkah ada aspek-aspek penginjilan masa kini yang kurang dalam hal integritas alkitabiah?

Metodologi Timbul dari Teologi

Sebelum kita dapat menemukan jawaban atas pertanyaan penting ini, kita perlu mengevaluasi praktik-praktik penginjilan dewasa ini. Izinkan saya mengulas maklumat yang disampaikan Francis Schaeffer pada Kongres Penginjilan Sedunia di Berlin (1966): Justru karena kita memiliki komitmen pada penginjilan, maka kita terkadang harus membahas antitesisnya. Jika kita tidak mengindikasikan dengan jelas melalui perkataan dan perbuatan mengenai posisi kita terhadap kebenaran dan terhadap doktrin sesat, kita seolah-olah membangun tembok pemisah di antara generasi penerus dan berita Injil. Kesatuan dari kaum Injili haruslah berdasarkan pada kebenaran dan bukannya berdasarkan pada penginjilan itu sendiri. Bila tidak demikian, "kesuksesan" dalam penginjilan dapat berakibat pada melemahnya kekristenan. Pembahasan tentang metode adalah hal yang sekunder setelah prinsip utama ini. Kendati kita harus mengevaluasi doktrin dan metode, tetapi kita tidak boleh menghakimi motivasi orang.

Pada bagian pertama buku ini, saya akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang relevan berkaitan dengan teologi yang mendasari metode-metode penginjilan modern. Saya tidak berniat memaparkan teologi penginjilan dengan panjang lebar. Saya berbicara sebagai seorang anggota keluarga kepada anggota-anggota lain dalam keluarga Allah. Marilah kita memandang ke dalam hati kita dan meneliti Alkitab untuk mencari cara menjadi penginjil yang lebih baik. Saya harap analisis saya dapat mengantarkan kita semua kepada pembahasan dan modifikasi yang konstruktif. Adakah suatu tradisi, teknik, atau pun pribadi yang berada di luar jangkauan evaluasi kita yang mengacu pada standar Alkitab? Saya rasa tidak.

Jikalau benar bahwa ada perbedaan pendapat yang serius di kalangan Injili berkaitan dengan berita dan metode penginjilan, maka kita patut mempertanyakan sampai sejauh mana perbedaan ini dapat dibenarkan? Bila perbedaan ini sekadar karena hendak menjangkau kelompok pendengar yang berbeda atau karena keanekaragaman karunia yang Tuhan berikan pada kita, maka ini tidak jelek. Akan tetapi, jikalau dalam penginjilan kita hanya setia mengikuti tradisi kita, membentuk kebenaran supaya sesuai dengan kepribadian kita, mengurangi kekuatan Injil, atau memanipulasi orang, maka kita salah. Jikalau kita yakin bahwa ada dasar teologis untuk metode kita, kita dapat dibenarkan bila menginjili sesuai dengan itu. Dalam hal ini, perbedaan kita hanya soal hati nurani kita yang dipengaruhi oleh persepsi kita tentang ajaran Kitab Suci. Doktrin yang alkitabiah mengenai penginjilan harus menjadi unsur pengendali dalam setiap praktik penginjilan.

Namun, meskipun kita dapat mengemukakan dasar teologis dari penginjilan kita, tanggung jawab kita tidak berhenti sampai di sini saja. Kita perlu membandingkan pemahaman doktrinal kita dengan orang lain dan dengan rendah hati bersedia merenungkan kembali apa yang difirmankan oleh Roh Kudus pada kita dalam Kitab Suci. Jika tidak demikian, kita tidak dapat belajar dari orang-orang lain. Hal ini sama saja dengan menolak terbitnya terang yang baru atas pemahaman kita akan Kitab Suci. Ini berarti membatasi Roh Kudus dalam berkomunikasi pada kita melalui orang Kristen lain. Berarti, penginjilan kita berdasarkan pada pola tradisi dan tidak berdasarkan pada keyakinan.

