Firman Menjadi Daging (1)

Editorial: 

Dear e-Reformed Netters,

Akhirnya, kita sampai dipenghujung tahun. Tahun 2006 sudah siap menanti kedatangan kita semua. Apakah tahun 2006 akan lebih baik dari tahun 2005? atau sebaliknya apakah akan lebih buruk? "Hanya Tuhan dan Anda yang tahu ...." Mungkin Anda akan bertanya, "Kalau Tuhan saya percaya pasti tahu, tapi apakah kita tahu? Hmmm ....

Menjelang tahun baru ada sebagian orang yang memiliki kebiasaan untuk membuat "resolusi tahun baru". Apakah Anda termasuk orang yang demikian? Di dalam resolusi ini, biasanya orang akan membuat janji- janji untuk melakukan sesuatu yang baik, yang bermakna, yang memberi kemajuan ... dll, pokoknya yang baik-baik, dengan harapan tahun di depan nati kita bisa mewujudkannya. Nah ... pernahkah Anda membuat resolusi agar tahun depan bisa lebih berhati-hati dalam berbicara?

Kelihatannya sepele, ya ... tapi ini seperti "musuh dalam selimut", sangat berbahaya. Apalagi kalau kita melihat ke belakang dan menyadari betapa banyaknya "kecelakaan" yang terjadi gara-gara mulut kita yang kurang bijaksana atau kurang bisa mengontrol diri sehingga menghancurkan hubungan dengan rekan kerja, teman dekat, bahkan dengan anggota-anggota keluarga yang kita cintai, terutama istri atau suami atau anak. Lalu terjadilah "sesal kemudian tak berguna", karena sudah terlanjur, minta maaf pun sering tidak menolong. Tentu kecelakaan "perang mulut" yang terjadi bukan sesuatu yang disengaja atau direncanakan, tapi herannya hal-hal seperti ini terjadi begitu saja, dan tiba-tiba yang kita alami adalah "shock" karena melihat hasilnya yang tak terduga dan sangat menyakitkan, bukan dari satu pihak, tapi dari dua belah pihak, sama-sama sedih dan menyesal. Tapi sayangnya "nasi sudah menjadi bubur". Yang tinggal hanya kemampuan berandai- andai, "Seandainya aku tahu akan begini, nggak bakal aku ngomong gitu tadi ..." atau "kenapa cuman omongan yang sepele gitu aja bisa bikin 'perang', andaikan aku tadi tutup mulut, mungkin ...."

Buku menarik yang saya baca beberapa waktu yang lalu, dengan judul yang sangat provokatif "War of Words", menolong saya melihat masalah komunikasi ini dari sudut pandang kebenaran Firman Tuhan. Wah ... sangat bagus sampai saya ingin sekali mensharingkan hal ini dengan Anda semua. Nah, selamat menikmati posting saya untuk menyambut Tahun Baru 2006 ini. Kiranya dapat menolong kita semua untuk bisa melihat masalah hidup kita yang sangat sensitif ini (khususnya dalam hal dosa lidah) dengan lebih jelas dan lebih mendasar.

Tak lupa, sekali lagi saya mengucapkan: Selamat Tahun Baru!

In Christ,
Yulia Oen
< yulia@in-christ.net >

Penulis: 
Paul David Tripp
Edisi: 
069/XII/2005
Isi: 
"Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita."
(Yohanes 1:14)

SAYA telah menikah selama lebih dari seperempat abad. Allah telah memberikan kepada saya seorang istri yang saleh yang karakternya lebih baik dari pada saya. Luella dan saya menikmati hubungan yang indah dalam berbagai hal. Kami dibesarkan dalam keluarga Kristen dimana kami diajarkan kebenaran sejak kecil. Kami berdua mengenal Kristus ketika masih anak-anak dan dididik di perguruan tinggi Kristen. Kami telah mempergunakan waktu kami untuk pelayanan dan telah diberkati dengan pengajaran alkitabiah yang baik. Kami telah bekerja keras untuk mengikuti rancangan Kristus bagi pernikahan kami.

Kami menghabiskan waktu bersama-sama setiap minggu di luar rumah untuk membicarakan hal-hal yang perlu didiskusikan. Selama bertahun-tahun kami telah mencoba untuk mengadakan ibadah keluarga setiap hari. Namun, saya mengakui bahwa sekalipun dengan semuanya itu, sampai saat saya mempersiapkan buku ini, kami tidak bebas dari kesulitan dalam komunikasi kami. Saya tidak mengatakan bahwa kami menjerit dan berteriak. Kami tidak selalu marah-marah dan bersitegang urat leher satu sama lain. Tetapi kami tidak perlu melihat terlalu jauh untuk menemukan dosa dalam percakapan kami. Dosa itu mungkin adalah perkataan yang diucapkan terburu-buru dan tanpa pikir panjang, kata- kata kekesalan, tuduhan yang terlalu cepat, tuntutan atau komentar yang mementingkan diri sendiri, kalimat "Kan sudah saya bilang," sementara yang diperlukan sebenarnya adalah kata-kata penghiburan dan pemberi semangat. Dosa itu mungkin juga berupa jawaban yang tidak sabar, saat-saat mengorek detail yang tidak perlu, komentar yang bernada membenarkan diri atau mengasihani diri, atau situasi dimana dosa masa lalu diungkit kembali.

Sekalipun dengan semua ajaran Alkitab yang telah kami terima, dengan semua komitmen pribadi dan usaha-usaha praktis kami, dengan semua permohonan pengampunan kami dan doa kami meminta pertolongan, sebagai pasangan kami masih bermasalah dengan percakapan kami. Begitulah besarnya kebutuhan kami! Begitulah dalamnya persoalan kami!

KECENDERUNGAN KITA UNTUK LUPA

Ketika saya mengunjungi toko buku Kristen, kadang saya merasa heran apakah kita telah melupakan persoalan kita yang sesungguhnya. Apakah kita benar-benar merasa bahwa kita bisa menyelesaikan persoalan komunikasi yang kronis dengan pengertian manusia dan teknik yang pintar? Apakah kita telah melupakan bahwa masalah komunikasi menunjukkan masalah yang jauh lebih mendalam dan tingkatan yang lebih mendasar? Jika kita tidak mengatasi masalah yang lebih mendalam ini, kita tidak akan pernah menyelesaikan permasalahan komunikasi kita sehari-hari. Jika yang kita perlukan hanyalah pengetahuan dan ketrampilan, Luella dan saya sudah menyelesaikan persoalan pembicaraan kami jauh sebelumnya. Tetapi kami membutuhkan sesuatu yang lebih mendalam daripada teknik, ketrampilan, dan pengetahuan. Kebutuhan yang mendalam ini ditunjukkan setiap hari ketika kami berkomunikasi.

Baru-baru ini saya memperhatikan dua anak laki-laki saya yang sedang bertengkar. Ini bukan sesuatu yang baru; usia mereka terpaut dua tahun dan telah sering bertengkar. Sebenarnya, pertengkaran ini adalah pertengkaran yang telah sering mereka alami sebelumnya. Tetapi, sekali ini pertengkaran mereka menarik perhatian saya. Kata-kata mereka penuh dengan tuduhan. Nada bicara mereka penuh kemarahan. Tidak ada di antara mereka yang berhenti untuk mendengarkan pada saat berondongan perkataan mereka meningkat dan volume suara mereka meninggi. Tidak begitu lama kemudian mereka telah meninggalkan masalah yang mereka hadapi dan saling melemparkan luka masa lalu. Mereka berdua berbicara dengan penuh rasa sakit, frustrasi dan kemarahan, ketidaksabaran dan kecemburuan. Mereka tidak berbicara untuk menyelesaikan persoalan atau mendengar untuk memahami. Kata-kata mereka hanyalah senjata dalam peperangan. Masing-masing dari mereka ingin membungkam lawannya dan menang. Kalimat-kalimat mereka penuh dengan "kamu selalu" dan "kamu tidak pernah". Mereka berdua berdiri di sana, terbungkus oleh jubah perasaan benar sendiri, merasa cukup beralasan untuk menuduh yang lain. Dan sekalipun mereka terus mengeluarkan keluhan mereka, mereka berdua mengkomunikasikan keyakinan mereka bahwa mereka hanya sedang membuang-buang waktu. Mereka merasa yakin bahwa lawannya tidak akan pernah "memahaminya".