Singkatnya, keengganan untuk mengevaluasi penginjilan kita dalam terang Alkitab sama saja dengan menganggap Kitab Suci tidak serius. Akibatnya, kita tidak jujur terhadap satu sama lain, orang-orang yang belum percaya akan mendapat bimbingan yang keliru, dan menimbulkan frustrasi pada mereka yang ingin belajar bersaksi. Sebagai imbasnya, kita dapat membawa anak-anak kita dan gereja kita pada berbagai macam masalah. Kita akan mempermalukan Allah dari Injil itu sendiri. Kita wajib meneliti dengan cermat praktik-praktik penginjilan dewasa ini untuk melihat apakah kita yang bersaksi bagi Kristus memiliki Injil yang utuh dan seimbang.

Kemudian, dalam bagian kedua, saya menguraikan dampak keseluruhan dari Injil itu atas kehidupan kita dan kehidupan orang-orang yang kita jangkau. Sekali lagi, perlu evaluasi untuk menentukan mengapa ada begitu banyak pertobatan "palsu". Komitmen pada Kristus bukan sekadar suatu doa lalu selesai. Namun, ini merupakan pertobatan yang berarti seluruh hidup kita diubahkan. Paulus mengatakan bahwa kita menjadi ciptaan baru. Saya membahas bagaimana perubahan ini harus mencakup seluruh keberadaan kita -- akal budi kita, kemauan kita, dan perasaan kita -- pribadi seutuhnya.

Bagian ketiga menggali kedalaman bagaimana kasih karunia Allah berkarya dalam keselamatan. Kasih karunia mencabut tiga perkara ibarat perisai, menghalangi orang terhadap dampak penuh dari Injil -- yakni hak-hak saya yang mutlak, kebaikan manusiawi saya, dan kehendak bebas saya. Perisai-perisai ini hanya dapat ditembus oleh kasih karunia. Hanya Injil yang berfokuskan pada anugerah yang sanggup membawa pada keselamatan dan membuat orang sanggup menanggapinya, yang merupakan solusi bagi masalah utama orang yang belum percaya. Ini menghasilkan penyembahan yang bergairah, yang merupakan tujuan dari penginjilan -- bukan sekadar menghasilkan keputusan ikut Kristus, melainkan menghasilkan murid-murid Kristus yang bersungguh-sungguh.

Namun, tanggung jawab kita belum selesai setelah tercapai pengertian yang benar tentang kelahiran baru. Kita harus menerapkan Injil itu dalam perbuatan. Kita harus taat pada panggilan untuk memberitakan kebenaran kepada orang lain. Maka, bagian keempat membahas praktik bersaksi, disertai beberapa gagasan praktis tentang bagaimana memulainya. Kita harus menjadi pribadi-pribadi yang utuh (lengkap dan riil). Akhirnya, bagian terakhir memuat beberapa lembar kerja yang dapat diperbanyak untuk melatih diri Anda sendiri maupun orang lain, sebuah diagram Injil yang berfokuskan pada Allah, dan suatu ulasan tentang kontroversi yang sehat.

Penginjilan: Dimenangkan oleh Satu Pribadi

Saya sengaja membatasi pembahasan saya hanya di seputar penginjilan pribadi. Bukan karena bentuk penginjilan lain tidak bermanfaat, melainkan karena sebagaimana dikemukakan oleh penginjil dan negarawan Carl Henry, pendekatan dari pribadi ke pribadi yang diprakarsai oleh setiap orang percaya menciptakan peluang paling baik untuk memberitakan Injil ke seluruh bumi dalam abad ini. Ahli sejarah dari Universitas Yale yang ternama, Kenneth S. Latourette, menekankan konsep ini dalam perkataannya bahwa "orang-orang yang berhasil dalam memperluas kekristenan tampaknya bukan mereka yang berprofesi sebagai penginjil ... melainkan laki-laki maupun wanita yang mempunyai pekerjaan atau mata pencaharian yang murni sekuler dan berbicara mengenai iman mereka kepada orang-orang yang dijumpainya sehari-hari".

Ada orang yang meragukan anjuran yang menekankan penginjilan pribadi ke pribadi. Mungkin keraguan mereka timbul karena begitu banyak penyalahgunaan dalam pendekatan ini. Namun, keraguan yang beralasan pun jangan sampai membuat Anda mengabaikan perintah Kitab Suci untuk bersaksi kepada orang lain. Reaksi yang berlebihan terhadap sisi ekstrem dari individualisme telah mendorong beberapa orang untuk membatasi sifat umum dari kesaksian Kristen. "Supaya mereka sempurna menjadi satu, agar dunia tahu, bahwa Engkau yang telah mengutus Aku dan bahwa Engkau mengasihi mereka, sama seperti Engkau mengasihi Aku" (Yoh. 17:23). Orang-orang percaya yang bersatu, walaupun berasal dari berbagai latar belakang ekonomi dan etnis, sambil tetap mempertahankan kepribadian dan minat individualnya, seharusnya ibarat lampu neon yang bercahaya terang bagi dunia. Kesatuan yang mengagumkan dari keanekaragaman dalam tubuh Kristus harus mampu meyakinkan orang yang belum percaya bahwa Yesus Kristus diutus oleh Allah. Kelompok yang dinamis dari orang-orang Kristen yang penuh semangat merupakan dasar dari penginjilan, tetapi jika tiap pribadi dalam kelompok itu tidak memberitakan Injil, akhirnya akan menghasilkan pengijilan yang lemah. Kendati tidak diakui secara terbuka, alasan meremehkan inisiatif pribadi dalam bersaksi mungkin adalah kesombongan, roh yang kritis, rasa takut menyinggung perasaan orang, atau bahkan pandangan bahwa "mempermuliakan Tuhan dalam pekerjaanku" sudah cukup.

Pintu masuk menuju kesaksian yang penuh harapan dan sukacita akan ditemukan bila kita memusatkan pandangan pada Allah sebagai Pencipta dan Penebus.
  1. Facebook
  2. Twitter
  3. WhatsApp
  4. Telegram

Dalam Kitab Suci, kita menjumpai banyak contoh di mana Injil disebarkan dari pribadi ke pribadi. Yesus sendiri selalu bersaksi kepada orang-orang yang ditakdirkan untuk bertemu dengan-Nya. Ia membawa firman kehidupan kepada mereka di tengah kehidupan sehari-hari mereka. Kristus menjanjikan kepada murid-murid-Nya bahwa mereka akan menjadi penjala manusia, dan kemudian, dua kali Ia mengutus para pengikut-Nya pergi berdua-dua untuk memberitakan kabar baik itu (Mrk. 6:7-13; Luk. 10:1-24). Di gereja mula-mula, setiap orang Kristen memberitakan Injil (Kis. 8:1, 4). Seorang pemimpin gereja, Filipus, oleh Tuhan diperintahkan untuk meninggalkan pelayanannya yang berhasil untuk berbicara pada satu pribadi yang sedang mencari (Kis. 8:26-40). Paulus menekankan tanggung jawab semua orang percaya sebagai utusan-utusan Kristus dan berkata bahwa pelayanan pendamaian telah dipercayakan kepada mereka (2 Kor. 5:17-20). Allah mengaruniakan kemampuan yang lebih besar dalam menginjil kepada orang-orang tertentu bukan supaya mereka saja yang melakukan semuanya, melainkan untuk memperlengkapi setiap orang percaya dalam tubuh Kristus untuk mengerjakan pelayanan ini (Ef. 4:11-12).

Di dunia kita, mungkin 99,9 persen dari semua orang Kristen tidak berkecimpung dalam pelayanan. Sebelum setiap orang terlibat dalam penginjilan -- berdoa, berinisiatif, dan memberitakan Injil dengan berapi-api -- tak banyak yang dapat terjadi. Kelahiran baru ke dalam Kerajaan Allah biasanya melibatkan orang-orang yang bertindak sebagai bidan-bidan rohani. Seperti anak-anak kecil, kita "memperlihatkan dan menyampaikan" Injil. Dalam setiap pendekatan untuk penginjilan (berupa kelompok kecil pemahaman Alkitab, khotbah, pemanfaatan berbagai media, dll.) terkandung unsur perjumpaan pribadi. Acap kali, orang harus berbicara dengan orang-orang non-Kristen untuk menjelaskan dan mendorong mereka untuk percaya. Bukankah Anda menjadi orang percaya juga karena ada seseorang yang secara pribadi menjangkau Anda? Semua orang Kristen merupakan utusan-utusan Kristus; merekalah yang ditugaskan oleh Allah untuk memberitakan Injil. Bukalah mulut Anda. Allah akan mengisinya dengan firman-Nya.