Ketika saya mendengarkan itu, dua pikiran muncul dan menarik perhatian saya. Yang PERTAMA adalah bahwa saya tidak ingin mengatasi "perang" ini sebagai hal pertama di pagi hari. Tetapi pikiran yang KEDUA lebih teologis dan lebih mencengkeram. Saya menyadari bahwa saya tidak pernah mengajar kedua anak laki-laki saya bagaimana bertengkar dan berkelahi. Saya tidak pernah mengajar mereka bagaimana melukai satu sama lain dengan kata-kata. Saya tidak pernah mengkuliahi mereka tentang saat yang tepat untuk melemparkan catatan kesalahan pada orang lain. Saya tidak pernah mencoba mengajari mereka ketrampilan menuduh dan mengutuk. Tetapi anak-anak saya berduel dengan percaya diri dan trampil. Mereka memiliki bakat yang alamiah untuk memakai kata-kata persis seperti apa yang diinginkan hati mereka yang marah.

Ketika saya mulai campur tangan, hati saya penuh dengan kesedihan. Saya dapat menghentikan pertengkaran itu, tetapi saya tidak dapat mengubah apa yang benar-benar membutuhkan perubahan. Lagi pula, saya menyadari sepenuhnya bahwa apa yang perlu diubah di dalam diri mereka masih perlu diubah di dalam diri saya! Di rumah kami, jarang ada beberapa jam (apalagi sehari penuh) yang berlalu tanpa konflik dalam bentuk apa pun! (Dan, percaya atau tidak, kami memiliki keluarga yang lumayan baik.) Betapa dalamnya kebutuhan kami! Saya berbicara kepada anak-anak saya pagi itu dengan air mata, karena sekali itu saya lebih dikuasai oleh beratnya kebutuhan rohani kami daripada oleh frustrasi saya yang timbul karena pertengkaran kecil yang harus diselesaikan.

Mungkin Anda sedang berpikir apakah anak-anak saya akan mendapat manfaat dengan mempelajari teknik komunikasi yang lebih baik atau kejelian untuk mengenal tempat dan momen yang lebih baik. Tidak diragukan lagi mereka akan mendapat manfaatnya. Tetapi, perang perkataan pagi itu lebih dalam lagi sifatnya. Yang ditunjukkan adalah kebutuhan rohani yang mendalam, yang tidak dapat dipuaskan dengan beberapa prinsip komunikasi yang baik.

KEDATANGAN SANG FIRMAN

Bagaimana Allah, Sang Pembicara Agung, memenuhi kebutuhan kita dalam bidang ini? Dia tidak menuntut kita untuk mencapai standar-Nya dengan kekuatan kita. Tidak, Dia mengutus Anak-Nya, Sang Firman, untuk menjadi daging, lalu hidup sebagai manusia dan menjadi yang paling mulia dari seluruh wahyu Allah kepada kita! Firman itu telah menjadi daging. Dengarkanlah perkataan Yohanes.

Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah. Ia pada mulanya bersama-sama dengan Allah.

Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatu pun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan. Dalam Dia ada hidup dan hidup itu adalah terang manusia. Terang itu bercahaya di dalam kegelapan dan kegelapan itu tidak menguasainya ...

Ia telah ada di dalam dunia dan dunia dijadikan oleh-Nya, tetapi dunia tidak mengenal-Nya. Ia datang kepada milik kepunyaan-Nya, tetapi orang-orang kepunyaan-Nya itu tidak menerima-Nya. Tetapi semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-Nya; orang- orang yang diperanakkan bukan dari darah atau dari daging, bukan pula secara jasmani oleh keinginan seorang laki-laki, melainkan dari Allah.

Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran.

... Karena dari kepenuhan-Nya kita semua telah menerima kasih karunia demi kasih karunia; sebab hukum Taurat diberikan oleh Musa, tetapi kasih karunia dan kebenaran datang oleh Yesus Kristus. Tidak seorang pun yang pernah melihat Allah; tetapi Anak Tunggal Allah, yang ada di pangkuan Bapa, Dialah yang menyatakan- Nya. (Yohanes 1:1-5, 10-14, 16-18)

Renungkanlah. Allah yang menciptakan perkataan dan menciptakan dunia ini dengan berfirman, Allah yang memakai perkataan manusia untuk menyatakan diri-Nya kepada umat-Nya sepanjang zaman, datang ke dunia- Nya sebagai Firman, kepada manusia yang telah meninggalkan-Nya. Dia bukan hanya Pemberita kebenaran, Dia adalah Kebenaran, dan hanya di dalam Dia ada harapan bagi kita. Hanya di dalam Firman kita menemukan harapan untuk membereskan perang dengan kata-kata dan kembali berbicara menurut contoh dan rancangan Pencipta kita. Firman itu telah menjadi daging karena tidak ada jalan lain untuk mengoreksi kerusakan di dalam diri kita.

Kenyataan bahwa Firman datang dalam daging memberi tahu kita akan sesuatu yang sangat penting mengenai kesulitan kita dalam hal pembicaraan: Persoalan kita pada dasarnya bukan persoalan ketidaktahuan atau tidak adanya ketrampilan. Ingatlah perkataan Yakobus: "Semua jenis binatang liar, burung-burung, serta binatang- binatang menjalar dan binatang-binatang laut dapat dijinakkan dan telah dijinakkan oleh sifat manusia, tetapi tidak seorang pun yang berkuasa menjinakkan lidah; ia adalah sesuatu yang buas, yang tak terkuasai, dan penuh racun yang mematikan" (Yakobus 3:7-8). Maksud Yakobus adalah bahwa masalah komunikasi kita tidak dapat diselesaikan dengan cara manusia yang lazim. Perubahan pada lokasi, situasi, pendidikan, pelatihan, dan pengulangan, atau sifat dari hubungannya tidak akan menyelesaikan masalah. Lidah itu tidak dapat dijinakkan secara manusiawi! Ia adalah sesuatu yang berkuasa, buas, dan tidak terkuasai yang membuat kita semua kebingungan.

PERANG DI BALIK PERANG DENGAN KATA-KATA

Di sini ada satu pengamatan alkitabiah yang mendasar yang perlu kita kemukakan: Firman tidak akan datang ke dunia kita kalau pergumulan kita pada dasarnya adalah pergumulan darah dan daging. Masalah kata- kata kita adalah masalah kerohanian yang sangat kental, masalah hati manusia. Mungkin Anda adalah seorang istri yang sangat dilukai oleh cara suami Anda berkomunikasi dengan Anda. Atau, mungkin Anda adalah seorang remaja, dan sulit untuk tidak merasa terkutuk oleh cara orangtua berbicara kepada Anda. Mungkin Anda adalah seorang suami yang merasa getir karena kurangnya penghormatan yang diberikan oleh keluarga kepada Anda. Masing-masing kita pernah secara pribadi dilukai oleh kata-kata orang lain, dan masing-masing kita pernah mengucapkan kata-kata yang telah menyengat orang lain. Oleh sebab itu, penting bagi kita untuk mengakui bahwa perang dengan kata-kata sebenarnya adalah buah dari perang yang lebih besar dan lebih mendasar. Perang ini adalah perang dari segala perang; ini adalah masalah kehidupan. Paulus menunjuk kepada perang ini di Efesus 6:12 ketika dia mengatakan, "Karena perjuangan kita bukanlah melawan darah dan daging, tetapi melawan pemerintah-pemerintah, melawan penguasa-penguasa, melawan penghulu-penghulu dunia yang gelap ini, melawan roh-roh jahat di udara."