Sebagai penutup, saya tambahkan sepatah kata pembangkit semangat bagi mereka yang berjuang untuk tetap setia dalam penginjilan. Tidak ada potensi yang lebih besar untuk menimbulkan rasa bersalah dalam diri orang Kristen selain satu topik ini (kecuali bila membahas tentang seks!). Saya tahu reaksi yang akan saya lihat jika saya berbicara tentang topik ini: mata memandang ke lantai, menggerak-gerakkan kaki dan tangan dengan gelisah. Biasanya, ada tawa untuk mengendurkan ketegangan. Namun, semua reaksi itu tidak perlu. Anda dapat menemukan pengharapan, dorongan, dan kelegaan bila penginjilan didasarkan pada Injil yang berfokuskan Allah. Pintu masuk menuju kesaksian yang penuh harapan dan sukacita akan ditemukan bila kita memusatkan pandangan pada Allah sebagai Pencipta dan Penebus.

Dalam buku ini, saya akan meletakkan dasar teologis: Injil yang utuh ... sepenuhnya oleh anugerah. Tempat di mana kita dapat membangun kehidupan penginjilan adalah dalam kedaulatan Tuhan. Kita akan melihat jalinan yang terampil dari setiap pribadi Trinitas yang berkarya dengan harmonis dalam keselamatan. Bapa telah merencanakan keselamatan. Kristus telah mengerjakannya. Roh niscaya akan menerapkannya. Jadi, tak akan ada tempat duduk yang kosong di meja perjamuan dalam Kerajaan Allah. Semua tempat duduk telah dipesan, dengan setiap kartu nama di tempatnya, sebab mereka telah mendengar panggilan batin dari kasih yang menawan itu dan datang ke perjamuan. Tuhan selalu berjalan di depan kita sementara kita bersaksi. Sambil belajar dan memberitakan kebenaran, kiranya kita mendapati teologi kita berubah menjadi puji-pujian (doksologi)!

Audio: Tell The Truth -- Beritakan Kebenaran

Sumber: 

Diambil dan disunting seperlunya dari:

Judul buku: Tell The Truth -- Beritakan Kebenaran
Penulis: Will Metzger
Penerjemah:
Penerbit: Momentum, Surabaya 2005
Hal: 1 -- 10

Pentingnya Pendidikan Firman Tuhan dalam Hidup Berjemaat

Editorial: 
Dear e-Reformed Netters,

Pertama, maaf seribu maaf, akhir-akhir ini saya sangat sibuk sehingga pengiriman e-Reformed jadi terlambat. Semoga pengiriman artikel di bawah ini bisa menjadi pengganti pengiriman yang terlambat.

Minggu lalu adalah minggu perayaan Hari Reformasi Gereja. Saya ingin bertanya, masih adakah gereja yang merayakannya? Sepertinya, Hari Reformasi ini semakin lama menjadi semakin tidak dikenal. Mau melakukan sedikit eksperimen? Silakan Anda bertanya kepada jemaat biasa, apakah mereka tahu tentang Hari Reformasi Gereja? Saya tidak heran kalau mereka menggelengkan kepala, tanda tidak tahu. Atau kalau pun tahu, maka hanya terbatas di kalangan gereja-gereja beraliran teologi reformed saja. Itu pun karena nama gereja mereka adalah Reformed, sehingga mereka tahu kalau gereja mereka pasti ada sangkut pautnya dengan reformasi. Tapi, ini hanya pandangan saya saja yang cenderung skeptik.

Mengapa artikel di bawah ini saya pilih untuk mengingatkan kita semua pada Hari Reformasi Gereja? Artikel yang ditulis oleh Pdt. D.S. Hananiel yang berjudul PENTINGNYA PENDIDIKAN FIRMAN TUHAN DALAM HIDUP BERJEMAAT ini merupakan isu utama mengapa banyak gereja sekarang ini tidak lagi memiliki kuasa. Saya sangat setuju dengan pengamatan beliau.