Di Efesus 4 Paulus berbicara panjang lebar tentang percakapan di dalam tubuh Kristus. Dia menyerukan, "Hendaklah kamu selalu rendah hati, lemah lembut, dan sabar. Tunjukkanlah kasihmu dalam hal saling membantu. Dan berusahalah memelihara kesatuan Roh oleh ikatan damai sejahtera ... dengan teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih ... buanglah dusta dan berkatalah benar seorang kepada yang lain, karena kita adalah sesama anggota." Dia mengatakan, "Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa: janganlah matahari terbenam, sebelum padam amarahmu." Dia memberi dorongan kepada kita, "Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun." Dia mengatakan, "Segala kepahitan, kegeraman, kemarahan, pertikaian dan fitnah hendaklah dibuang dari antara kamu, demikian juga segala kejahatan, hendaklah kamu ramah seorang terhadap lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu." Dalam Efesus 5 dan 6, Paulus menerapkan prinsip-prinsip ini kepada gereja, rumah tangga, dan dunia di luar.

Anda tidak dapat membaca apa yang telah dikatakan Paulus tanpa merasa terkesan oleh kedalaman dan jangkauan dari perintah-perintah ini. Mungkin ketika Anda membaca, Anda berpikir, Paulus, Anda pasti bercanda! Pembicaraan yang selalu rendah hati dan lemah lembut di rumah kami? Tidak mungkin! Komunikasi yang bebas dari segala kemarahan dan kejahatan? Itu akan menjadi hari yang penuh keajaiban! Namun, ini adalah seruan Paulus kepada kita. Dan perintah-perintah ini dimaksudkan untuk menolong ki�a.

Anda berkata, "Perintah-perintah ini tidak membantu saya -- malahan meninggalkan saya dalam keadaan putus harapan!" Tetapi, mungkin ini adalah masalahnya. Ketika Anda menghadapi standar Allah yang tinggi bagi kata-kata kita dan melihat betapa jauhnya kejatuhan kita dari standar itu, Anda dibuat untuk mengakui dua hal yang merupakan fokus dari bab ini. Pertama-tama, Anda dan saya segera dihadapkan dengan kenyataan bahwa kita menghadapi masalah yang menyedihkan dalam komunikasi kita, masalah yang jauh lebih mendasar daripada ketrampilan, teknik, dan perbendaharaan kata. Fakta kedua berasal dari yang pertama: Oleh karena kebutuhan kita lebih mendalam daripada teknik, kita memerlukan lebih daripada sekadar kelas latihan atau seperangkat ketrampilan yang baru. Kita memerlukan pertolongan yang hanya dapat diberikan Yesus, Firman yang hidup dan Penebus kita.

Oleh sebab itu, ketika usaha terbaik kita untuk memenangkan perang dengan kata-kata gagal, kita menjumpai harapan terbesar. Tetapi, bukan di dalam diri atau potensi kita, melainkan di dalam diri Sang Firman dan penyertaan-Nya, kuasa-Nya, dan janji-Nya. Karena Kristus telah datang untuk hidup, mati, dan dibangkitkan bagi kita, ada harapan bagi kita untuk berbicara menurut rancangan Allah.

KEHIDUPAN ADALAH PEPERANGAN

Dengan demikian, kata-kata Paulus di Efesus 6:12 adalah paling praktis. Ketika Paulus menulis tentang peperangan rohani di akhir surat ini, dia tidak mengganti topik; tetapi merangkum apa yang telah dia katakan sebelumnya (termasuk apa yang telah dia katakan tentang komunikasi). Paulus sangat antusias agar kita menyadari bahwa kehidupan adalah peperangan, bukan dengan orang lain, melainkan dengan roh-roh jahat di udara!