Gereja Tuhan yang benar dibangun di atas pengajaran para nabi (Perjanjian Lama) dan rasul (Perjanjian Baru) dalam Alkitab. Kalau gereja tidak lagi memberitakan firman Tuhan dan firman Tuhan tidak lagi diajarkan pada jemaat, maka gereja itu pada dasarnya sudah tidak lagi memiliki dasar untuk berdiri. Nah, semangat untuk kembali kepada pengajaran firman Tuhan dan menekankan pentingnya firman Tuhan ditegakkan adalah semangat reformasi. Apakah berlebihan kalau saya sekarang ini mengajak kita semua mereformasi gereja kita masing- masing?

In Christ, Yulia < yulia(at)in-christ.net > < http://reformed.sabda.org/ > < http://fb.sabda.org/reformed/ >

Penulis: 
Pdt. D.S. Hananiel
Edisi: 
115/IX/2009
Tanggal: 
30 September 2009
Isi: 
Pentingnya Pendidikan Firman Tuhan dalam Hidup Berjemaat

Pentingnya Pendidikan Firman Tuhan dalam Hidup Berjemaat

Alkitab

Sejarah bangsa Indonesia telah membuktikan bahwa keberhasilan penjajahan dalam kurun waktu 3,5 abad lamanya adalah karena si penjajah TIDAK menyediakan PENDIDIKAN bagi rakyat. Alhasil, rakyat tidak dapat berpolitik, mudah dikelabui, bahkan tidak mampu mengambil alih pemerintahan. Demikian pula saya berkeyakinan, bahwa manusia tidak akan dapat menikmati kepenuhan kemerdekaan yang disediakan oleh Tuhan Yesus bila orang-orang Kristen TIDAK DIDIDIK dalam KEBENARAN ALLAH. Bahkan firman Tuhan mengatakan, merajalelanya ajaran-ajaran palsu yang berkedok "kekristenan" dan "Roh Kudus", dapat mengakibatkan orang Kristen kembali "dijajah" oleh kuasa kegelapan. Sungguh menakutkan kalau kita membayangkan hal ini. Saya pribadi merasa ngeri, bila kekhawatiran Paulus yang diutarakan pada jemaat di Korintus sungguh akan menjadi kenyataan, yakni "orang-orang Kristen menyia-nyiakan kasih karunia Allah" (2 Kor. 6:1).

Kalau kita memerhatikan keadaan gereja-gereja, anak-anak Tuhan pada dewasa ini, sungguhlah harus menimbulkan beban untuk benar-benar memikirkan bagaimana MENDIDIK anak-anak Tuhan, gereja-gereja Tuhan, pengerja-pengerja Tuhan dengan kebenaran Tuhan yang "ada sejak semula" (meminjam istilah para rasul).

Menurut observasi kami, dewasa ini terdapat beberapa gejala sebagai berikut.

Anak-anak Tuhan yang begitu besar hasratnya untuk mengetahui kebenaran telah berhasil dipikat untuk mendengar serta mempelajari "kebenaran-kebenaran" yang sudah banyak dibubuhi dengan "bumbu-bumbu masak" supaya "asyik", "enak rasanya", dan "sedap kedengarannya". Apakah sudah tiba saatnya apa yang dinubuatkan Rasul Paulus menjadi kenyataan, bahwa orang-orang mengumpulkan "guru" menurut kehendaknya untuk memuaskan keinginan telinganya?! Menurut hemat saya, belum! Akan tetapi, kita selaku hamba-hamba Tuhan telah gagal dalam menggembalakan domba-domba Allah. Kita lebih tertarik pada "yang di luar"; undangan- undangan yang begitu memikat untuk khotbah/memimpin di luar, undangan- undangan untuk membawakan berbagai seminar, bahkan undangan dan tawaran studi. Tak heran kalau Tuhan, Gembala yang Agung berkeluh kesah: "Celakalah gembala-gembala Israel yang menggembalakan dirinya sendiri! Domba- domba-Ku berserak dan tersesat di semua gunung dan di semua bukit yang tinggi." Maka dalam kelaparannya, domba-domba Tuhan makan apa saja yang dapat dimakannya!

Gereja yang seharusnya menjadi tiang kebenaran kini mengikuti mode-mode persekutuan, mode tepuk tangan, mode "oikumene", dll.. Gereja kini sudah kehilangan identitasnya -- merah tidak, putih pun tidak tetapi samar-samar. Hamba-hamba Tuhan takut mengajarkan doktrin-doktrin tegas, jelas, dan nyata. Gereja kita menjadi "banci". Maklum, tanpa penyesuaian diri kita akan kehilangan jemaat! Gereja dewasa ini merupakan gereja massa, gereja manusia dan bukannya gereja Kristus yang JELAS IDENTITASNYA. Adanya perbedaan paham doktrinal tidak perlu menjadikan kita eksklusif! Bukankah gereja Tuhan adalah satu?

Dikhawatirkan bahwa dewasa ini (kaum saya) para hamba Tuhan sudah kehilangan wibawa untuk berkata: "Demikianlah SABDA Tuhan serta sekalian alam!" Apakah hamba Tuhan merupakan suatu profesi atau suatu panggilan Allah? Maklum dengan kemajuan zaman, ada banyak tuntutan- tuntutan -- tuntutan kebutuhan pribadi, tuntutan kebutuhan keluarga, dan sebagainya. Kasihan manusia-manusia yang "ditakdirkan" tinggal di desa dan kota kecil yang "kering". Mereka "terpaksa" harus belajar untuk berdikari. Gedung-gedung mewah yang penuh sesak sudah menanti. Di situlah dibutuhkan "hamba Tuhan". Tidak mengherankan kalau ada orang yang bertanya: "Masih perlukah ada gereja? Masih perlukah hamba- hamba Tuhan?" Sebaliknya, "Perlukah saya menjadi seorang hamba Tuhan pada zaman modern ini, yang hanya menjadi 'sasaran' frustrasi manusia, menjadi 'budak-budak' tuan-tuan dalam gereja? Bukankah perbuatan yang bodoh untuk menjadi 'seperti Gembala Agung yang tidak membuka mulut-Nya ketika diguntingi bulu-Nya?'"

Jeritan panggilan Tuhan Yesus tetap belum tercoret dari Kitab Suci yang demikian bunyinya: "Siapakah yang dapat: Kusuruhkan?" Lihatlah semuanya sudah menguning! Penuai begitu jarang! Maklum mentalitas penuai modern: Berapa gajinya? Bagaimana jaminan sosialnya? Apa haknya? Apa kerjanya?

Kaumku, para hamba Tuhan, "gelap" sudah hampir tiba! Pekerjaan masih jauh dari sempurna. Penuai tetap (bahkan berkurang). Sudahkah kita lupa pengorbanan Kristus yang begitu besar, berharga, dan sungguh tidak terbayarkan!

Tekanan yang terdapat dalam Kitab Suci, kesibukan utama Tuhan Yesus sewaktu Ia masih ada di dunia, yang diikuti oleh kegiatan para rasul, kemudian adalah PENDIDIKAN, PENGAJARAN! Maka marilah kita MENDIDIK, MENGAJAR, MENGGEMBALAKAN domba-domba yang sudah ditebus-Nya dan yang dipercayakan kepada kita untuk dipeliharakan.

Jangan kita singkirkan dan tolak undangan-undangan luar. Maklum di satu pihak, gereja Tuhan bukanlah gereja yang kita asuh saja. Gereja Tuhan itu universal. Setiap hamba Tuhan menanggung kewajiban untuk melayani semua domba Tuhan, SEJAUH MANA yang DIPERKENAN oleh Tuhan. Pada lain segi, katak dalam tempurung. Hamba Tuhan dalam gereja sendiri saja akan merugikan jemaat juga. Maka perlu disusun suatu daftar prioritas berdasarkan:

Di manakah kita dipanggil untuk bekerja?

Di manakah kini kita ditempatkan Tuhan yang Empunya kebun anggur?