Kehidupan adalah peperangan. Suatu konflik yang dramatis sedang berlangsung antara kekuatan dari Sang Pembicara Agung dan Penipu Besar. Sementara Allah mencoba memperdalam akar kita di dalam kehidupan, damai sejahtera, dan kebenaran-Nya, Iblis mencoba mencabut kita dari semua itu dengan rencana yang menipu, dusta yang pintar, dan jebakan yang jahat. Seperti semua peperangan, peperangan ini juga untuk merebut kendali. Ini adalah peperangan untuk merebut hati kita. Dan jika peperangan rohani ini tidak terjadi, maka tidak akan ada perang dengan kata-kata.

Ini memperkuat pemahaman kita akan Injil, yaitu tentang mengapa Yesus perlu datang. Yesus, Firman yang hidup, datang sebagai Wahyu dan Penebus sehingga kita memiliki apa yang kita perlukan untuk teguh berdiri di tengah-tengah konflik. Pada diri kita sendiri, kita tidak sanggup melawan "roh-roh jahat di udara" ini. Maka Kristus datang, bukan hanya sebagai Firman, melainkan juga sebagai Adam kedua. Adam pertama mewakili kita semua, dan ketika dia menghadapi Iblis, dia percaya kepada dustanya, menyerah kepada jebakannya, dan jatuh ke dalam dosa. Kristus harus datang sebagai Adam kedua, kembali sebagai Wakil kita untuk menghadapi Iblis. Oleh sebab itu, sebelum memulai pelayanan-Nya kepada orang banyak, Kristus menghadapi musuh-Nya. Tiga kali Dia dicobai dengan dusta dan jebakan yang sama. Tiga kali Dia menaklukkan Iblis, menunjukkan kuasa-Nya terhadap kekuatan jahat dan mencapai kemenangan besar bagi kita (lihat Matius 4:1-11, 12:22-29; Roma 5:12-21).

Melalui karya-Nya, Kristus memberi kita kuasa dan membekali kita untuk peperangan ini, sehingga ketika datang hari yang jahat, kita mampu berdiri teguh dan tidak ada sesuatu apa pun yang menggeser kita dari kehidupan yang untuknya Dia memanggil kita. Kehidupan ini mencakup berbicara dengan cara yang layak bagi Injil. Kemenangan Yesus memberi kita kemampuan untuk hidup damai dengan-Nya dan dengan sesama.

Ini memberi kita pandangan yang sama sekali berbeda tentang rebutan memakai kamar mandi atau siapa yang menghabiskan sereal yang paling disenangi keluarga. Masalah pada momen-momen seperti ini melampaui masalah yang tampak di permukaan, seperti terlalu banyak orang, terlalu sedikit kamar mandi, dan terlalu banyak kotak sereal yang kosong. Kita adalah masalahnya dalam setiap keadaan itu. Dan sangat penting bahwa kita tidak mengecilkan masalah kita (dengan mengatakan bahwa momen-momen ini tidak penting) atau menjadi pesimis (dengan mengatakan bahwa tidak ada harapan untuk berubah). Momen-momen kecil ini penting, karena di situlah kita hidup setiap hari. Namun ada harapan untuk perubahan besar karena Yesus Kristus, Firman itu, Penebus itu, telah memberi kita setiap sumber daya yang kita perlukan untuk berbicara sebagaimana layaknya.

(Redaksi: Lanjutan dari artikel di atas akan dikirimkan pada pengiriman e-Reformed edisi berikutnya.)

Sumber: 

Bahan di atas dikutip dari sumber:

Judul buku : War of Words
Penulis : Paul David Tripp
Penerbit : Momentum, Surabaya, 2004
Halaman : 43 - 53