Hamba Tuhan berbeda dengan guru pengajar yang tinggal mengajar berdasarkan kurikulum. Hamba Tuhan menyampaikan BERITA Allah, KEHENDAK Allah, dan PENGETAHUAN Allah. Dan, semua itu, selain membutuhkan persiapan yang saksama dan bertanggung jawab, juga komunikasi intensif dengan Dia. Hal ini tidak saja membutuhkan waktu banyak, tapi juga konsentrasi dan ketaatan yang meminta pengorbanan! Kalau guru pengajar sudah memiliki pedoman buku pelajaran yang ditetapkan oleh atasan, tidaklah demikian dengan hamba Tuhan yang perlu menggali sampai dalam, melalui pengalaman - pengalaman hamba Tuhan lainnya, para penulis buku- buku yang tetap memegang kebenaran "yang dari semula", juga pengalaman hidup kita sendiri dengan Tuhan, karena bukankah kita seharusnya menyampaikan apa yang telah "kita dengar dan alami sendiri dari Tuhan"? Melalui pengalaman ini, yang kita peroleh kalau kita bersedia untuk menerima pahit getir hidup, dengan menelan garam untuk diperbudak dan diperalatnya kita oleh tuan-tuan gereja, barulah kita "berguna" bagi anak-anak Tuhan. Dan meminjam istilah Rasul Paulus, seorang hamba Tuhan perlu mengalami pengalaman "ditindas, habis akal, dianiaya, ditinggalkan sendirian, dihempaskan". Ya, kita perlu senantiasa mengalami "kematian Yesus dalam tubuh kita" (2 Kor. 4). Dunia sudah muak dengan filsafat, politik, dan "ajaran yang tinggi". Manusia/domba-domba Allah/anak-anak Tuhan membutuhkan makanan yang dapat dimakan, yang bergizi, menyehatkan, enak, dan praktis untuk diterapkan.

Pencobaan Rasul Paulus sebagai seorang ahli filsafat untuk mengajar secara "hebat" sangat besar, tetapi ia memilih bahasa yang dianggap "kebodohan" oleh dunia tetapi yang memiliki kuasa, karena firman Allah saja yang diberitakannya. Memang dunia dewasa ini minta "bahasa hikmat", tetapi panggilan hamba Tuhan adalah: bukan menggunakan kata- kata hikmat tetapi kata-kata yang memiliki kekuatan Roh (1 Kor. 2) Untuk itu, perlu ada kesetian pada firman Allah saja! Kewajiban hamba Tuhan bukanlah memberikan impresi, melainkan REVELASI dan REGENERASI. Di samping itu, perlu juga MAKANAN DAGING YANG KERAS, yaitu doktrin-doktrin yang mendalam, yang tegas, yang berani kita ajarkan, agar sebagaimana tulang belulang memberi bentuk kepada tubuh seseorang, demikianlah kita dapat memberi bentuk kepada gereja dan anak-anak Tuhan.

salah satu kegagalan pendidikan hamba Tuhan dewasa ini adalah: kita tidak dapat memberikan teladan hidup kepada jemaat kita.

FacebookTwitterWhatsAppTelegram

Kedudukan yang tinggi yang tidak dapat digantikan orang lain, memang menjamin keberadaan kita, "dibutuhkannya" kita dalam gereja. Akan tetapi, Tuhan Yesus "membutuhkan" dua belas murid. Musa membutuhkan wakil-wakilnya, para penatua. Para Rasul membutuhkan juga penatua- penatua. Memang aristokrasi gereja tidaklah sesuai dengan pola Tuhan Yesus dalam pendirian gereja-Nya. Hal ini ditekankan melalui gambaran fungsi seluruh anggota tubuh yang bergantung satu pada yang lain untuk kemudian bekerja sama -sama. Oleh sebab itu, sesuai panggilan-Nya (Ef. 4:11-12), kita wajib MELENGKAPI, MENDIDIK, MEMBEKALI, serta MELIBATKAN sebanyak mungkin anak-anak Tuhan dalam pelayanan, pemerintahan. Bahaya senantiasa mengancam hamba-hamba Tuhan, yang pada suatu saat ingin menguasai segala sesuatu, tetapi pada lain saat "melepaskan" semua kepada anak-anak Tuhan tanpa pengarahan, pembekalan, dan pendidikan. Akibatnya anak-anak Tuhan/para pengerja gereja, masing-masing berbuat apa yang benar di matanya sendiri, ini adalah merupakan pengulangan gejala pada zaman Hakim-Hakim.

Masih dalam rangka pendidikan, Rasul Paulus suka menasihati jemaatnya, agar mereka mengikuti teladan hidupnya. Menurut pengamatan saya, salah satu kegagalan pendidikan hamba Tuhan dewasa ini adalah: kita tidak dapat memberikan teladan hidup kepada jemaat kita. Sebagai contoh: Persoalan "hari Sabat". Kita selaku hamba Tuhan dengan keras dan tegas menuntut jemaat kita memegang teguh hari Sabat tersebut misalnya dengan menutup toko, berhenti bekerja. Akan tetapi, bagaimana dengan pekerjaan kita sendiri selaku hamba Tuhan? Apakah peraturan Sabat tidak berlaku bagi seorang hamba Tuhan? Benarkah kalau hari Sabat, yaitu sehari berhenti setelah bekerja 6 hari, dilaksanakan sebentar pada hari ini, sebentar pada hari lain oleh seorang hamba Tuhan? Apakah salah kalau jemaat meniru teladan hamba Tuhan tadi? Harus diakui bahwa kegagalan banyak hamba Tuhan untuk melaksanakan hari Sabat adalah tidak diperolehnya izin dari majelis/pengurus gereja. Akan tetapi, apakah kegagalan mendapat izin ini tidak terletak pada diri kita sendiri yang gagal mendidik, gagal bekerja sungguh-sungguh selama 6 hari?! Teladan lain adalah berbaktinya keluarga hamba Tuhan terutama kalau anak-anak masih kecil -- belum sekolah -- apakah perlu ke kebaktian anak-anak? Dan, kalau sudah bertumbuh, perlukah mereka semua terlibat dalam pelayanan juga? Salahkah suami istri untuk bertugas bersama-sama keluar kota memenuhi undangan pelayanan? Salahkah kalau seminggu sekali seluruh keluarga -- hamba Tuhan, istri dan anak-anak -- pergi bersama-sama untuk rileks? Sampai di manakah di dalam pendidikan jemaat kita, kita membenarkan suami, karena kesibukannya, tidak perlu mendampingi keluarganya pergi? Pernah seorang penulis buku yang alkitabiah mengemukakan bahwa panggilan hamba Tuhan adalah:

melayani Tuhan pertama-tama,

melayani keluarganya sebagai yang kedua, dan

melayani jemaat/gereja sebagai yang ketiga.

Sebagai penutup, perkenankan kami untuk mohon maaf, seandainya melalui artikel ini, saya mungkin telah menyinggung teman-teman sejawat saya, karena melalui artikel ini, saya tidak ingin menggurui, sebaliknya ingin sharing observasi, sharing beban, sharing pandangan untuk mendapatkan pandangan, pendapat, nasihat, serta bimbingan dari teman- teman sejawat, karena bukankah kita sama-sama pelayan-Nya yang ditugaskan untuk membangun gereja-Nya, memelihara domba-domba-Nya. Kita wajib melaksanakan kewajiban/panggilan kita tadi dengan sebaik- baiknya.

Catatan: Pdt. D.S. Hananiel lahir di Surabaya. Pada tahun 1934 hijrah dan menetap di kota Malang. Karena mengalami berbagai zaman, maka pendidikan beliau sangat bervariasi: pendidikan Belanda, Tionghoa, Jepang, Indonesia, dan Inggris. Selama 24 tahun terdidik dan mengabdi kepada Khong Hu Cu, Kwan Im, dan Kong Co di Kelenteng Malang. Oleh sebab itu, beliau pada dasarnya adalah anti-Kristus. Pertobatan beliau dimulai dari penyelidikan Kitab Suci yang tujuan semulanya adalah untuk mencari kelemahan dan kesalahan kekristenan. Setelah menjadi anak Tuhan, beliau menyerahkan diri menjadi hamba Tuhan. Dan pada tahun 1960, beliau melayani sebagai penginjil, kemudian pada tahun 1969 ditahbiskan menjadi pendeta. Saat ini melayani Gereja Eleos Malang, juga selaku dosen dan penanggung jawab kerohanian (Kristen) di kampus Universitas Brawijaya Malang.

Audio: Pentingnya Pendidikan Firman Tuhan

Sumber: 

Diambil dari:

Nama majalah: Pelita Zaman (edisi no. 2 tahun 1987)
Penulis: Pdt. D.S. Hananiel
Penerbit: Pelita Zaman, Surabaya 1987
Halaman: 45 -- 48

Komentar


Syndicate content